Instagram Facebook

Digna Tri Rahayu


Percaya atau tidak, kita adalah wartawan bagi diri kita sendiri. Hal ini menyangkut berbagai macam aspek kehidupan mulai dari ekonomi, sosial, politik dan agama yang sejatinya saling berkesinambungan. Dari segi ekonomi misalnya, kita bertanya pada diri kita terkait apa-apa saja yang ingin kita beli. Ada beberapa opsi, yaitu melakukan pembelian dengan perencanaan yang matang ataupun melakukan pembelian secara spontan. Misalnya, apabila ingin membeli sarapan (buat anak kos nih), ada yang udah berencana beli ayam goreng tapi ada pula yang yaudah lah adanya apa, ya itu yang gue beli.
Dalam konteks Indonesia, ini mungkin bukan persoalan yang memusingkan. Namun, bagaimana dengan konteks luar negeri? Atau pun jika di dalam negeri, bagaimana jika kita termasuk minoritas? Apakah semudah itu menemukan makanan  yang sesuai dengan apa yang kita inginkan seharusnya makan?
Kita ambil contoh orang Hindu yang kalo ngga salah nggak boleh makan sapi. Boro-boro makan rendang (yang terbuat dari daging sapi asli pilihan dan diolah oleh mamak dengan penuh cinta kasih), mau beli pentol aja mereka harus berpikir dua kali, jangan-jangan itu dibuat dari daging sapi. Hal ini benar-benar terjadi kepada seorang teman yang beragama Hindu. Sebut saja namanya Ni Putu (karena emang namanya Ni Putu). Waktu itu seusai belajar bersama di rumah seorang teman (ciye belajar), kebetulan ada abang jualan pentol lewat. Om pentol om. Kami kemudian memutuskan untuk membeli. Tentu saja tidak ada masalah bagi teman-teman non-Hindu, tapi ternyata tidak bagi Ni Putu. Disaat kami sudah menimbang dan memutuskan porsi untuk pentol, tahu dan siomay yang akan dimasukkan ke plastik berukuran tanggung warna putih, wajah Ni Putu tiba-tiba kurang bersemangat. Ia kemudian melontarkan satu pertanyaan yang mungkin menjadi salah satu dari unfamiliar question kepada abang penjual pentol: ini terbuat dari sapi, bang?, tanya Ni Putu. Suasana sempat freeze sejenak, termasuk kami (terutama saya). Ini benar-benar pertanyaan yang jarang diberikan oleh (calon) pembeli pentol kojek. Dengan agak tidak yakin si abang menjawab, iya neng ini dari daging sapi. Betapa semakin kuyu wajah Ni Putu mendengar jawaban penjual pentol tersebut. Ya sudah bang saya engga jadi beli, ucapnya dengan senyum kecut. Ia lantas meletakkan kembali plastik putih yang sudah sempat ia ambil.
Saya masih ingat betul reaksi saya pada waktu itu. Saya ingin memberitahu Ni Putu bahwa omg nonsense banget kalo pentol kojek seratusan gini terbuat dari daging sapi, paling banter juga daging ayam, namun tentu itu hanya berhenti pada tataran pikiran. Sebab, selain tidak ingin melukai harkat dan martabat sang penjual, saya juga tidak ingin mengobrak-abrik sistem kepercayaan yang sudah dianut semenjak lahir oleh teman saya ini. Mungkin dia ingin menjadi Hindu sejati dengan mematuhi nilai-nilai yang diharapkan oleh agama padanya. Seringkali, minoritas memang butuh kesabaran ekstra, seperti Ni Putu yang hanya bisa menelan ludah ketika melihat teman-teman lainnya melahap pentol seplastik gede. Sementara, si abang pentol tampaknya masih tak mengerti dengan apa yang terjadi hingga seorang teman akhirnya ambil suara, teman saya ini Hindu, bang. Engga boleh makan sapi. Si penjual pentol hanya mengangguk pelan. Sepertinya ia sedikit menyesal karena telah kehilangan satu pembeli. Meski nampak kecewa, tapi ya sudahlah.
Hal serupa juga dialami oleh teman saya yang lain ketika pergi ke Korea Selatan untuk audisi girlband mengikuti acara semi-akademik. Dia seorang wanita muslim dan berhijab (dan kpopers). Usai rampung mengikuti acara dan pulang ke Indonesia, ia dengan bersemangat menceritakan apa saja yang ia alami di sana, mulai dari udara dingin yang membuatnya menggigil (suhu di bawah nol derajat), melihat orang mabuk tidur di pinggir jalan, ketemu artis yang sedang melakukan shooting, hingga salah naik kereta dan akhirnya ketinggalan pesawat. Ia juga menceritakan betapa rasisnya orang Korea melihat wanita berhijab di tempat umum, juga susahnya mencari makanan yang tidak mengandung babi.
Lu tau ya, gue disana ngga sengaja makan mandu yang ternyata itu terbuat dari babi. Gue sedih banget, rasanya pingin nangis di tempat. Tapi apa daya, mandunya juga udah gue telen. Enak sih, tapi babi., ucapnya. Abis gue nyesel, akhirnya gue lebih selektif lagi pilih makanan. Pas di supermarket kan gue beli ramyun, nah gue pesen ke abang yang jual pokoknya gue beli ramyun yang no pork. No pork oppa, jebal (no pork sir, please). Dan lu tau kaga, ternyata dari sekian banyak ramyun yang di display di supermarket, cuma 2 yang ngga ada babinya. Cuma 2 cuy. Semuanya mengandung babi termasuk ramyun-ramyun yang dijual di Indonesia, tambahnya dengan ekspresi agak melotot. Saya cuma bisa manggut-manggut.
Mulanya saya belum dapat menarik kesimpulan dari kedua cerita tersebut. Namun lama-kelamaan saya menyadari bahwa mereka berdua sejatinya adalah seorang wartawan bagi diri mereka. Mereka bertanya kepada diri mereka sendiri: mengapa mereka tidak boleh memakan makanan dari jenis tertentu dan apa yang membuat mereka mematuhi aturan tersebut. Dari dua pertanyaan itu setidaknya saya mendapatan sebuah kesimpulan general bahwa mereka adalah bagian dari golongan tertentu dan mereka ingin tetap menjadi bagian dari golongan itu. Ya, ini adalah tentang identitas, di mana sesuai dengan sabda Rasulullah yang berbunyi: Barangsiapa yang meniru satu kaum, maka dia termasuk golongan mereka. (HR. Abu Dawud).
Dalam dunia sosial pun juga demikian. Ada tipe orang yang talkative dan mudah beradaptasi, sementara yang lain tidak. Fenomena ini benar-benar mudah dilihat, terutama di era semenjak munculnya media sosial seperti Facebook dan Instagram, juga instant messenger seperti LINE dan Whatsapp. Tidak sedikit dari mereka yang suka ngoceh tiada henti, hingga berujung pada bergunjing alias rasan-rasan. Rasan-rasan kini tidak saja hadir dalam bentuk tulisan, tapi juga gambar dan video. Persoalan trivial di Instagram seperti eh si A putus loh sama si B atau aduh anak ini sekarang lho suka ngeshare video-video politik hoax seolah tidak asing lagi di telinga kita. Satu pelajaran yang bisa dipetik dari fenomena ini adalah tentang bagaimana menempatkan diri dalam pergaulan. Kesadaran untuk menekan ego tidak semata-mata untuk menghindari diri kita agar tidak dicap sebagai tukang nyampah, tetapi juga untuk menghindari fitnah yang bisa ditimbulkan lewat kejadian tersebut. Dari sini kita kembali mempertanyakan kepada diri kita sendiri, sebenarnya siapa kita dan mengapa kita harus melakukan pembatasan ego ketika bergaul?
Tidak hanya pembatasan dari segi substansi yang dibicarakan saja, tapi ternyata ada pembatasan lain yang dialamatkan kepada golongan-golongan. Di dalam Islam misalnya, adalah suatu kewajiban bagi wanita untuk menutup aurat, yang tentu saja diimbangi dengan kewajiban pria dalam menundukkan pandangannya. (Lihat QS. An-Nur: 30-31). Ada pula aturan-aturan mengenai toleransi dan bagaimana batasannya dengan akidah, yang sering kali memicu timbulnya pergesekan sosial. Pergesekan ini utamanya terjadi pada negara dengan tingkat heterogenitas tinggi seperti Indonesia. Kemudian, apakah benar aturan dan pembatasan tersebut hanya perihal semu dan palsu, atau justru merupakan sesuatu yang sejatinya melindungi, pertanyaan tersebut (lagi-lagi) ditanyakan oleh diri kita sebagai seorang wartawan dan hanya diri kita sendiri yang akhirnya sanggup menjawab.
Pada akhirnya, kita kembali berkontemplasi tentang siapa diri kita sebenarnya, bagaimana kita harus menjalani kehidupan sosial, kemana arah kehidupan kita seharusnya berjalan dan bagaimana akhir dari kehidupan tersebut. Dan sebaik-baik wartawan adalah yang berhasil merekam banyak informasi tentang diri mereka sendiri sebelum beranjak untuk mengenali orang lain.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Dia indah meretas gundah
Dia yang selama ini ku nanti
Pembawa sejuk, pemanja rasa
Dia yang selalu ada untukku
Di dekatnya aku lebih tenang
Bersamanya jalan lebih terang
Kau jiwa yang slalu aku puja.

