Lovely Man: Karena Semua Orang Pantas Dicintai
“Lovely Man”, sebuah film
keluarga yang dikemas dalam konsep super indie. Film karya Teddy Soeriaatmadja
tersebut menyuguhkan secara intim dialog – dialog antara kedua tokoh utama,
yaitu Ipuy (sang ayah) dan Cahaya (sang anak). Menyuguhkan relasi absurd antara
seorang bapak yang transgender dengan anak gadisnya yang berjilbab.
Masing – masing tokoh dalam
Lovely Man menampilkan permasalahan personal, Ipuy (yang diperankan oleh Donny
Damara) dengan masalah orientasi seksual dan permasalahan keluarga dan Cahaya
(yang diperankan oleh Raaihanun) dengan permasalahan hamil diluar nikah serta
keinginan yang keras untuk mengungkap identitas ayahnya. Adegan demi adegan
memaksa penonton untuk tune-in menjadi
pendengar setia, tidak berbelit – belit namun cukup membuat audiens betah
berlama – lama untuk menikmati apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mengambil latar Jakarta
dengan gemerlap kehidupan malamnya, Lovely Man berusaha menampilkan rahasia
umum dari kelompok LGBT, kelompok yang mungkin di Indonesia masih
termarjinalkan secara sosial budaya. Background adegan
yang dibuat samar dengan kerlap –kerlip lampu menunjukkan bahwa sang pembuat
film ingin penonton fokus pada tokoh utama saja, berikut cerita dan dialog apa
yang akan disampaikan oleh mereka.
LGBT sebagai sebuah isu
sensitif (di Indonesia khususnya), tentu dapat dikaji dari berbagai perspektif,
mulai dari semiotika, hermeneutika, kajian agama hingga teori kritik. Dari
perspektif semiotik misalnya, terlihat bagaimana dalam film “Lovely Man”
seorang LGBT disimbolkan sebagai suatu hal yang menyimpang, salah dan tidak
sesuai dengan konvensi yang ada. Konvensi mengenai tampilan pria dan wanita
yang “sesuai kodrat” seolah ditentang oleh munculnya fenomena LGBT sebagai
antitesis dari tampilan pria dan wanita pada umumnya.
Dalam film tersebut,
kelompok LGBT (masih) dianggap sebagai bahan olok – olok, seolah ia tidak lebih
baik daripada non-LGBT. Mereka juga masih dianggap kelompok “kelas dua” yang
memang pantas untuk dijauhi dan disisihkan dari masyarakat. LGBT ditolak bumi,
seperti Syiah ditolak Sampang. LGBT terkatung – katung bagai Rohingya, menanti
keadilan yang tak kunjung diwacanakan.
Padahal kalau kita tengok,
banyak sekali cendekiawan dan penemu seperti Leonardo Da Vinci, Benedict
Anderson dan Alan Turing yang menorehkan prestasi, meski notabene mereka adalah
seorang LGBT. Pada intinya, LGBT tidak lebih buruk dan tidak lebih baik
dari orang-orang normal yang hetero. Mereka bukan berarti tidak bisa
berprestasi. Jangan mendangkalkan pikiran dengan mudah terjebak pada stereotip
– stereotip yang ada.
Hal yang juga menarik dari
film ini adalah bagaimana dalam film ini terdapat paradigma yang dipertukarkan.
Ipuy dengan segala kesempurnaan pada awalnya ketika dia menjadi lelaki, dibalik
180 derajat menjadi sosok yang gemulai. Yang lebih mengenaskan lagi adalah
adegan ketika Ipuy diserang dan disodomi oleh gerombolan preman, namun ipuy
tidak melawan. Sungguh sangat janggal jika melihat otot bisep dan trisep yang
ada pada Ipuy tidak berfungsi sama sekali (yang menurut orang –
orang lelaki berotot adalah lelaki kuat dan sanggup melawan). Lagi-lagi, ditunjukkan
paradigma yang dipertukarkan yaitu bahwa sekekar apapun otot banci, jika banci ya banci,
tetap tidak bisa macho.
Ini berhubungan dengan
teori konstruktivitas sosial, dimana nilai – nilai kepercayaan, sikap dan
perilaku sesorang adalah suatu bentukan. Bentukan darimana? Tentu saja bentukan
sosial, sesuai dimana ia tinggal dan membaca situasi.
Selan dari sisi semiotika,
fenomena LGBT dapat pula dikaji melalui teori hermeneutika. Hermeneutika secara
sederhana adalah cara untuk menafsirkan dan mengartikulasikan teks. Dalam hal
ini, LGBT adalah suatu teks yang bisa diamati dan ditafsirkan. Menurut Gadamer,
makna suatu teks adalah terbuka dan tidak terbatas pada maksud si pengarang.
Pemahaman merupakan suatu tindakan produktif, bukan merupakan reproduksi dari
naskah aslinya. (Hidayat: 2006).
Kita dapat memaknai itu
sebagai suatu antitesis yang (pasti) berujung pada terpecahnya kelompok menjadi
beberapa golongan, yaitu golongan yang pro dan kontra. Banyak sekali penafsiran
dan pendapat dari dua golongan ini, yang sangat menarik untuk disimak. Namun
disini tidak akan terlalu dibahas debat kusir antara golongan ekstrim tersebut.
Menanggapi fenomena LGBT,
kemana sebaiknya kita menapakkan kaki? Apakah lebih baik kita menolak secara
keras, ataukah kita justru mendukung mereka (dengan tameng kemanusiaan), itu
semua hak subjektif masing – masing dari kita.
Kalau saya sih, dalam
menyikapi fenomena LGBT lebih suka menggunakan analogi “babi haram”.
