Pada Mulanya Saya Ateis
Pada mulanya saya ateis. Sebab kata orang-orang, Tuhan itu tidak ada. Dan saya percaya itu. Keberadaan Tuhan terlalu abstrak, tidak logis, tidak empiris (setidaknya menurut saya). Saya hanya percaya pada hukum alam, bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan mekanismenya.
Lagipula, siapa
peduli dengan keberadaan Tuhan? Saya tidak mau pusing-pusing memikirkan hal-hal
ruwet seperti itu. Cukuplah saya hari ini bisa makan, tugas kuliah selesai, dan
tidak ada masalah dengan pacar (eh, btw saya tidak belum punya
pacar). Itu.
Kalaupun saya
percaya Tuhan, saya masih bingung. Sebab Tuhan hobi menyelinap di berbagai
agama. Saya masih harus dipusingkan dengan perihal memilih agama mana yang
tepat. Belum lagi ritual-ritual menjemukan yang harus dijalankan. Sungguh, saya
tidak mau keriput dan terkena penuaan diri hanya karena terlalu banyak mikir.
Masalahnya, biaya pengobatan salon (beserta krim-krimnya) semakin mahal dari
hari ke hari. Tekor, gengss.
Kalaupun saya
percaya Tuhan dan saya beragama, percayalah bahwa itu semua sekedar doktrin.
Itu semua semata-mata hanya untuk mengisi kolom agama pada kartu identitas,
juga agar dipandang normal di kalangan masyarakat. Ya, saya tinggal di
Indonesia, sebuah negara yang “mewajibkan” warga negaranya beradab dengan cara
beragama. Tolol. Bukankah urusan agama adalah urusan saya dengan Tuhan? Tolong
pisahkan!
Toh tanpa
beragama, saya tetap baik-baik saja dengan kehidupan saya. Sebab saya mengikuti
norma-norma sosial yang berlaku. Selama saya tidak mematuhi itu, saya tidak
akan bermasalah. Sudahlah, hidup itu yang praktis-praktis saja. Yang gampang
tidak usah dibikin ribet.
Kalian boleh marah
dan memaki-maki saya. Saya tidak peduli. Lagipula, apakah kalian benar-benar
bertuhan dan beragama? Kalian boleh kebakaran jenggot karena merasa bahwa Tuhan
memang ada, dan agama kalian yang paling benar. Tapi, bagaimana tanggungjawab
kalian terhadap Tuhan kalian, terhadap agama kalian? Sejauh mana kalian bisa
membuktikan itu? Bukankah kalian semua hanya orang yang terdoktrin oleh
dogma-dogma yang mengatasanamakan Tuhan dan agama? Hati-hati loh. Itu bahkan
lebih berbahaya daripada ateis. Belum lagi kalau kalian tidak bisa konsisten
dengan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Ujung-ujungnya, kalian hanya akan
mempermalukan ajaran Tuhan yang suci. Eakkkk.
Nah, gimana? Masih
yakin mendaku diri sebagai yang bertuhan dan beragama? Atau pilih jadi ateis
saja seperti saya? ^____^
Mungkin banyak
orang yang dongkol dengan ilustrasi diatas. Jangankan kalian, saya saja yang
bikin juga merasa jengkel, kok. Ilustrasi diatas memang sengaja diciptakan
sebagai bahan refleksi, bahwa ternyata selama ini hidup kita terlalu praktis.
Kebanyakan dari kita mungkin menempuh sesuatu yang kita anggap enak, bukannya
mencari sesuatu yang hakiki, yang benar dan yang seharusnya.
Begitu juga
masalah tentang ketuhanan dan keagamaan. Bagi kita yang tinggal di Indonesia,
adalah sesuatu yang tabu jika kita tidak memeluk suatu agama, ya minimal di KTP
lah. Apalagi pemerintah juga seolah “menyiratkan” pesan bahwa Indonesia adalah
negara yang bertuhan dan beragama. Salah satunya jelas terlihat pada pancasila
sila pertama yang berbunyi blablabla.... (semoga masih ingat).
Selain sila
pertama yang saya ucapkan dengan lafadz blablabla tadi, ketersiratan pemerintah
juga terlihat melalui cacat pikir seperti “di Indonesia, ada 5 agama yang
diakui. Yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha (baru-baru ini ditambah dengan
Kong Hu Chu)”. Padahal faktanya, harusnya tidak ada pembatasan agama, kan?
Indonesia tidak hanya mengakui beberapa agama saja, namun mungkin sejauh ini
memang hanya dapat mengakomodasi lima-enam agama saja. Tapi celakanya,
propaganda seperti ini sudah saya dengar semenjak Sekolah Dasar dan sampai saat
ini saya masih berusaha move on dari propaganda tersebut.
Bagaimana bisa terjadi hegemoni semacam itu tidak akan dijelaskan disini.
Nah, dari beberapa
agama tersebut diatas, terlihat ada satu agama yang menjadi primadona, sebab
paling banyak pengikutnya. Ya, islam. Akhir-akhir ini jumlah manusia-manusia
yang mengaku beragama islam semakin meningkat. Berapa jumlah para pemeluk agama
islam di Indonesia? Tanpa perlu menyebutkan jumlahnya secara pasti, saya dengan
lantang meneriakkan: BANYAK DAN MAYORITAS!! (Anda bisa googling sendiri, deh).
Namun, selayak apa
kebanggaan kita terhadap ke-banyak-an dan ke-mayoritas-an atas kuantitas
tersebut? Bukankah seharusnya quality over quantity? Yang
berarti bahwa seharusnya kualitas haruslah mengungguli kuantitas. Tapi
nyatanya? Banyak kita lihat muslim kekinian yang tidak menunjukkan
keislamannya, atau menunjukkannya dengan cara yang kurang tepat.
Akar
permasalahannya (menurut saya) ada dua: mereka belum paham dan atau mereka
tidak berusaha memahami (secara komprehensif). Buntut-buntutnya, mereka akan
dengan mudah tergolek lemah ketika dihadapkan dengan premis-premis dari
kelompok yang tidak beragama dan tidak mempercayai Tuhan. Atau barangkali para
muslim kekinian Indonesia, (tidak termasuk saya), sudah benar-benar
meninggalkan kepercayaannya atas Tuhan? Kalau tidak, syukurlah. Tapi kalau iya,
siaga satu!
Hmmm kira-kira apa
penyebabnya? Bagaimana dengan mudah keyakinan tersebut tanggal?
To be continued. –
dibuat dan diposting pada Rabu, 11 Mei 2016 pukul 20:30 WIB (Waktu Indonesia
Berak).
5 komentar
Ayo ngopi
BalasHapusaku baru ngepos kok kamu sudah komen mas? aku marah :D
HapusAyo ngopi
HapusDaftar boleh hahay...
BalasHapusDaftar boleh hahay...
BalasHapus