Penggalan lirik lagu “Teman Hidup” dari Tulus sejenak mengingatkanku pada kenangan di mana aku dan seseorang (yang selanjutnya kusebut sebagai teman hidupku) pertama kali bertemu. Adakah dari kalian yang merasa deg-degan ketika pertama kali bertemu dengan seseorang? Kalau aku tidak deg-degan, tapi bingung. Kenapa bingung? Jawabannya adalah karena kita  bertemu pertama kali melalui Facebook, bukan bertemu di dunia nyata.

FACEBOOK
Pada 22 Mei 2016 kita pertama kali dipertemukan oleh takdir melalui pesan di Facebook. Kalau kalian mengira bahwa dia yang mengirim pesan duluan, kalian salah. Akulah yang pertama kali mengirim pesan padanya. Pesan kukirim dengan menggunakan bahasa inggris (nggak tau kenapa saya kemalan banget pake bahasa inggris segala), yang intinya adalah menanyakan “siapa kamu?” dan “dari mana kamu tahu akunku?”.

Ini berawal setelah dia mengirim permintaan pertemanan di Facebook. Aku mulai bertanya-tanya mengenai siapa dia. Segera aku melihat profil dan foto-foto yang ditampilkan. Tentu tidak semua informasi dapat kuakses karena saat itu aku belum memutuskan untuk menerima permintaan pertemanannya atau tidak. Namun sejauh kuamati dia berdasarkan apa yang terlihat melalui Facebook, sepertinya ia bukan orang biasa. Dia pernah berkuliah di Insititut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (alias ITS) sebagai mahasiswa yang mengambil jurusan geodesi. Ia juga pernah menjadi Kepala Departemen di organisasi yang ia ikuti (re: BEM). Mayan lah, kece.

Dia pernah ke Jepang dan ke Jerman, dua dari sekian negara yang sangat ingin aku kunjungi setidaknya sekali seumur hidupku. Aku tidak begitu tahu apa saja yang ia lakukan di Jepang. Dari foto yang terlihat, ia seperti melakukan semacam penelitan. Sepertinya ia senang sekali di sana. Sebab banyak sekali foto yang ia unggah, terutama berkaitan dengan tempat wisata. Salah satu tempat wisata yang dikunjungi adalah studio Doraemon. Sebagai penggemar  serial animasi Doraemon, tentu aku merasa gemas. “Kampret banget ini bocah udah foto-foto di sana. Siapa sih dia?”, pikirku.

Kegiatan stalking kembali berlanjut. Menurut informasi yang ia tampilkan di Facebook, saat ini ia sedang berkuliah di Jerman. Ia mengambil jurusan Earth Oriented Space Science Technology di Technische Universität München, Germany. Aku sempet bingung, sebenarnya dia tuh kuliah di ITS apa di Jerman? Tapi kok di foto-fotonya dia udah lulus? Kegiatan stalking berakhir dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab.  Karena sudah tidak sabar ingin mengetahui kebenarannya, maka aku segera menerima permintaan pertemanannya.

Namun aku tidak langsung mengiriminya pesan, aku menunggu beberapa hari barangkali dia yang menyapa duluan. Kan malu ya, masak cewek nyapa duluan. Tapi ternyata penantianku bertepuk sebelah tangan. Dia ternyata tak kunjung menyapaku. Akhirnya malam itu langsung saja aku kirimi dia pesan di Facebook. Aku mengirim dengan bahasa yang sopan dan baku. Tentu saja, karena dia adalah orang asing yang belum kukenal. Usai pesan terkirim, aku dengan harap-harap cemas menanti balasannya. “Kalo kaga dibales gua bakalan......”

Cengkling! Ternyata pesanku dibalas tak lama setelah aku mengirimnya. Terus terang darahku mengalir deras. Aku deg-degan. “Wih dibales!”. Ia membalas pesanku dengan menggunakan bahasa inggris pula, dengan penulisan dan bahasa yang tak kalah baku. Aku membalas pesannya dengan menanyakan mengenai beberapa kegelisahanku yang sebelumnya sempat tak terjawab. Usai mengobrol agak banyak, barulah aku baru tahu bahwa yang ia lakukan di Jerman adalah melanjutkan kuliah S2. Wih, lagi ngelanjutin S2? Yakin? Kenapa wajahnya masih imut nggak S2 banget? Nggak paham ane.

Aku semakin penasaran dengannya tapi rasa kantukku tak dapat diajak kompromi. Di sisi lain, aku tak mau obrolan ini berakhir. Dengan agak nggak punya malu malu-malu aku mencoba meminta id LINE-nya barangkali ia berkenan dan ternyata dia dengan senang hati memberinya. Ia sepertinya juga ingin mengobrol lebih lanjut denganku. Apakah ini pertanda bahwa dia..... ah lupakan.

LINE
Semenjak itulah kami berkenalan. Aku banyak bertanya mengenai pengalamannya di  Jepang dan Jerman, juga sesekali bertanya mengenai kehidupan pribadi dan organisasi. Aku juga menanyakan bagaimana dia bisa mengetahui akun Facebookku dan kemudian memutuskan untuk mengirim permintaan pertemanan. “Aku tau Facebookmu dari si X, dia temenku SMP. Aku mulai stalking Facebookmu. Menurutku kamu tidak hanya cantik tapi juga menarik”. #tratakdungcess

Obrolan yang awalnya kaku dan menggunakan bahasa baku perlahan mulai mencair. Dia memang bukan tipe orang yang heboh dan humoris, tapi sejauh ini ia cukup bisa menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan. Dia juga bertanya mengenai kehidupan kuliahku dan sesekali kehidupan pribadiku. Aku kagum padanya, dan semakin kagum setelah saling berbagi banyak cerita dan pengalaman. Oh ternyata dia dulu gini ya. Oh ternyata sekarang dia gini ya. Hingga aku menyadari bahwa sejak saat itu aku merasa bahwa ia adalah candu. #eakk

LDR (LOOOOONG DISTANCE RELATIONSHIP)
Semakin hari obrolan kami semakin menarik. Kami mendiskusikan berbagai macam hal, mulai dari yang receh hingga yang dollar serius. Sesekali ia berbicara dengan menggunakan bahasa Jerman (meski kadang dicampur sama bahasa Jawa wkwkwk), yang kusambut dengan jawaban “ajarin aku bahasa Jerman dong? Dulu aku pernah bisa, tapi sekarang udah lupa karena ngga sering dipakai”. Lambat laun aku merasa bahwa masing-masing dari kami saling menyukai, hingga suatu saat aku tak tahan untuk menanyakan mengenai pertanyaan klasik seperti “kamu suka sama aku? Kalau suka tembak dong wkwkwkwkwk”. “Iya, nanti kalau aku pulang ke Indonesia ya? Aku nggak mau berkomitmen kalau engga face to face”. Aku sempat ragu-ragu untuk melanjutkan ini, namun ketertarikanku padanya meluluhkan itu semua.

Menjalin hubungan jarak jauh bukan perkara mudah, tentu saja. Perbedaan ruang dan waktu (selisih 5 jam) dan juga sinyal yang sering tak bersahabat membuat kami terkadang kesulitan berkomunikasi. Bagaimana tidak? Ketika ia berkegiatan, aku beristirahat; ketika dia beristirahat, aku berkegiatan. Belum lagi kalo di timeline instagram ada yg lagi upload sama pasangannya ughhh kita cuma bisa melipir. Tapi sebenarnya itu tidak sepenuhnya benar, sebab yang tidak menjalin hubungan jarak jauh pun bisa merasa seperti jauh satu sama lain. “Ini semua tantangan, kita harus bisa melewatinya”. #pret

WE MEET
Setelah menjalin hubungan jarak jauh selama beberapa bulan, akhirnya kami bertemu. Kamu tahu rasanya seperti apa? Rasanya seperti feses jenis bedegelen yang baru saja dikeluarkan dari rektum. LEGA!! SENANG!! Like literally i’m frickin happy because he does exist in this world. Dia mengajakku jalan-jalan ke Malll untuk nonton berdua (kencan standar kok, rek). Sebelum itu ia mampir ke rumahku dan berpamitan dengan mamak. “Ibu, ini anaknya saya curi sebentar ya untuk diajak jalan-jalan”, ucapnya. Aku cuma nyengir lalu spontan memukul bahunya pelan.
Ia tidak disini untuk waktu yang lama, lebih tepatnya hanya satu bulan. Hanya satu bulan waktu yang ia punya untuk kembali ke Indonesia. Selepas itu ia akan kembali lagi melanjutkan tahun keduanya di Jerman. Satu bulan itu menjadi waktu yang amat berharga bagi kita yag tiap detiknya amat kita syukuri. “Kok kamu cuma disini sebulan doang?” “bersyukurlah, sebab temen-temenku yang lain aja ada yang 4 tahun nggak pulang ke Indonesia”.

AYAH, SAHABAT, KEKASIH
Meski perawakannya imut, sebenarnya dia amat dewasa. Perbedaan umur kami hanya 2 tahun (tentu dia lebih tua), namun aku merasa bahwa ia seperti seorang ayah yang menjaga anaknya. Ia tak henti memberi nasehat jika aku keluar dari jalur yang seharusnya, ia juga peduli terhadap kesehatanku. Aku merasa nyaman dan terlindungi bukan iklan asuransi. Aku belajar banyak darinya, dari kedewasaannya dalam berpikir dan bertindak. Di samping dewasa, ia juga pendengar yang baik. Di kala aku butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahku, dia adalah orang yang tepat. Layaknya seorang sahabat, dia memelukku ketika aku sedih, dan memotivasiku untuk bangkit kembali. He is the best bestfriend ever. Sedangkan sebagai seorang kekasih, ia memang bukan tipe laki-laki romantis (aku menyadari itu), namun aku tidak memaksanya untuk menjadi romantis dan suka gombal seperti cowok pada umumnya. I let him to be him, because he did the same to me.

FINALLY
Tulisan ini tidak dibuat untuk ajang pamer atau semacamnya. Tulisan ini dibuat agar setidaknya masing-masing dari kami tidak saling melupakan bahwa sebelum kami bertemu kami benar-benar hanya orang asing satu sama lain. Begitu pula sebaliknya, ketika kami sudah saling mengenal semoga tidak ada yang merasa saling asing satu sama lain.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Beberapa pekan lalu kakak perempuanku membelikanku baju, oleh-oleh dari Jogja, katanya. Aku meraih baju tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Dengan senang hati kuterima kemeja lengan panjang dengan motif bunga-bunga itu. Usai menjelajahi tiap inchi dari baju tersebut, aku menyimpulkan bahwa itu bukan baju bermerek. Tidak ada cap merek yang biasanya menempel di bagian leher – seperti Névada, Rip Curl apalagi Joger (baju yang katanya khas Bali itu loh, padahal yg bikin juga orang Sidoarjo). Tidak apa-apa, aku tidak sedih. Baju yang kainnya agak tipis tersebut kumasukkan ke dalam lemari. Suatu kali akan kupakai ke kampus, pikirku.

Setelah sekian minggu, baju batik kembang-kembang yang didominasi warna putih tersebut mendapat giliran untuk ku pakai. (Sebelumnya juga sempat aku bawa sebagai baju ganti di Ngawi untuk PKL, tapi belum sempat dipakai). Aku meraih celana jeans biru dan kerudung hitam. Perpaduan yang lumayan, menurutku. Usai bersolek tipis-tipis dan mengoleskan minyak wangi ke tubuh, aku berangkat kuliah seperti biasanya. Tak ada yang istimewa selain tiba-tiba dosen memberikan kuis dadakan di kelas pada hari itu. (Tebak, siapa dosennya?).

Sejam, dua jam, tiga jam. Perkuliahan selesai. Setelah menerjang macet akhirnya aku sampai juga  di rumah. Segera kurebahkan tubuh sambil memejamkan mata sejenak, mempertemukan punggung dengan kasur setelah sekitar satu jam menempuh perjalanan dari kampus ke rumah. Seseorang menghampiriku dari belakang, ternyata kakakku. Ia mengambil tempat di sampingku. Kami mulai mengobrol santai, hingga ia mengomentari baju yang sedang menempel di badanku. Akhirnya baju ini dipake juga. Tadi kamu padukan baju ini dengan kerudung warna apa? Kerudung hijau sepertinya lumayan, tapi lagi aku pake. Eh tapi kalau tak liat-liat kok agak ndeso ya baju ini? Tipis juga kainnya. Maaf ya cuma bisa beliin baju kayak gini., begitu kira-kira ucap kakakku.

Katanya baju yang ia berikan untukku itu kelihatan ndeso. Ndeso itu yang kayak gimana? Apa dari motifnya? Warnanya? Kainnya? Atau karena belinya di toko murahan dan tidak ada mereknya? Sungguh tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai definisi ndeso. Aku tidak menanyakan lebih lanjut mengenai apa itu baju yang kelihatan ndeso, namun karena sudah hidup bertahun-tahun dengannya, aku sudah tahu bahwa yang ia maksud dengan ndeso adalah motif batik dengan perpaduan bunga-bunga tersebut. Renda-renda warna hijau yang ada di bagian pergelangan tangan dan bagian bawah baju tersebut juga tak luput dimaknai sebagai klambine wong ndeso. Bagaimana bisa yang demikian dikatakan ndeso? Embuh, takok o dhewe.

Memangnya semua orang desa menggunakan baju seperti ini? Memangnya orang kota tidak ada yang pernah memakai baju model dan warna yang begini? Kalau pun toh memang iya baju ini termasuk dalam kategori ndeso, memangnya kenapa? Apakah semua orang kota bajunya harus berbeda dengan baju orang desa? Dan apakah ada larangan orang kota untuk berpenampilan seperti orang desa? Memangnya orang kota bajunya harus yang seperti apa? Tiba-tiba saya menjadi bergitu reaktif, tapi dalam hati.

Setelah merenung dengan intensif bukan les-lesan selama sekian jam semenjak percakapan tersebut terjadi, aku mengambil konklusi bahwa ada tafsiran tertentu mengenai identitas orang desa vs orang kota melalui artefak yang digunakan. Bagi kakak saya (sejauh yang bisa saya pahami), orang kota ya sakjane menggunakan baju seperti orang kota, yaitu baju dengan desain-desain dan bahan yang premium (kalo perlu pertalite dan pertamax sekalian). Seharusnya ada perbedaan antara yang kota dengan yang desa. Taraf hidupnya kan berbeda, masak penampilan sama? Sebagai kaum urban metropolitan, identitas (yang berusaha ditunjukkan melalui baju) adalah sesuatu yang amat penting, yang seolah menjadikan orang kota disebut sebagai orang kota, dan orang desa disebut sebagai orang desa.

Pertanyaanku, siapa itu orang desa? Apa yang salah dengan mereka dan mengapa kita seolah berusaha membedakan identitas kita dengan mereka? Kalau orang desa hanyalah orang-orang yang tinggal di pedalaman kabupaten tertentu, maka dokter-dokter dan guru dari kota yang tinggal di sana juga orang desa, dong? Kalau orang desa adalah orang yang lahir di desa, maka es-bi-wai (re: SBY) seharusnya juga wong ndesohhhh. Ya, toh?Daaaaan seharusnya tidak ada yang salah dari mereka. Namun ternyata sebagian orang menganggap bahwa dikategorikan sebagai orang desa adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, dianggap tidak modern (mungkin) dan dianggap ketinggalan sepur tren.


Ya sudahlah, apapun yang terjadi, aku tidak perlu merasa sensi ketika seseorang mengatkan bahwa klambimu ketok ndeso. Baju batik kembang-kembang warna ijo yang lengkap dengan renda-renda di beberapa bagian ini, tetap indah di tubuhku; tetap syantik dan mempesona.  Bagiku, tidak ada istilah baju orang desa dan baju orang kota. Mereka sama-sama pakai baju. Itu intinya. Kalaupun mau membandingkan, bandingkan saja dari kualitasnya; atau modelnya; atau warnanya. Tak perlu membawa-bawa istilah ndeso maupun kutha, sebab argumentasi tentang padu-padan logikanya kurang greget. Tak perlu juga ada pernyataan yang menghakimi secara berlebihan terhadap penampilan seseorang karena pada dasarnya itu semua adalah tentang taste.Gitu, sih.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pada dasarnya, wanita suka dimanja. Wanita suka dipuji dan ditinggikan, asal kemudian jangan dibanting. Wanita gemar digoda dan dirayu. Wanita suka pada pria yg lembut dan pandai membuat pipi menjadi merah merona. Meski demikian, wanita tidak menyukai lelaki yang terlalu banyak membual, apalagi yg hobi bersilat lidah. Karena segala sesuatu yg berlebihan akan membawa ketidaknyamanan yang bahkan bisa berujung nestapa.


Aku mengangguk. Memang benar, terlalu banyak membual akan sangat membuat kita tidak nyaman. Namun, terlalu serius juga akan menjadikan hubungan cepat bosan. Klep! Aku menutup majalah Personal Consultant yang menjadi sarapanku di pagi hari, kemudian bergegas mengecek email dan mulai bekerja.

Masih pagi, namun aku sudah mendapat email dari seorang klien mengenai hubungannya dengan kekasihnya. Ia merasa bahwa kekasihnya terlalu serius, kurang romantis, jarang memuji, bahkan jarang memanggilnya dengan panggilan standar semacam: sayang, babe, hunnie, sweetie. Hubungan mereka seolah tak lebih dari sekedar senior-junior, lebih tepatnya dosen-mahasiswa.

Ya, klien yang kuhadapi kali ini adalah seorang mahasiswi yang jatuh cinta pada dosennya. Sebut saja namanya Kina, mahasiswi semester (hampir) akhir yang menempuh jurusan Ilmu Politik di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia menaruh hati pada dosen muda yang mengajar di salah satu mata kuliah wajib pada beberapa semester lalu. Mulanya tak ada istimewa, hanya diskusi2 biasa seputar materi kuliah. Namun lama kelamaan, mereka menemukan kecocokan satu sama lain. Kedua insan ini mulai menetapkan hubungan mereka setelah beberapa kali melewatkan waktu bersama. Layaknya pasangan pada umumnya, mereka berkencan di bioskop, jalan2 ke mall, pergi ke tempat wisata, serta melakukan selfie bersama.

Bukan laut jika tak bergelombang, bukan romansa jika tak berkonflik. Seperti halnya dosen dengan segala dominasinya dan mahasiswa dengan segenap idealismenya, mereka terlibat cekcok. Mereka sering terlibat cekcok satu sama lain perihal prinsip dan pandangan hidup. Pergulatan dalam mengemukakan argumen bisa jadi adalah hal yang lumrah bagi kalangan akademisi seperti mereka. Namun, tak jarang pula mereka terjebak dalam atmosfer panas dan menemui jalan buntu karena masing2 tak ada yg mau mengalah. Hingga suatu saat Kina mengaku lelah jika terus berdebat. Ia hanya ingin kekasihnya mengerti bahwa dibalik hubungan dosen-mahasiswa, mereka adalah sepasang kekasih. Sepasang kekasih seharusnya saling mengasihi, bukan saling menghardik dan memaksakan pendapat pribadi.

"Dulu ia sangat romantis. Ia memanggilku dengan sebutan Primadona Termanis. Meski terkesan berlebihan (untuk sekelas dosen mata kuliah Politik Internasional seperti dirinya), aku cukup senang dan merasa tersanjung. Ia sangat ramah dan menyenangkan. Namun seiring berjalannya waktu, kini aku merasa kehilangan momen-momen tersebut",

"Aku merasa dia sekarang sedikit kaku, tidak romantis seperti dulu. Tunggu, tunggu! Tentu saja aku bukan wanita yg haus pujian. Aku hanya merasa bahwa terkadang bermanja-manja itu perlu. Selain untuk menghilangkan awkwardness dalam suatu hubungan, bermanja sekali-kali juga berguna untuk memperkuat emotional bonding".

Ya, kini aku mulai mengerti permasalahan pada hubungan Kina dan kekasihnya. Masing2 dari mereka ingin mempertahankan status quo. Kina dengan segala ketidakmampuannya untuk mengungkapkan perasaan, pun kekasihnya yang tak kunjung peka bahwa sang wanita mempunyai keinginan yang belum tergenapi.

"Dear, Kina. Apa kau sudah mencoba melakukan pendekatan padanya dengan lebih serius? Bertandanglah kesini, mari kita bicarakan mengenai kehidupanmu dan pasanganmu. Bagaimana kalau esok jam 1 siang?", aku membalas emailnya demikian.

Sambil menunggu jawaban dari Kina, aku menerawang jauh. Memoriku melompat pada beberapa tahun silam ketika aku dirundung masalah yg hampir sama dengan Kina. Kekasihku bertengkar denganku. Yang paling ku ingat saat itu ialah kita berdebat perihal gender dan feminisme. Perdebatan tersebut merembet pada masih langgengnya dominasi patriarki yang ia lakukan padaku. Tentu aku merasa tak nyaman. Hingga lambat laun hubungan kami mulai kurang menyenangkan. Ia, yang dulu amat suka bermanja denganku, kini menjadi semakin serius dengan prinsip yang dianutnya. Pun ditambah lagi dengan kesibukannya melanjutkan kuliah S2 di Edinburgh yang membuat hubungan kami makin renggang layaknya udara yang dipanaskan.

Sialan, kenapa aku harus mengingat masa-masa itu? Bukankah kini aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku saat ini? Bukankah impianku menjadi konsultan benar-benar terwujud? Apa lagi yang kucari? Lagipula, bukankah menyesali hubungan yang sudah berakhir hanya akan menambah kepedihan?


Cengkling~ satu pesan telah dikirim oleh Kina padaku. Aku berharap ia bisa meluangkan waktunya sesuai dengan penawaranku. Sebab aku tak punya cukup waktu di lain hari mengingat jadwalku yang padat untuk bertemu dengan klien2 lain. Aku menggeser layar telepon dari mode locked menjadi unlocked. Tertera nomor tak yang belum tersimpan olehku. Ya, aku bahkan belum menyimpan nomor Kina karena sibuk mengorek masa laluku 5 tahun silam.

—Aku baru saja pulang dari Edinburgh. Bisakah kita bertemu di pertigaan swalayan biasanya? Aku merindukanmu. Sungguh suatu kehormatan, Adeline.

Menggelegar, seakan-akan tubuhku disambar tegangan sebesar 9000 kilovolt ketika aku membuka pesan itu. Meski dikirim oleh nomor tak dikenal dan tanpa nama, aku bisa mengenali dari siapa pesan ini berasal. Dengan gaya bahasa yang masih sama, meeting point yang masih sama, kalimat penutup khas yang sama.

Oh....... Perutku mulai dihantui dengan kupu-kupu terbang. Kacamataku pun mulai berembun. Lelaki bertubuh ramping itu berdiri di hadapanku. Pipinya masih tirus, tubuhnya masih jangkung, kantung matanya masih dan akan selalu jelas terlihat olehku. Oh Tuhan, aku sungguh menangis haru. Sebab senyum lebarnya masih sama, hidung mancungnya masih sama, lesung pipinya masih sama, tahi lalat di ujung pelipis kirinya juga masih sama. Aku memeluknya, kuciumi harum tubuhnya yang khas. Bau keringatnya usai mengerjakan laporan panjang yang bercampur dengan aroma kopi serta minyak wangi oles sungguh semerbak di hidungku. Aku berharap aku salah orang. Namun ternyata tak ada yang berubah, ia tetap sama.

Entah siapa yang menghadirkan kenangan-kenangan itu di depan mataku. Batas horizon antara angan dan kenyataan menjadi kabur seketika. Aku masih terdiam, lama sekali terpaku di depan layar telepon genggam. Perasaanku membuncah, mataku hangat dan berair. Tanpa kusadari, bibirku bergetar sambil berucap: Eduardo... aku juga merindukanmu. (Jangan tanya siapa itu Eduardo).
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Sometimes I ask:
“Why didn’t God make humans live close to each other? Why did God put distance between them? It was damn unfair.”
I’ve been scolding myself for everything about distances during this journey. Then, it was you who warmly answered:
“If there was no distance, how could you miss them? If there was no distance, would you miss them?”
The way he answer was actually as sweet as cotton candy.

“And then, if I missed them, would they come to me? If I missed you, would you come to me?”
“Of course I would. I would come to you without you knowing. And actually, you don’t need to know.”
“When did you come? If it’s the truth, then what were you doing at that time?”
“Me? I was hiding in your prayers, spreading loves through your pillows and blanket. I also kissed you, embraced you in my own way. No one knew how lonely I was looking for you, everyday.”

“Are you that lonely?”
“Not me, but it is you.”
“No! I have never felt lonely. Cause somebody got me leaning on arms.”
“Hoooo my gawd!! Another crush? Tell me who’s your another crush!”
“How could you be this foolish, dude? Beside God, no one deserves my love more than you do.”

“You made my heart skip a beat. I thought you’d have looked for another bae, only because God put distance between us.”
“I wouldn’t let myself to do that. You told me that distance is what makes us us, right?”

You smiled. It was the sweetest I have ever seen. Then you walked towards me. You hugged me, slowly but surely. It was the warmest hug I have ever felt. You looked into my eyes, and I stared back at yours. We shed tears of joy. Because our journey will end soon. We almost arrived to our destination. The place with no distance between us. It is our heaven, unlimited distances heaven.


01062016:2105 J Sebuah tulisan yang tata bahasanya telah direvisi (oleh seorang teman) meski sempat dinyinyiri dan dianggap lebay.
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar

Tahukah kau hal apa yang paling berharga dalam hidup? Ia bukan harta, bukan tahta, bukan pula wanita/pria. Yang paling berharga dalam hidup adalah ruang dan waktu. Sebab segala yang kau cintai pasti bermuara pada itu.

Pada saat-saat seperti ini yang aku inginkan adalah memetik gitar dengan syahdu, mendendangkan lagu sendu, serta menitikkan air mata rindu. Dalam jangkauan yang paling luar biasa, terkadang ruang dan waktu terasa semu. Tidak jarang ia membuat kita jenuh dalam menunggu. Meski pada akhirnya kita tahu bahwa kita memang diciptakan untuk mampu menguasai itu.

Mungkin kau tidak perlu hadir secara vis-a-vis di depan mata. Selama media penyampai masih ada, itu semua bukan problematika. Namun ingatlah, bahwa dibalik ruang dan waktu ada seseorang yang menunggumu, selalu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
(Baca dulu entri sebelumnya yang berjudul Pada Mulanya Saya Ateis)

Life is about to reveal something. Dalam hidup, kita berusaha menyingkap fakta-fakta dan mencari kebenaran. Namun, itu semua tidak dapat dicapai kecuali kita menggunakan akal kita untuk berpikir dan menemukan relasi atasnya. Hal ini juga berlaku ketika kita mencari keberadaan Tuhan dan kebenaran ajaran agama-Nya. Tanpa akal, kita tidak akan dapat menyingkap sesuatu yang luar biasa. Tanpa akal, kita tidak dapat mendekati kebajikan. Dan paling parahnya, tanpa akal kita tak ubahnya seperti hewan. Sehingga, untuk menemukan Tuhan, kita harus menggunakan akal.

Kepada para ateis, semi-ateis, dan kader-kader ateis (yang dalam hal ini saya sasar secara langsung), dengan hormat saya tidak bermaksud mengatakan bahwa panjenengan semua tidak mempunyai akal hanya karena tidak mempercayai Tuhan dan tidak beragama. Whoaaa, tentu saja salah. Yang ingin saya sampaikan adalah Anda memperlakukan akal Anda dengan kurang tepat. Potensi akal yang Anda miliki seharusnya mampu menjangkau pemikiran mengenai sesuatu yang tidak hanya bersifat material, tapi juga imaterial. Namun Anda kepalang gengsi untuk sekadar mengakui keberadaan Tuhan, apalagi menyembahnya.  Kecerdasan dan kejeniusan Anda membuat Anda terlihat naif, sebab Anda tidak mampu mengalahkan ego pribadi Anda untuk mengakui bahwa ada entitas yang menciptakan dunia (ya, termasuk Anda sebagai salah satu ciptaannya). Kalau kepada Tuhan saja Anda tidak percaya, bagaimana mungkin Anda mau repot-repot beragama? Yhaaaa, boro-boro agama, Tuhannya aja dianggap tidak ada kok.

Memang begitulah keyakinan mereka (para panjenengan  yang saya sebutkan di atas). Saya bisa memahami mengapa mereka bersikap demikian. Saya tidak berusaha memaksa mereka untuk mempercayai Tuhan. Saya hanya mengetes mereka, apakah pendapat saya cukup logis atau tidak, sebab mereka sangat menjunjung tinggi kelogisan. Dengan demikian, satu-satunya yang mereka percayai adalah hukum alam, bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan mekanismenya. Lhooo, saya ini tidak bilang bahwa mekanisme alam itu tidak berjalan. Saya setuju bahwa segala sesuatu berjalan sistemik dan sesuai dengan ketetapan-ketetapan alam. Mulai segala sesuatu yang berhubungan dengan penciptaan, perjalanan hingga kemusnahan dunia, itu semua sudah merupakan konsekuensi logis dari berjalannya alam semesta. Namun, kalau ditarik lebih jauh lagi pastilah ketetapan-ketetapan itu ada yang menciptakan. Bukankah tiap segala sesuatu ada yang menciptakan, dude? Poin penting inilah yang seolah luput (atau mungkin sengaja diluputkan) dari pandangan mereka, bahwa keberadaan entitas pengatur segala hukum alam itu tidak diperhitungkan.

“SAYA MASIH TIDAK PERCAYA DENGAN TUHAN!” (ya biasa aja keleus gausah pake caps). Kan, ya mustahil kalau ada sesuatu yang berdiri sendiri tanpa diciptakan? Kayak gimana ya, ya kayak gak logis aja gitu.”

Ya itulah mengapa ia disebut Tuhan. Kalau seandainya masih ada yang menciptakannya, tentu ia bukan Tuhan. Kalau seandainya ada yang kekuatannya lebih besar darinya tentu ia belum dapat disebut Tuhan. Kalian hanya dapat menyebutnya Tuhan ketika ia sudah berada pada tataran final. Final dalam arti bagaimana? Final dalam arti Maha Segalanya. Maha Menciptakan, Maha Berkuasa, Maha Berkehendak, dan maha-maha lainnya. Kalau ia masih belum maha, maka ia bukan Tuhan.

“Tapi, Tuhan itu nggak kelihatan. Tidak bisa dilihat secara empiris. Terus kamu beranggapan bahwa saya harus menyembah sesuatu yang bahkan gak keliatan? Jangan-jangan kamu yang sesat karena nyuruh-nyuruh saya menyembah barang ghoib!”

Waduh, pengen melihat wujud Tuhan secara empiris? Tsadeest gilsss! Tuhan itu berada di luar ruang dan waktu, sementara kita selalu berada dalam konteks ruang dan waktu. Sama seperti yang diucapkan Goenawan Muhammad, bahwa Tuhan berada di luar konsepsi manusia. Intinya, ya mustahil, neng. Selain mustahil, ini merupakan bentuk kesombongan. Keinginan manusia untuk melihat Tuhan secara empiris, secara tidak langsung juga menunjukkan kebodohan mereka. Logikanya gini, kalau kalian tidak mampu melihat matahari, bagaimana kalian bisa melihat pencipta matahari? Sumpah, tak jamin awakmu durung-durung wes mati dhisikan.

Sampai sejauh ini, pasti masih ada yang tidak percaya dan seolah bisa hidup tanpa Tuhan. Hanya karena Tuhan tidak nampak, kemudian ia bersikap semena-mena, sombong, merasa bahwa dia akan berhasil dengan usahanya sendiri, dengan kerja keras, dan hanya percaya pada hukum-hukum alam. (kerja keras memang harus, tapi ga boleh sombong. Poinnya ada pada kata “sombong”. Oke?). Lagipula, seberapa besar kalian mampu berkuasa atas diri kalian? Fir’aun yang notabene raja saja di akhir hayatnya sadar kalau ia hanya makhluk lemah (bahkan sampe ampun-ampun). Nah, kalian? Bayar UKT aja masih minta orang tua, gitu mau sombong? Ya maksud saya, tetaplah menundukkan kepala. Bagaimanapun, keberadaan kalian sangat kecil. Kalian tak ubahnya seperti seupil rinso dibanding Laut China Selatan (sorry, maksudnya sekecil atom dibanding alam semesta). Kalau masih mau sombong dan berbangga hati tanpa mengakui Tuhan, hmmmm edyaaan. You wanna be Fir’aun 2.0? Hayati lelah melihat kalian.

“Aku gak perlu Tuhan dan ajaran-ajarannya, kan sudah ada norma-norma sosial? Selama aku mematuhi itu, hidupku aman”.

Benar, norma-norma sosial memang perlu dipatuhi. Tapi, yang namanya buatan manusia kan pasti ada kelemahannya. Bagaimanapun, kemampuan manusia itu terbatas. Belum lagi tercampur-campur dengan ideologi-ideologi manusia yang ujung-ujungnya berpihak kepada......(sudahlah, lagi nggak mau ghibah, takut baper). Manusia memang boleh bikin teori dan norma-norma dengan menggunakan akal, memang harus menggunakan akal malah. Tapi yang perlu diingat, manusia mempunyai limit atau batasan terhadap kemampuannya. Artinya, ada sesuatu yang tidak dapat kita tentukan secara adil, sehingga, kalian tetap butuh pedoman yang kompleks dan komprehensif, yang bersumber dari Tuhan. Sebab, Tuhan Maha Tau, Maha Pintar, Maha Cerdas, Maha Sophisticated, dan Maha Jenius. Make sense?

Pada intinya, Tuhan itu ada dan dapat dibuktikan dengan akal. Keberadaan Tuhan memang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, oleh sebab itulah Tuhan memberikan kita petunjuk-petunjuk yang dapat dijangkau dengan akal manusia. Karena melalui akal, manusia dapat menemukan kebenaran. Maka, apakah kau tidak menggunakan akalmu?

Saya nulis begini bukan karena saya benci orang ateis in person. Nooo! Saya tidak mengecam orangnya, saya hanya tidak setuju dengan pemikirannya. Secara sosial, saya akan tetap baik dengan mereka. Kalau mereka mencret, saya siapkan entrostop; kalau mereka minta beliin bensin premium, saya kasih pertamax; kalau mereka fakir kuota, saya kasih tathering wi-fi;. Kurang baik apa coba? Asal jangan minta jodoh ke saya, karena saya sendiri juga belum nemu. Sekian.


To be continued – Tulisan ini dibuat dan diposting pada 20:50 WIB, dalam kondisi perut koleps akibat terlambat sarapan.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

Pada mulanya saya ateis. Sebab kata orang-orang, Tuhan itu tidak ada. Dan saya percaya itu. Keberadaan Tuhan terlalu abstrak, tidak logis, tidak empiris (setidaknya menurut saya). Saya hanya percaya pada hukum alam, bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan mekanismenya.

Lagipula, siapa peduli dengan keberadaan Tuhan? Saya tidak mau pusing-pusing memikirkan hal-hal ruwet seperti itu. Cukuplah saya hari ini bisa makan, tugas kuliah selesai, dan tidak ada masalah dengan pacar (eh, btw saya tidak belum punya pacar). Itu.

Kalaupun saya percaya Tuhan, saya masih bingung. Sebab Tuhan hobi menyelinap di berbagai agama. Saya masih harus dipusingkan dengan perihal memilih agama mana yang tepat. Belum lagi ritual-ritual menjemukan yang harus dijalankan. Sungguh, saya tidak mau keriput dan terkena penuaan diri hanya karena terlalu banyak mikir. Masalahnya, biaya pengobatan salon (beserta krim-krimnya) semakin mahal dari hari ke hari. Tekor, gengss.

Kalaupun saya percaya Tuhan dan saya beragama, percayalah bahwa itu semua sekedar doktrin. Itu semua semata-mata hanya untuk mengisi kolom agama pada kartu identitas, juga agar dipandang normal di kalangan masyarakat. Ya, saya tinggal di Indonesia, sebuah negara yang “mewajibkan” warga negaranya beradab dengan cara beragama. Tolol. Bukankah urusan agama adalah urusan saya dengan Tuhan? Tolong pisahkan!

Toh tanpa beragama, saya tetap baik-baik saja dengan kehidupan saya. Sebab saya mengikuti norma-norma sosial yang berlaku. Selama saya tidak mematuhi itu, saya tidak akan bermasalah. Sudahlah, hidup itu yang praktis-praktis saja. Yang gampang tidak usah dibikin ribet.