Memakan babi itu haram, sama dengan larangan (dalam kitab suci tercinta) bahwa
LGBT juga dilarang. Tapi meski babi itu haram, apakah kita secara buta
membunuh babi – babi itu? Bukankah kita membiarkan babi-babi itu
hidup? Lagi pula apakah kita akan membunuh babi-babi tak bersalah itu jika
mereka memang secara fitrah diciptakan (oleh-Nya) sebagai hewan yang tidak
layak dikonsumsi? Sampai di titik ini saya tidak berusaha menyamakan
kelompok LGBT dengan babi, ini hanya analogi. Contoh lain, apakah kita
membenci anjing hanya karena air liurnya dianggap rusuh? Sekali lagi, saya sama
sekali tidak berusaha menyamakan kelompok LGBT dengan anjing, ini hanya analogi.
Kelompok LGBT memang tidak
hadir secara sulapan,
tetapi merupakan hasil dari sosialisasi budaya. Pun, fenomena tersebut juga
bukan merupakan keturunan secara genetik. Magnus Hirscheld (1899)
mengungkapkan bahwa tidak ada orang yang terlahir sebagai homoseksual sejak
lahir. Artinya, LGBT adalah pilihan, sama seperti saat kalian memilih kampus,
memilih pasangan, memilih makanan, atau saat kalian memilih antara NU dan
Muhammadiyah. Atau ada dari Anda yang tidak benar – benar memilh? Itu urusan
Anda.
Ngomong
– ngomong mengenai budaya, saya mempunyai seorang teman yang orientasi
seksualnya adalah gay. Jangan
berpikiran aneh – aneh apakah ia suka clubbing atau
minum – minuman keras di bar karena tidak punya pelampiasan untuk menaruh
hasrat seksualnya. Ia adalah lulusan pesantren, sudah melahap habis Ta’limul Muta’allim,
Fiqih, Nahwu Sorof serta Aqidatul Awam
wal Akhlaq. Lantas, bagaimana ia bisa menjadi seorang gay? Saya curiga
bahwa budaya “mengkotak – kotakkan” antara murid laki – laki dan perempuan
dalam tempatnya belajar justru menjadi pemantiknya. Karena terpenjara dalam
kungkungan akhi
– akhi sehingga tidak dapat melirik akhwat – akhwat cantik,
maka ia meluapkan hasratnya pada sesama jenis. Bukan tidak mungkin kan?
Sementara disisi lain, para
pengampu (baca: ulama’) mereka
menentang keras saling “mencintai” sesama jenis. Tak diragukan, dua kali teman
saya (dan mungkin kawan – kawannya sesama gay) ditembak secara keras, yaitu
secara fisik dan psikologis.
Kalau masalah agama, ya jelas Ahlul hadist sangat
menentang keberadaan LGBT. Rasanya ingin membuang mereka dari peradaban dan
melempar mereka kepada umat zaman Nabi Luth yang diazab karena perilakunya yang
keji itu. Yang pasti, ini masalah budaya, bukan masalah genetik. Kalaupun
masalah genetik, mungkin para radikalis yang kontra terhadap LGBT itu rela
mengumpulkan dana untuk mengubah gen kelompok LGBT supaya sama normalnya dengan
mereka.
Masih mengenai budaya, saya
sempat sedikit miris mendengar pernyataan dari lingkungan yang mengatakan bahwa
berteman dengan kelompok LGBT akan membuat kita ketularan menjadi LGBT,
nanti buncit – buncitnya kita akan mengidap HIV/AIDS karena
pergaulan yang tidak sehat. Padahal kalau dipikir, lebih banyak mana antara
LGBT yang mempengaruhi orang normal untuk menjadi mereka, dengan orang normal
yang memaksa kelompok LGBT untuk sama seperti mereka?
Saya teringat dengan cybernetics of system
theory dimana komponen dari sistem yang dianggap menyimpang (kelompok
LGBT) selalu berusaha dikembalikan pada track oleh
komponen yang lainnya (kelompok non-LGBT). Tapi, bagaimana jika corrective feedback yang
dilakukan oleh kelompok non-LGBt ini tidak tepat sasaran, melainkan dari awal
kelompok LGBT tidak merasa sejalan dengan mereka? Itu perkara lain.
Pada intinya, saya akan
mengajak Anda kepada Teori Kelas (Karl Marx) sebagai kesimpulan. Teori kritik
Marx, atau yang lebih dikenal dengan teori kelas mengatakan bahwa ada dominasi
oleh kaum borjuis atas kaum proletar. Dalam hal ini, kelompok LGBT bisa
dianalogikan sebagai kaum proletar, sedangkan kelompok non-LGBT dilihat sebagai
kaum borjuis. Artinya, ada dominasi kelompok non-LGBT kepada kelompok LGBT,
yang dalam hal ini membuat kelompok LGBT termarjinalkan secara sosial budaya,
mendapatkan kekerasan verbal dan nonverbal, dsb.
Dalam teori kritik, aspek
yang paling penting adalah kuasa (power). Pierce & Dougherty (2002)
mengatakan bahwa konsep kuasa berhubungan dengan kontrol dan dominasi, yang
merupakan ide utama dari semua teori kritik. Kelompok yang mempunyai kuasa
dan dominasi akan dapat melakukan perlawanan, dan saya berharap ada semakin
banyak kelompok macam ini yang mengadvokasi kelompok LGBT di era ini.
Jika ini terkesan terlalu
liberal, maka izinkan saya untuk melempar balik kepada Anda sebuah pertanyaan:
sebenarnya apa ideologi Indonesia saat ini?
1 komentar
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus