KLAMBIMU KETOK NDESO
Beberapa pekan lalu kakak perempuanku membelikanku baju, oleh-oleh dari Jogja, katanya. Aku meraih baju tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Dengan senang hati kuterima kemeja lengan panjang dengan motif bunga-bunga itu. Usai menjelajahi tiap inchi dari baju tersebut, aku menyimpulkan bahwa itu bukan baju bermerek. Tidak ada cap merek yang biasanya menempel di bagian leher – seperti Névada, Rip Curl apalagi Joger (baju yang katanya khas Bali itu loh, padahal yg bikin juga orang Sidoarjo). Tidak apa-apa, aku tidak sedih. Baju yang kainnya agak tipis tersebut kumasukkan ke dalam lemari. Suatu kali akan kupakai ke kampus, pikirku.
Setelah sekian minggu, baju batik kembang-kembang yang didominasi
warna putih tersebut mendapat giliran untuk ku pakai. (Sebelumnya juga sempat
aku bawa sebagai baju ganti di Ngawi untuk PKL, tapi belum sempat dipakai). Aku
meraih celana jeans biru dan kerudung hitam. Perpaduan
yang lumayan, menurutku. Usai bersolek tipis-tipis dan mengoleskan minyak wangi
ke tubuh, aku berangkat kuliah seperti biasanya. Tak ada yang istimewa selain
tiba-tiba dosen memberikan kuis dadakan di kelas pada hari itu. (Tebak, siapa
dosennya?).
Sejam, dua jam, tiga jam. Perkuliahan selesai. Setelah menerjang
macet akhirnya aku sampai juga di rumah. Segera kurebahkan tubuh sambil
memejamkan mata sejenak, mempertemukan punggung dengan kasur setelah sekitar
satu jam menempuh perjalanan dari kampus ke rumah. Seseorang menghampiriku dari
belakang, ternyata kakakku. Ia mengambil tempat di sampingku. Kami mulai
mengobrol santai, hingga ia mengomentari baju yang sedang menempel di badanku. Akhirnya baju ini dipake juga. Tadi
kamu padukan baju ini dengan kerudung warna apa? Kerudung hijau sepertinya
lumayan, tapi lagi aku pake. Eh tapi kalau tak liat-liat kok agak ndeso ya baju ini? Tipis juga
kainnya. Maaf ya cuma bisa beliin baju kayak gini., begitu kira-kira ucap kakakku.
Katanya baju yang ia berikan untukku itu kelihatan ndeso. Ndeso itu yang kayak gimana? Apa dari motifnya? Warnanya?
Kainnya? Atau karena belinya di toko murahan dan tidak ada mereknya? Sungguh tidak
ada penjelasan lebih lanjut mengenai definisi ndeso.
Aku tidak menanyakan lebih lanjut mengenai apa itu baju yang kelihatan ndeso, namun karena sudah hidup
bertahun-tahun dengannya, aku sudah tahu bahwa yang ia maksud dengan ndeso adalah motif batik dengan perpaduan
bunga-bunga tersebut. Renda-renda warna hijau yang ada di bagian pergelangan
tangan dan bagian bawah baju tersebut juga tak luput dimaknai sebagai klambine wong ndeso. Bagaimana bisa yang demikian
dikatakan ndeso? Embuh, takok
o dhewe.
Memangnya semua orang desa menggunakan baju seperti ini? Memangnya
orang kota tidak ada yang pernah memakai baju model dan warna yang begini?
Kalau pun toh memang iya baju ini termasuk dalam kategori ndeso,
memangnya kenapa? Apakah semua orang kota bajunya harus berbeda dengan baju
orang desa? Dan apakah ada larangan orang kota untuk berpenampilan seperti
orang desa? Memangnya orang kota bajunya harus yang seperti apa? Tiba-tiba saya menjadi bergitu
reaktif, tapi dalam hati.
Setelah merenung dengan intensif bukan
les-lesan selama sekian jam
semenjak percakapan tersebut terjadi, aku mengambil konklusi bahwa ada tafsiran
tertentu mengenai identitas orang desa vs orang kota melalui artefak yang
digunakan. Bagi kakak saya (sejauh yang bisa saya pahami), orang kota ya sakjane menggunakan baju seperti orang kota,
yaitu baju dengan desain-desain dan bahan yang premium (kalo perlu pertalite
dan pertamax sekalian). Seharusnya ada perbedaan antara yang kota dengan yang
desa. Taraf hidupnya kan berbeda, masak penampilan sama?
Sebagai kaum urban metropolitan, identitas (yang berusaha ditunjukkan melalui
baju) adalah sesuatu yang amat penting, yang seolah menjadikan orang kota
disebut sebagai orang kota, dan orang desa disebut sebagai orang desa.
Pertanyaanku, siapa itu orang desa? Apa yang salah dengan mereka
dan mengapa kita seolah berusaha membedakan identitas kita dengan mereka? Kalau
orang desa hanyalah orang-orang yang tinggal di pedalaman kabupaten tertentu,
maka dokter-dokter dan guru dari kota yang tinggal di sana juga orang desa, dong? Kalau orang desa adalah orang yang
lahir di desa, maka es-bi-wai (re: SBY) seharusnya juga wong ndesohhhh. Ya, toh?Daaaaan seharusnya tidak
ada yang salah dari mereka. Namun ternyata sebagian orang menganggap bahwa
dikategorikan sebagai orang desa adalah sesuatu yang tidak menyenangkan,
dianggap tidak modern (mungkin) dan dianggap ketinggalan sepur tren.
Ya sudahlah, apapun yang terjadi, aku tidak perlu merasa sensi
ketika seseorang mengatkan bahwa klambimu
ketok ndeso. Baju batik
kembang-kembang warna ijo yang lengkap dengan renda-renda di
beberapa bagian ini, tetap indah di tubuhku; tetap syantik dan mempesona.
Bagiku, tidak ada istilah baju orang desa dan baju orang kota. Mereka
sama-sama pakai baju. Itu intinya. Kalaupun mau membandingkan, bandingkan saja
dari kualitasnya; atau modelnya; atau warnanya. Tak perlu membawa-bawa
istilah ndeso maupun kutha, sebab argumentasi
tentang padu-padan logikanya kurang greget. Tak perlu juga ada pernyataan
yang menghakimi secara berlebihan terhadap penampilan seseorang karena pada
dasarnya itu semua adalah tentang taste.Gitu, sih.
0 komentar