Kalian boleh marah dan memaki-maki saya. Saya tidak peduli. Lagipula, apakah kalian benar-benar bertuhan dan beragama? Kalian boleh kebakaran jenggot karena merasa bahwa Tuhan memang ada, dan agama kalian yang paling benar. Tapi, bagaimana tanggungjawab kalian terhadap Tuhan kalian, terhadap agama kalian? Sejauh mana kalian bisa membuktikan itu? Bukankah kalian semua hanya orang yang terdoktrin oleh dogma-dogma yang mengatasanamakan Tuhan dan agama? Hati-hati loh. Itu bahkan lebih berbahaya daripada ateis. Belum lagi kalau kalian tidak bisa konsisten dengan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Ujung-ujungnya, kalian hanya akan mempermalukan ajaran Tuhan yang suci. Eakkkk.

Nah, gimana? Masih yakin mendaku diri sebagai yang bertuhan dan beragama? Atau pilih jadi ateis saja seperti saya? ^____^

Mungkin banyak orang yang dongkol dengan ilustrasi diatas. Jangankan kalian, saya saja yang bikin juga merasa jengkel, kok. Ilustrasi diatas memang sengaja diciptakan sebagai bahan refleksi, bahwa ternyata selama ini hidup kita terlalu praktis. Kebanyakan dari kita mungkin menempuh sesuatu yang kita anggap enak, bukannya mencari sesuatu yang hakiki, yang benar dan yang seharusnya.

Begitu juga masalah tentang ketuhanan dan keagamaan. Bagi kita yang tinggal di Indonesia, adalah sesuatu yang tabu jika kita tidak memeluk suatu agama, ya minimal di KTP lah. Apalagi pemerintah juga seolah “menyiratkan” pesan bahwa Indonesia adalah negara yang bertuhan dan beragama. Salah satunya jelas terlihat pada pancasila sila pertama yang berbunyi blablabla.... (semoga masih ingat).

Selain sila pertama yang saya ucapkan dengan lafadz blablabla tadi, ketersiratan pemerintah juga terlihat melalui cacat pikir seperti “di Indonesia, ada 5 agama yang diakui. Yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha (baru-baru ini ditambah dengan Kong Hu Chu)”. Padahal faktanya, harusnya tidak ada pembatasan agama, kan? Indonesia tidak hanya mengakui beberapa agama saja, namun mungkin sejauh ini memang hanya dapat mengakomodasi lima-enam agama saja. Tapi celakanya, propaganda seperti ini sudah saya dengar semenjak Sekolah Dasar dan sampai saat ini saya masih berusaha move on dari propaganda tersebut. Bagaimana bisa terjadi hegemoni semacam itu tidak akan dijelaskan disini.

Nah, dari beberapa agama tersebut diatas, terlihat ada satu agama yang menjadi primadona, sebab paling banyak pengikutnya. Ya, islam. Akhir-akhir ini jumlah manusia-manusia yang mengaku beragama islam semakin meningkat. Berapa jumlah para pemeluk agama islam di Indonesia? Tanpa perlu menyebutkan jumlahnya secara pasti, saya dengan lantang meneriakkan: BANYAK DAN MAYORITAS!! (Anda bisa googling sendiri, deh).

Namun, selayak apa kebanggaan kita terhadap ke-banyak-an dan ke-mayoritas-an atas kuantitas tersebut? Bukankah seharusnya quality over quantity? Yang berarti bahwa seharusnya kualitas haruslah mengungguli kuantitas. Tapi nyatanya? Banyak kita lihat muslim kekinian yang tidak menunjukkan keislamannya, atau menunjukkannya dengan cara yang kurang tepat.

Akar permasalahannya (menurut saya) ada dua: mereka belum paham dan atau mereka tidak berusaha memahami (secara komprehensif). Buntut-buntutnya, mereka akan dengan mudah tergolek lemah ketika dihadapkan dengan premis-premis dari kelompok yang tidak beragama dan tidak mempercayai Tuhan. Atau barangkali para muslim kekinian Indonesia, (tidak termasuk saya), sudah benar-benar meninggalkan kepercayaannya atas Tuhan? Kalau tidak, syukurlah. Tapi kalau iya, siaga satu!

Hmmm kira-kira apa penyebabnya? Bagaimana dengan mudah keyakinan tersebut tanggal?



To be continued. – dibuat dan diposting pada Rabu, 11 Mei 2016 pukul 20:30 WIB (Waktu Indonesia Berak).
Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar
Ini adalah visualisasi, ketika proletar termarjinalkan secara hakiki, oleh borjuis yang tak punya hati. Barangkali mati tak akan terjadi, karena sang penguasa selalu meyakini, bahwa ia adalah pembuat histori, juga pengatur segala-gala tentang materi. Lantas, yang terinjak bisa apa? Kalau tidak memperjuangkan harga diri, siap-siap saja mati berdiri!


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kemarin dan hari ini sama-sama nikmat. Meski tidur tak pernah tamat, juga kurang istirahat. Sungguh segalanya terasa penat. Namun ku percaya, bahwa ini akan membawa hikmat. Sebab Tuhan tak kan terlambat, dalam memberi berkat.

Tertanda, hambaMu yang kurang tirakat, jarang tobat, tapi sering maksiat.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Photo cr: islamicartdb on pinterest
Aku lagi-lagi mengulangi. Barangkali dalam penghayatan inderawi, ada yang luput dipercayai.
Sungguh yang kudapati, tak lain adalah segala yang menentramkan hati. Bahwa tak ada keraguan, bagi yang yakin pada Yang Maha Merajai.
Hanya bagi yang gengsi dan picik hati, yang sampai mati tak mau mengakui. Kemudian mereka menyesali, padahal sebelumnya mereka menertawai.
Bukankah sejak zaman azali mereka diberi rizki, dengan berlimpah tanpa perlu membeli? Namun, ketika hidup di bumi, mengapa ia mendustai?
Pikirkan dengan jeli, dengan cita rasa tanpa manipulasi, wahai orang-orang yang (katanya) berakal dan berserah diri.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Her aura is made of poetry, roses and sarcasm.

Follow Us

  • LinkedIn
  • Instagram
  • Facebook

Handcrafting

Go follow @bukakreasi on Instagram. Thx!

Blog Archive

  • ►  2018 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ►  2017 (8)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2016 (15)
    • ▼  Desember (3)
      • MENJADI WARTAWAN UNTUK DIRI SENDIRI
      • TEMAN HIDUP
      • KLAMBIMU KETOK NDESO
    • ►  September (1)
      • The Matter
    • ►  Juni (1)
      • Unlimited Distances
    • ►  Mei (7)
      • Teori Ruang dan Waktu
      • Life is About to Reveal Something
      • Pada Mulanya Saya Ateis
      • Revolusi Milik Bersama
      • Renungan Setengah Malam
      • Renungan Sepertiga Malam
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (5)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates