Recall 2016
Photo cr: Telekainetic. |
Aku terjerembab pada gravitasi ranjang. Ribuan titik terang yang seharusnya bisa kutemukan kini mendadak hilang. Fungsi neuronku benar-benar mandek, tidak cukup sanggup untuk menemukan solusi bagi pemecahan mata kuliah ini. Bukan, ini bukan tugas mendebat-kusirkan pemikiran Hegel atau Heidegger. Maksudku, ini lebih dari itu. Bagaimana bisa aku menemukan tempat percetakan yang melayani penjilidan hard cover dalam waktu 6 jam sebelum deadline pengumpulan. Ini gila.
Tapi ada yang lebih
parah dari (sekedar) membahas tugas kuliah. Aspek hidupku lebih luas daripada
itu. Banyak yang kupikirkan, bahkan termasuk yang tidak harus. Sungguh konyol.
Aku mengeruk guling dengan damai, memeluknya barangkali ada kenyamanan yang ku
dapat.
Ketika sedang
berkutat dalam segala permasalahan semu yang tak jelas ini, lampu kamar padam.
Aku tidak mengutuk pegawai kelistrikan. Yang aku sesalkan adalah mengapa
segalanya menjadi gelap dalam waktu yang bersamaan, tak hanya otakku tapi juga
ruangan ini.
Sejalan dengan
padamnya lampu kamar yang pada mulanya memang remang-remang, otakku menerawang.
Bulu kuduk pun mulai meremang. Bukan, ini bukan kode munculnya hantu atau
sejenisnya. Maksudku, ini lebih dari itu. Yang datang kali ini adalah ingatan,
atas seseorang yang mungkin pernah menjadi pagi bagi matahari, atau malam bagi
bulan.
Pikiranku mengais
memori lampau. Yang kemudian muncul sebuah adegan dimana perasaan lega
bergelayut manja. Tapi itu hanya sejenak, sebab kutahu bahwa kelegaan itu
meninggalkan kerapuhan yang sulit hancur. Ia menggantung, bagai peribahasa hidup
segan, mati tak mau.
Sial. Aku kembali
merutuki nasib. Kali ini aku sedikit menyalahkan petugas kelistrikan, sebab
sudah satu jam lampu ini tak kunjung menyala. Sementara, deadline tugas kuliah
tinggal 5 jam lagi. Aku harus berbuat sesuatu.
“Ra, tempat
penjilidan hard cover yang masih buka jam segini dimana ya?”
Aku menelepon seorang
kawan.
“Lu pikir pekerjanya
mesin yang ga butuh istirahat? Ya kali anak ITS kaga ada istirahatnya. Gue
tidur. Lu gila bangunin gue jam segini. Besok gue presentasi pemasaran.”
Klik! Telepon
terputus.
Geez... bahkan
sahabat bisa menjadi galak disaat seperti ini. But, wait... ITS! Bukankah di
dekat ITS ada penjilidan 24 jam? Astagaaaaa! Aku bahkan tak mampu mengingat hal
ini. Aku melompat dari ranjang. Tangan kiriku meraih flashdisk dan
dompet, sedang tangan kananku memasukkan telepon genggam ke kantong celana.
Segeralah aku bergegas menuju tempat penjilidan. Niatku sempat melemah,
mengingat ini adalah dini hari. Tapi, ah persetan. Aku percaya esok justru akan
jadi neraka yang nyata kalau hari ini aku tidak bergegas. Karena dosen tak
pernah tanggung-tanggung memberi diskon pada yang terlambat mengumpulkan tugas.
Suasana dini hari
benar-benar sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Untungnya lampu
jalan tidak turut padam. Aku menengok ke layar smartphone, hmmm
lima derajat celcius. Tak hanya sepi, tapi juga dingin. Sambil merapatkan
jaket, aku mengambil langkah sedikit berlari. Suara-suara aneh sempat melewati
gendang telinga, namun aku berusaha fokus pada tempat yang ku tuju. Menjadi
indigo di saat-saat seperti ini sungguh tidak mengenakkan.
Beberapa langkah lagi
aku memasuki gerbang ITS. Tulisan “Instutute Technology of Seoul” terpampang
jelas. Bangunannya begitu megah. Namun aku tidak pernah berniat untuk menimba
ilmu disini. Semenjak awal aku sengaja menghindari bertemu dengan rumus-rumus rumit.
Hidup manusia sudah rumit, mengapa harus ditambah-tambah lagi? Tidak masuk
akal, bagiku.
Dari jarak beberapa
meter aku mendengar suara orang berbincang. Mungkin mahasiswa atau semacamnya.
Oh, tapi tidak. Mereka berasal dari dunia lain, dan aku tidak akan
menjelaskannya. Aku tidak akan mengganggunya. Semoga mereka tidak melihat ke
arahku. Aku lantas berlari, berlari sungguhan. Bukan takut pada mereka, namun
takut kalau-kalau tempat penjilidan sudah tutup. Cerobohnya, aku terantuk batu
yang cukup besar hingga terperosok dalam kubangan. Untungnya tak berair.
Aku sempat kehilangan
fokus sejenak. Hingga suara gesekan sepatu dengan tanah berumput lamat-lamat
terdengar semakin jelas. Ada yang mendekat, dari arah punggungku. Sial, makhluk
dari dunia mana lagi ini, pikirku. Ia mendehem, membuatku kepalang tanggung
untuk tidak menoleh. Tapi belum sempat aku menoleh, ia telah menunjukkan
identitasnya.
“Gadis macam mana
yang berkeliaran malam-malam begini hingga terperosok masuk kubangan?”
Aku menoleh. Tidak
salah lagi, ia memang manusia. Tapi, dari sekian banyak wajah, mengapa harus
wajah ini yang kulihat? God, can I just escape from this situation?
To
be continued..
0 komentar