The Allegiant; Sebuah Tautan Kesetiaan
Photo cr: Fissabila. |
Dengan sangat berat, ini adalah pengakuan dari diri yang merasa inferior. Ketika kau menghadapkan diri pada sosok yang luar biasa indah, yang akan sangat sayang ketika kau tolak entitasnya. Karena sungguh bagaimanapun, ia memanjakanmu, memanjakan mata kecilmu yang tiap hari hanya kau isi untuk berlelah-lelah melihat rangkaian paragraf tanpa makna. Terhadapnya kau menjadi kecil, seolah ia yang lebih leluasa melingkupi. Dan kenyataannya adalah kau menghendaki dirimu untuk didominasi.
Betapa
kau sudah mengumbar senyum, dengan sesumbar kau pamerkan seolah
lebih manis dari madu. Kau membangun keutuhan, berharap akan ada hasil
maksimal. Tanpa perlu banyak usaha untuk mereduksi, menerka-nerka informasi,
menguarkan ketar-ketir dalam hati.
Sekali
lagi, balasan senyum yang begitu indah melupakan sejenak kenyataan bahwa ia
hanyalah orang baru, orang lewat, seorang figuran yang mungkin nyata secara
materi. Tapi dalam satu spasi, ada kekosongan yang begitu padat. Kekosongan itu
bagai teka-teki yang tak memungkinkan orang sepertiku untuk menjawab.
Taruhlah
fakta bahwa kami berada pada jarak privat, secara kasat mata. Pada batasan
secara rasional, bukan emosional. Ada yang mencoba begitu kuat, menemukan unsur
yang diperlukan agar reaksi ini berjalan. Reaksi kimia ini kau sebut chemistry, sesaat kemudian.
Lunak,
hati ini sampai yang terdalam pun melunak. Pandangannya begitu teduh, namun
hanya seperempat dari sekian detik. Alisnya tidak begitu tebal, tapi
meneduhkan. Kala mulutnya komat-kamit berbicara, aku tidak melihat
kepura-puraan. Hanya beberapa sisi terlihat bahwa setiap orang tidak sama dalam
mengungkapkan, tapi setidaknya ada usaha yang besar telah dilakukan.
Kalau
kau tahu bagaimana caranya berpikir, lihatlah dari caranya berjalan. Ia
berjalan dengan cepat, tapi langkah kakinya kuyu sendu. Bukan main ingin ku
topang, tapi aku kalah cepat darinya. Sehingga daya yang kupunya hanya ku
habiskan untuk melihat dari jauh. Sampai pada masa dimana aku dengan tergesa
menyanding langkahnya, dengan kembali mengulas senyum tak bernyawa.
Ini
pertemuan pertama, bukan yang paling sempurna. Setidaknya ia bercerita tentang
keluarganya, juga tentang selayang pandang keinginan untuk melanjutkan studi ke
Eropa. Ia yang baru rapi kumis tipisnya, meluapkan energi yang membuatku
berdebar rasa. Sengaja stopwatch kubiarkan menyala, menghitung mundur
sampai dimana kegilaanku sanggup bersua. Pun kompas menerawang, mencari-cari
arah darimanakah kegilaan ini bermula.
Aku
harus bijak, meski sedikit demi sedikit. Memahami bahwa kau tidak sesempurna
seperti yang ada dalam bayangannya, memerlukan banyak tenaga. Meski kau gagal
secara visual, tapi setidaknya kau tampil maksimal. Bibirmu kau olesi gincu,
telapakmu kau usapi harum-harum parfum. Bersaing dengan wangi tubuhnya ketika
angin degan lembut menerpa.
Ketika
kau mulai memikirkannya sepanjang perjalanan, maka eksistensinya dalam
pikiranmu cukup ada. Kau tarik kembali memori bahwa ia melempar kemauan untuk
duduk berdampingan, menikmati tayangan dari negeri entah, dalam bangunan
bertingkat yang pada hari itu tak terlalu ramai. Selama tayangan itu
ditampilkan, ia bungkam. Tak mengatakan sepatah katapun menjadi petunjuk bahwa
ia menikmati, atau justru perilakunya menghianati. Ia lalu melihat jam tangan,
mengingat bahwa ada kewajiban menyembah Tuhan.
Sejurus
pandangan menyapu, hanya ada beberapa kursi yang tak kosong dalam bangunan itu.
Kita membuatnya menjadi lebih sepi sejenak. Saat beberapa sujud menepi dalam
ruangan sempit yang tempat bersucinya tak terhijabi.
Bahwa
aku melihatnya menyingkap rambut sesaat setelah dahinya menyentuh tanah, adalah
suatu keberkahan. Aku hanya melihat sekali, dan mungkin tak akan pernah lagi.
Karena beberapa masa kemudian, kami terpisah jarak di ujung gang malam ini.
Meski pada akhirnya tidak bisa dimiliki, setidaknya bisa menjadi pelengkap
mimpi. Kesediaan menghadirkan pecahan memori, sedalam-dalamnya ingin kembali ku
nikmati, lamat-lamat lagi.
Aku
menemukan diriku berbeda dalam memandang ia. Satu yang dapat kugarisbawahi
adalah bahwa kau tidak perlu menjadi sempurna, karena ketika kau menjadi
sempurna maka hanya keinginan menghancurkan yang mengapung di atasnya. Kau
tidak perlu mengobrak-abrik hukum keseimbangan yang sudah diciptakan sesuai
porsi. Kau hanya perlu mengatur pikiranmu agar tidak menjadi pribadi yang terobsesi
menguasai ini-itu di segala lini.
Akhirnya
berbahagialah, wahai kau jiwa yang ku banggai untuk menemukan pendamping
sejati. Raga dan jiwaku mungkin tak akan pernah menjadi hitungan yang bernilai
tinggi. Sebaliknya, aku hanya punya ucapan yang secara berkala kupanjatkan,
agar kita dipertemukan pada yang paling tepat atas waktu dan kesempatan. Kelak,
dalam ridho Yang Maha Mengabulkan.
4 komentar
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBetapa tulisan ini selalu membuatku bertanya tanya.. ada apa? Dengan siapa? sampai seperti apa? Mengapa? betapa beberapa bagiannya terasa serupa, namun sebagian lagi terasa asing. Aku harap suatu masa kita bisa bersua atau bahkan di takdirkan oleh sang Kuasa dengan tak sengaja.. bertemu, bercerita.. dengan berlapang dada.. #puitisdikitefekdengerinradio
BalasHapus