Instagram Facebook

Digna Tri Rahayu

Photo cr: Telekainetic.

Aku terjerembab pada gravitasi ranjang. Ribuan titik terang yang seharusnya bisa kutemukan kini mendadak hilang. Fungsi neuronku benar-benar mandek, tidak cukup sanggup untuk menemukan solusi bagi pemecahan mata kuliah ini. Bukan, ini bukan tugas mendebat-kusirkan pemikiran Hegel atau Heidegger. Maksudku, ini lebih dari itu. Bagaimana bisa aku menemukan tempat percetakan yang melayani penjilidan hard cover dalam waktu 6 jam sebelum deadline pengumpulan. Ini gila.

Tapi ada yang lebih parah dari (sekedar) membahas tugas kuliah. Aspek hidupku lebih luas daripada itu. Banyak yang kupikirkan, bahkan termasuk yang tidak harus. Sungguh konyol. Aku mengeruk guling dengan damai, memeluknya barangkali ada kenyamanan yang ku dapat.

Ketika sedang berkutat dalam segala permasalahan semu yang tak jelas ini, lampu kamar padam. Aku tidak mengutuk pegawai kelistrikan. Yang aku sesalkan adalah mengapa segalanya menjadi gelap dalam waktu yang bersamaan, tak hanya otakku tapi juga ruangan ini.

Sejalan dengan padamnya lampu kamar yang pada mulanya memang remang-remang, otakku menerawang. Bulu kuduk pun mulai meremang. Bukan, ini bukan kode munculnya hantu atau sejenisnya. Maksudku, ini lebih dari itu. Yang datang kali ini adalah ingatan, atas seseorang yang mungkin pernah menjadi pagi bagi matahari, atau malam bagi bulan.

Pikiranku mengais memori lampau. Yang kemudian muncul sebuah adegan dimana perasaan lega bergelayut manja. Tapi itu hanya sejenak, sebab kutahu bahwa kelegaan itu meninggalkan kerapuhan yang sulit hancur. Ia menggantung, bagai peribahasa hidup segan, mati tak mau.

Sial. Aku kembali merutuki nasib. Kali ini aku sedikit menyalahkan petugas kelistrikan, sebab sudah satu jam lampu ini tak kunjung menyala. Sementara, deadline tugas kuliah tinggal 5 jam lagi. Aku harus berbuat sesuatu.

“Ra, tempat penjilidan hard cover yang masih buka jam segini dimana ya?”
Aku menelepon seorang kawan.

“Lu pikir pekerjanya mesin yang ga butuh istirahat? Ya kali anak ITS kaga ada istirahatnya. Gue tidur. Lu gila bangunin gue jam segini. Besok gue presentasi pemasaran.”
Klik! Telepon terputus.

Geez... bahkan sahabat bisa menjadi galak disaat seperti ini. But, wait... ITS! Bukankah di dekat ITS ada penjilidan 24 jam? Astagaaaaa! Aku bahkan tak mampu mengingat hal ini. Aku melompat dari ranjang. Tangan kiriku meraih flashdisk dan dompet, sedang tangan kananku memasukkan telepon genggam ke kantong celana. Segeralah aku bergegas menuju tempat penjilidan. Niatku sempat melemah, mengingat ini adalah dini hari. Tapi, ah persetan. Aku percaya esok justru akan jadi neraka yang nyata kalau hari ini aku tidak bergegas. Karena dosen tak pernah tanggung-tanggung memberi diskon pada yang terlambat mengumpulkan tugas.

Suasana dini hari benar-benar sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Untungnya lampu jalan tidak turut padam. Aku menengok ke layar smartphone, hmmm lima derajat celcius. Tak hanya sepi, tapi juga dingin. Sambil merapatkan jaket, aku mengambil langkah sedikit berlari. Suara-suara aneh sempat melewati gendang telinga, namun aku berusaha fokus pada tempat yang ku tuju. Menjadi indigo di saat-saat seperti ini sungguh tidak mengenakkan.

Beberapa langkah lagi aku memasuki gerbang ITS. Tulisan “Instutute Technology of Seoul” terpampang jelas. Bangunannya begitu megah. Namun aku tidak pernah berniat untuk menimba ilmu disini. Semenjak awal aku sengaja menghindari bertemu dengan rumus-rumus rumit. Hidup manusia sudah rumit, mengapa harus ditambah-tambah lagi? Tidak masuk akal, bagiku.

Dari jarak beberapa meter aku mendengar suara orang berbincang. Mungkin mahasiswa atau semacamnya. Oh, tapi tidak. Mereka berasal dari dunia lain, dan aku tidak akan menjelaskannya. Aku tidak akan mengganggunya. Semoga mereka tidak melihat ke arahku. Aku lantas berlari, berlari sungguhan. Bukan takut pada mereka, namun takut kalau-kalau tempat penjilidan sudah tutup. Cerobohnya, aku terantuk batu yang cukup besar hingga terperosok dalam kubangan. Untungnya tak berair.

Aku sempat kehilangan fokus sejenak. Hingga suara gesekan sepatu dengan tanah berumput lamat-lamat terdengar semakin jelas. Ada yang mendekat, dari arah punggungku. Sial, makhluk dari dunia mana lagi ini, pikirku. Ia mendehem, membuatku kepalang tanggung untuk tidak menoleh. Tapi belum sempat aku menoleh, ia telah menunjukkan identitasnya.

“Gadis macam mana yang berkeliaran malam-malam begini hingga terperosok masuk kubangan?”

Aku menoleh. Tidak salah lagi, ia memang manusia. Tapi, dari sekian banyak wajah, mengapa harus wajah ini yang kulihat? God, can I just escape from this situation?

To be continued..
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Photo cr: dignatri.

Kuberi kau pemahaman atas suatu warna yang sanggup berpendar. Yang akan membuat rasa semakin mengembang, terbang, lalu jatuh diatas bayang.
Posisimu tidak serba enak, ketika dilingkupi beberapa entitas yang melingkar rapi. Tapi ujung-ujungnya mereka mundur teratur; satu persatu, karena sebab-sebab tertentu. Ambigu.
Dengan alasan yang cukup cerdik, kau melangkah atas satu realitas ke realitas lain, meyakinkan bahwa ini bukan sepenuhnya sesuatu yang pantas untuk disalahkan.
Ini hanya masalah pendewasaan, atas hati yang sedang tertekan.Maka kini, lepaskanlah masa lajang. Mulailah berjuang. Tanpa sadar kau akan menjadi kuat dan sanggup menopang; barangkali atas kerinduan dan rasa sayang, yang telah dimiliki lain orang.
Dewasalah wahai kupu-kupu kecil. Mestinya kau pahami bahwa kau bukan lagi kepompong yang berdiam dalam selimutmu. Terbanglah, ini adalah tanda. Dan ku harap kau dapat mengambil hikmah dibaliknya.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Photo cr: Fissabila.

Dengan sangat berat, ini adalah pengakuan dari diri yang merasa inferior. Ketika kau menghadapkan diri pada sosok yang luar biasa indah, yang akan sangat sayang ketika kau tolak entitasnya. Karena sungguh bagaimanapun, ia memanjakanmu, memanjakan mata kecilmu yang tiap hari hanya kau isi untuk berlelah-lelah melihat rangkaian paragraf tanpa makna. Terhadapnya kau menjadi kecil, seolah ia yang lebih leluasa melingkupi. Dan kenyataannya adalah kau menghendaki dirimu untuk didominasi.
                                 
Betapa kau sudah mengumbar senyum, dengan sesumbar  kau pamerkan seolah  lebih manis dari madu. Kau membangun keutuhan, berharap akan ada hasil maksimal. Tanpa perlu banyak usaha untuk mereduksi, menerka-nerka informasi, menguarkan ketar-ketir dalam hati.

Sekali lagi, balasan senyum yang begitu indah melupakan sejenak kenyataan bahwa ia hanyalah orang baru, orang lewat, seorang figuran yang mungkin nyata secara materi. Tapi dalam satu spasi, ada kekosongan yang begitu padat. Kekosongan itu bagai teka-teki yang tak memungkinkan orang sepertiku untuk menjawab.

Taruhlah fakta bahwa kami berada pada jarak privat, secara kasat mata. Pada batasan secara rasional, bukan emosional. Ada yang mencoba begitu kuat, menemukan unsur yang diperlukan agar reaksi ini berjalan. Reaksi kimia ini kau sebut chemistry, sesaat kemudian.

Lunak, hati ini sampai yang terdalam pun melunak. Pandangannya begitu teduh, namun hanya seperempat dari sekian detik. Alisnya tidak begitu tebal, tapi meneduhkan. Kala mulutnya komat-kamit berbicara, aku tidak melihat kepura-puraan. Hanya beberapa sisi terlihat bahwa setiap orang tidak sama dalam mengungkapkan, tapi setidaknya ada usaha yang besar telah dilakukan.

Kalau kau tahu bagaimana caranya berpikir, lihatlah dari caranya berjalan. Ia berjalan dengan cepat, tapi langkah kakinya kuyu sendu. Bukan main ingin ku topang, tapi aku kalah cepat darinya. Sehingga daya yang kupunya hanya ku habiskan untuk melihat dari jauh. Sampai pada masa dimana aku dengan tergesa menyanding langkahnya, dengan kembali mengulas senyum tak bernyawa.

Ini pertemuan pertama, bukan yang paling sempurna. Setidaknya ia bercerita tentang keluarganya, juga tentang selayang pandang keinginan untuk melanjutkan studi ke Eropa. Ia yang baru rapi kumis tipisnya, meluapkan energi yang membuatku berdebar rasa. Sengaja stopwatch kubiarkan menyala, menghitung mundur sampai dimana kegilaanku sanggup bersua. Pun kompas menerawang, mencari-cari arah darimanakah kegilaan ini bermula.

Aku harus bijak, meski sedikit demi sedikit. Memahami bahwa kau tidak sesempurna seperti yang ada dalam bayangannya, memerlukan banyak tenaga. Meski kau gagal secara visual, tapi setidaknya kau tampil maksimal. Bibirmu kau olesi gincu, telapakmu kau usapi harum-harum parfum. Bersaing dengan wangi tubuhnya ketika angin degan lembut menerpa.

Ketika kau mulai memikirkannya sepanjang perjalanan, maka eksistensinya dalam pikiranmu cukup ada. Kau tarik kembali memori bahwa ia melempar kemauan untuk duduk berdampingan, menikmati tayangan dari negeri entah, dalam bangunan bertingkat yang pada hari itu tak terlalu ramai. Selama tayangan itu ditampilkan, ia bungkam. Tak mengatakan sepatah katapun menjadi petunjuk bahwa ia menikmati, atau justru perilakunya menghianati. Ia lalu melihat jam tangan, mengingat bahwa ada kewajiban menyembah Tuhan.

Sejurus pandangan menyapu, hanya ada beberapa kursi yang tak kosong dalam bangunan itu. Kita membuatnya menjadi lebih sepi sejenak. Saat beberapa sujud menepi dalam ruangan sempit yang tempat bersucinya tak terhijabi.

Bahwa aku melihatnya menyingkap rambut sesaat setelah dahinya menyentuh tanah, adalah suatu keberkahan. Aku hanya melihat sekali, dan mungkin tak akan pernah lagi. Karena beberapa masa kemudian, kami terpisah jarak di ujung gang malam ini. Meski pada akhirnya tidak bisa dimiliki, setidaknya bisa menjadi pelengkap mimpi. Kesediaan menghadirkan pecahan memori, sedalam-dalamnya ingin kembali ku nikmati, lamat-lamat lagi.

Aku menemukan diriku berbeda dalam memandang ia. Satu yang dapat kugarisbawahi adalah bahwa kau tidak perlu menjadi sempurna, karena ketika kau menjadi sempurna maka hanya keinginan menghancurkan yang mengapung di atasnya. Kau tidak perlu mengobrak-abrik hukum keseimbangan yang sudah diciptakan sesuai porsi. Kau hanya perlu mengatur pikiranmu agar tidak menjadi pribadi yang terobsesi menguasai ini-itu di segala lini.

Akhirnya berbahagialah, wahai kau jiwa yang ku banggai untuk menemukan pendamping sejati. Raga dan jiwaku mungkin tak akan pernah menjadi hitungan yang bernilai tinggi. Sebaliknya, aku hanya punya ucapan yang secara berkala kupanjatkan, agar kita dipertemukan pada yang paling tepat atas waktu dan kesempatan. Kelak, dalam ridho Yang Maha Mengabulkan.
Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Photo cr: pinterest.
Akhir-akhir ini, tugas beberapa mata kuliah seringkali mengangkat tema politik. Kalau saya amati dalam beberapa dekade terakhir (anjayy wkwkkwk), saya sering geli-geli sedikit melihat cara berpolitik para ‘aristokrat-aristokrat’ Indonesia akhir-akhir ini. Hingga pemikiran sempit saya mengantarkan pada pendapat pribadi mengenai politik dan anggota tubuh, akibat sebelumnya sering bertanya-tanya bagaimana sebenarnya manusia dan anggota tubuhnya berpolitik.
1. Mata: merupakan alat penyaring mana pihak yang menguntungkan dan mana pihak yang lebih menguntungkan. Cuma ada dua golongan mata, kalo nggak mata-mata ya mata duitan. apa bedanya? Gak ada, semua sama-sama suka goda-lirik-rebut yang masih disegel.
2. Telinga: adalah piranti uhuy yang ketika rapat mendadak budeg, tapi langsung tune-in seribu persen kalau ada isu-isu mengenai kasus korupsi yang inisialnya mirip sama nama sendiri; sebagian besar lebih mudah terdistorsi oleh suara desahan kucing yang lagi ber-haha-hihi, daripada diskusi mengenai hal yang intelek dan berbobot tinggi.
3. Mulut: sudah biasa digunakan sebagai modal utama kampanye, yang produksi janji-janjinya terlalu naik-naik-ke-puncak-gunung sampai nabrak pesawat (gak nyambung, biarin); kini sedikit beralih fungsi sebagai pemicu sensasi lewat pernyataan-pernyataan konyol, seperti “membakar hutan tidak masalah, karena masih bisa ditanam kembali” (iyain aja).
4. Otak: salah satu anggota tubuh yang paling encer di awal kampanye, tapi  bisa berbalik 180 derajat menjadi bebal ketika sudah resmi menjabat. Butuh sedikit pencerahan untuk dapat kembali normal, misal dengan menaikkan upah gaji, atau berilah sebuah lamborghini warna merah hati.
5. Tangan: biasanya dipakai buat corat-coret, suka bubuh-bubuh tanda (tangan) seenaknya. Kadang juga digunakan sebagai alat buat  nampar oposisi-oposisi yang bacot dan kelakuannya keterlaluan; seringkali fungsi kelima jarinya ditekuk dan disederhanakan, jelas jari yang ukurannya paling panjang ditunjukkan kepada orang-orang yang merasa mengusik otoritasnya.
6. Kaki: selalu dilindungi sepatu mahal, yang bahkan debu pun tidak berani menempel. Salah satu anggota tubuh yang paling giat kalau disuruh berangkat ambil gaji, tapi paling malas menemui rakyat yang sekarat mau mati. Pada pagi hari digunakan untuk berjalan ke gedung tempat kerja, pada malam hari digunakan untuk mengunjungi beberapa wisma.
7. Hati: sesuatu yang jarang dimiliki oleh mereka, sekalinya disuruh hati-hati malah main hati. 

8. Ke-malu-an: halaaaahh.... udah, yang ini gak usah dibahas. Bukan apa-apa, tapi karena memang mereka sudah tidak punya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


“Lovely Man”, sebuah film keluarga yang dikemas dalam konsep super indie. Film karya Teddy Soeriaatmadja tersebut menyuguhkan secara intim dialog – dialog antara kedua tokoh utama, yaitu Ipuy (sang ayah) dan Cahaya (sang anak). Menyuguhkan relasi absurd antara seorang bapak yang  transgender dengan anak gadisnya yang berjilbab.
Masing – masing tokoh dalam Lovely Man menampilkan permasalahan personal, Ipuy (yang diperankan oleh Donny Damara) dengan masalah orientasi seksual dan permasalahan keluarga dan Cahaya (yang diperankan oleh Raaihanun) dengan permasalahan hamil diluar nikah serta keinginan yang keras untuk mengungkap identitas ayahnya. Adegan demi adegan memaksa penonton untuk tune-in menjadi pendengar setia, tidak berbelit – belit namun cukup membuat audiens betah berlama – lama untuk menikmati apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mengambil latar Jakarta dengan gemerlap kehidupan malamnya, Lovely Man berusaha menampilkan rahasia umum dari kelompok LGBT, kelompok yang mungkin di Indonesia masih termarjinalkan secara sosial budaya. Background adegan yang dibuat samar dengan kerlap –kerlip lampu menunjukkan bahwa sang pembuat film ingin penonton fokus pada tokoh utama saja, berikut cerita dan dialog apa yang akan disampaikan oleh mereka.
LGBT sebagai sebuah isu sensitif (di Indonesia khususnya), tentu dapat dikaji dari berbagai perspektif, mulai dari semiotika, hermeneutika, kajian agama hingga teori kritik. Dari perspektif semiotik misalnya, terlihat bagaimana dalam film “Lovely Man” seorang LGBT disimbolkan sebagai suatu hal yang menyimpang, salah dan tidak sesuai dengan konvensi yang ada. Konvensi mengenai tampilan pria dan wanita yang “sesuai kodrat” seolah ditentang oleh munculnya fenomena LGBT sebagai antitesis dari tampilan pria dan wanita pada umumnya.
Dalam film tersebut, kelompok LGBT (masih) dianggap sebagai bahan olok – olok, seolah ia tidak lebih baik daripada non-LGBT. Mereka juga masih dianggap kelompok “kelas dua” yang memang pantas untuk dijauhi dan disisihkan dari masyarakat. LGBT ditolak bumi, seperti Syiah ditolak Sampang. LGBT terkatung – katung bagai Rohingya, menanti keadilan yang tak kunjung diwacanakan.
Padahal kalau kita tengok, banyak sekali cendekiawan dan penemu seperti Leonardo Da Vinci, Benedict Anderson dan Alan Turing yang menorehkan prestasi, meski notabene mereka adalah seorang LGBT. Pada intinya, LGBT tidak lebih buruk dan tidak lebih baik dari orang-orang normal yang hetero. Mereka bukan berarti tidak bisa berprestasi. Jangan mendangkalkan pikiran dengan mudah terjebak pada stereotip – stereotip yang ada.
Hal yang juga menarik dari film ini adalah bagaimana dalam film ini terdapat paradigma yang dipertukarkan. Ipuy dengan segala kesempurnaan pada awalnya ketika dia menjadi lelaki, dibalik 180 derajat menjadi sosok yang gemulai. Yang lebih mengenaskan lagi adalah adegan ketika Ipuy diserang dan disodomi oleh gerombolan preman, namun ipuy tidak melawan. Sungguh sangat janggal jika melihat otot bisep dan trisep yang ada pada Ipuy tidak berfungsi  sama sekali (yang menurut orang – orang lelaki berotot adalah lelaki kuat dan sanggup melawan). Lagi-lagi, ditunjukkan paradigma yang dipertukarkan yaitu bahwa sekekar apapun otot banci, jika banci ya banci, tetap tidak bisa macho.
Ini berhubungan dengan teori konstruktivitas sosial, dimana nilai – nilai kepercayaan, sikap dan perilaku sesorang adalah suatu bentukan. Bentukan darimana? Tentu saja bentukan sosial, sesuai dimana ia tinggal dan membaca situasi.
Selan dari sisi semiotika, fenomena LGBT dapat pula dikaji melalui teori hermeneutika. Hermeneutika secara sederhana adalah cara untuk menafsirkan dan mengartikulasikan teks. Dalam hal ini, LGBT adalah suatu teks yang bisa diamati dan ditafsirkan. Menurut Gadamer, makna suatu teks adalah terbuka dan tidak terbatas pada maksud si pengarang. Pemahaman merupakan suatu tindakan produktif, bukan merupakan reproduksi dari naskah aslinya. (Hidayat: 2006).
Kita dapat memaknai itu sebagai suatu antitesis yang (pasti) berujung pada terpecahnya kelompok menjadi beberapa golongan, yaitu golongan yang pro dan kontra. Banyak sekali penafsiran dan pendapat dari dua golongan ini, yang sangat menarik untuk disimak. Namun disini tidak akan terlalu dibahas debat kusir antara golongan ekstrim tersebut.
Menanggapi fenomena LGBT, kemana sebaiknya kita menapakkan kaki? Apakah lebih baik kita menolak secara keras, ataukah kita justru mendukung mereka (dengan tameng kemanusiaan), itu semua hak subjektif masing – masing dari kita.
Kalau saya sih, dalam menyikapi fenomena LGBT  lebih suka menggunakan analogi “babi haram”. Memakan babi itu haram, sama dengan larangan (dalam kitab suci tercinta) bahwa LGBT juga dilarang. Tapi meski babi itu haram, apakah kita secara buta membunuh babi – babi itu? Bukankah kita membiarkan babi-babi itu hidup? Lagi pula apakah kita akan membunuh babi-babi tak bersalah itu jika mereka memang secara fitrah diciptakan (oleh-Nya) sebagai hewan yang tidak layak dikonsumsi? Sampai di titik ini saya tidak berusaha menyamakan kelompok LGBT dengan babi, ini hanya analogi. Contoh lain, apakah kita membenci anjing hanya karena air liurnya dianggap rusuh? Sekali lagi, saya sama sekali tidak berusaha menyamakan kelompok LGBT dengan anjing, ini hanya analogi.
Kelompok LGBT memang tidak hadir secara sulapan, tetapi merupakan hasil dari sosialisasi budaya. Pun, fenomena tersebut juga bukan merupakan keturunan secara genetik. Magnus Hirscheld (1899) mengungkapkan bahwa tidak ada orang yang terlahir sebagai homoseksual sejak lahir. Artinya, LGBT adalah pilihan, sama seperti saat kalian memilih kampus, memilih pasangan, memilih makanan, atau saat kalian memilih antara NU dan Muhammadiyah. Atau ada dari Anda yang tidak benar – benar memilh? Itu urusan Anda.
            Ngomong – ngomong mengenai budaya, saya mempunyai seorang teman yang orientasi seksualnya adalah gay. Jangan berpikiran aneh – aneh apakah ia suka clubbing atau minum – minuman keras di bar karena tidak punya pelampiasan untuk menaruh hasrat seksualnya. Ia adalah lulusan pesantren, sudah melahap habis Ta’limul Muta’allim, Fiqih, Nahwu Sorof serta Aqidatul Awam wal Akhlaq. Lantas, bagaimana ia bisa menjadi seorang gay? Saya curiga bahwa budaya “mengkotak – kotakkan” antara murid laki – laki dan perempuan dalam tempatnya belajar justru menjadi pemantiknya. Karena terpenjara dalam kungkungan akhi – akhi sehingga tidak dapat melirik akhwat – akhwat cantik, maka ia meluapkan hasratnya pada sesama jenis. Bukan tidak mungkin kan?
Sementara disisi lain, para pengampu (baca: ulama’) mereka menentang keras saling “mencintai” sesama jenis. Tak diragukan, dua kali teman saya (dan mungkin kawan – kawannya sesama gay) ditembak secara keras, yaitu secara fisik dan psikologis.
Kalau masalah agama, ya jelas Ahlul hadist sangat menentang keberadaan LGBT. Rasanya ingin membuang mereka dari peradaban dan melempar mereka kepada umat zaman Nabi Luth yang diazab karena perilakunya yang keji itu. Yang pasti, ini masalah budaya, bukan masalah genetik. Kalaupun masalah genetik, mungkin para radikalis yang kontra terhadap LGBT itu rela mengumpulkan dana untuk mengubah gen kelompok LGBT supaya sama normalnya dengan mereka.
Masih mengenai budaya, saya sempat sedikit miris mendengar pernyataan dari lingkungan yang mengatakan bahwa berteman dengan kelompok LGBT akan membuat kita ketularan menjadi LGBT, nanti  buncit – buncitnya kita akan mengidap HIV/AIDS karena pergaulan yang tidak sehat. Padahal kalau dipikir, lebih banyak mana antara LGBT yang mempengaruhi orang normal untuk menjadi mereka, dengan orang normal yang memaksa kelompok LGBT untuk sama seperti mereka?
Saya teringat dengan cybernetics of system theory dimana komponen dari sistem yang dianggap menyimpang (kelompok LGBT) selalu berusaha dikembalikan pada track oleh komponen yang lainnya (kelompok non-LGBT). Tapi, bagaimana jika corrective feedback yang dilakukan oleh kelompok non-LGBt ini tidak tepat sasaran, melainkan dari awal kelompok LGBT tidak merasa sejalan dengan mereka? Itu perkara lain.
Pada intinya, saya akan mengajak Anda kepada Teori Kelas (Karl Marx) sebagai kesimpulan. Teori kritik Marx, atau yang lebih dikenal dengan teori kelas mengatakan bahwa ada dominasi oleh kaum borjuis atas kaum proletar. Dalam hal ini, kelompok LGBT bisa dianalogikan sebagai kaum proletar, sedangkan kelompok non-LGBT dilihat sebagai kaum borjuis. Artinya, ada dominasi kelompok non-LGBT kepada kelompok LGBT, yang dalam hal ini membuat kelompok LGBT termarjinalkan secara sosial budaya, mendapatkan kekerasan verbal dan nonverbal, dsb.
Dalam teori kritik, aspek yang paling penting adalah kuasa (power). Pierce & Dougherty (2002) mengatakan bahwa konsep kuasa berhubungan dengan kontrol dan dominasi, yang merupakan ide utama dari semua teori kritik. Kelompok yang mempunyai kuasa dan dominasi akan dapat melakukan perlawanan, dan saya berharap ada semakin banyak kelompok macam ini yang mengadvokasi kelompok LGBT di era ini. 

Jika ini terkesan terlalu liberal, maka izinkan saya untuk melempar balik kepada Anda sebuah pertanyaan: sebenarnya apa ideologi Indonesia saat ini?
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar


Benar – benar asing ketika aku menyatakan diri sebagai yang dicintai, oleh kanopi yang meneduhkanku. Ada kegundahan yang  memang belum mencapai stadium akhir. Berspekulasi ini itu. Ada prasangka baik, ada prasangka buruk. Aku lebih tidak tahu lagi perasaannya.

Panggil aku Ratna karena pasanganku adalah Galih, aku tak tahu aku siapa karena aku tidak tahu pasangan Arjuna. Yang ada hanya perasaan yang terlalu berlebihan, yang menggelikan. Malamku tak ada asa, panjang cerita, adanya putus asa. Terlalu malu, terlalu percaya. Tak ada berita datang, aku kecewa.
Kanopi
Kanopi
Kanopi
Ka.. ka.. ka.. Katastropik!

Biasanya aku terlalu terbiasa sendiri, tetapi tidak untuk kini. Harus ku akui, kadang ingin ku kembali ke masa saat tak tahu apa- apa. Walau rasanya hampa tapi aku tidak apa – apa. Sampai tiba waktu ketika dia menyentuhku lagi, dengan ramah dan menyenangkan, melupakan apa yang terjadi seharian.

Aku memohon agar kapalku tak terseret angin, karena pelabuhan sudah dekat. Ini sudah terlalu jauh untuk ku kembalikan. Sungguh susah untuk ku berjuang, karena setiap masa rasa ku menabrak karang.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Hari ini aku membuka mata, menatap dunia. Kesangsian terhadap segala yang terlihat membuat jiwa ragaku tak tenang. Aku mondar – mandir berusaha menemukan jawabannya. Aku berlari keluar ke alam bebas, yang ku temukan langit – langit berwarna cerah. Aku berlari lagi ke ujung yang lain, yang ku temukan adalah kerlap – kerlip lampu dunia dalam gelap. Aku berlari ke ujung yang lain, tapi salah, sebab tidak pernah ada ujung yang kutemui. Segala usaha yang kukerahkan untuk berlari terhenti tatkala aku tahu bahwa yang aku pijak ini tak berujung. Aku akan kembali lagi ke tempatku, sejauh kuasaku berlari dan berharap.
Sejak saat itu aku merasa ragu terhadap diriku, aku merasa kecil, aku merasa ada sesuatu yang melingkupiku. Aku juga tidak tahu – menahu tentang diriku. Aku merasa ada yang berteriak kepadaku, atau jangan – jangan aku yang berteriak terhadap dunia luar. Semua begitu ramai dalam benakku, tidak ada yang ingin diam maupun mengalah. Semua berebut ingin di dengar, dan pada gilirannya kemudian aku bertanya:
“Sebenarnya aku siapa dan terbuat dari apa? Siapa yang menciptakanku? Siapa pula yang menciptakan dunia? Apakah aku hidup atau mati? Apakah aku sadar bahwa aku hidup atau mati? Apakah aku harus tahu bahwa aku hidup atau mati? Apa sebenarnya hakikat hidup?”
Semakin aku mencegah maka ia semakin berteriak. Ia terus bertanya tanpa henti tentang apa yang tidak ia ketahui, tentang segala keraguan sebab ia merasa kecil dan hina. Kemudian, dengan apa aku menjawab kesangsian tak berujung ini?
Aku kembali melakukan perjalanan, kini ku lihat orang – orang berkerumun. Aku bertanya kepada salah satu di antara mereka:
“Apakah ada kekuatan yang lebih besar dari kekuatan alam? Apakah ada makhluk – mahkluk penjaga siang dan malam? Apakah ada tuntunan yang mengajarkan bahwa aku harus tahu tentang ini dan itu? Apakah ada sosok yang mampu menjelaskan padaku tentang kesangsianku? Apakah sosok itu juga akan mampu menjelaskan tentang awal dan akhir dari dunia? Apakah mungkin ada tempat lain selain dunia yang ku pijak?”
Aku kembali melakukan perjalanan. Di setiap perjalanan aku merasa semakin banyak bertanya. Aku tidak merasa semakin tahu, aku justru merasa semakin bodoh dan semakin gila. Aku gila bertanya, seperti orang – orang pernah menyebutku dengan sebutan itu: “Gila!!!”, sambil berteriak. Aku kini terbahak. Memang aku gila. Aku orang gila yang banyak bertanya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Her aura is made of poetry, roses and sarcasm.

Follow Us

  • LinkedIn
  • Instagram
  • Facebook

Handcrafting

Go follow @bukakreasi on Instagram. Thx!

Blog Archive

  • ▼  2018 (1)
    • ▼  Oktober (1)
      • Kembara Jarak
  • ►  2017 (8)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2016 (15)
    • ►  Desember (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (5)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates