TEMAN HIDUP
Dia indah
meretas gundah
Dia yang selama ini ku nanti
Pembawa sejuk, pemanja rasa
Dia yang selalu ada untukku
Dia yang selama ini ku nanti
Pembawa sejuk, pemanja rasa
Dia yang selalu ada untukku
Di dekatnya
aku lebih tenang
Bersamanya jalan lebih terang
Bersamanya jalan lebih terang
Kau jiwa yang
slalu aku puja.
Penggalan lirik lagu “Teman Hidup”
dari Tulus sejenak mengingatkanku pada kenangan di mana aku dan seseorang (yang selanjutnya kusebut sebagai teman hidupku) pertama kali bertemu. Adakah dari kalian yang merasa
deg-degan ketika pertama kali bertemu
dengan seseorang? Kalau aku tidak deg-degan, tapi bingung. Kenapa bingung? Jawabannya
adalah karena kita bertemu pertama kali
melalui Facebook, bukan bertemu di dunia nyata.
FACEBOOK
Pada 22 Mei 2016 kita pertama kali
dipertemukan oleh takdir melalui pesan di Facebook. Kalau kalian mengira bahwa
dia yang mengirim pesan duluan, kalian salah. Akulah yang pertama kali mengirim
pesan padanya. Pesan kukirim dengan menggunakan bahasa inggris (nggak tau kenapa saya kemalan banget pake bahasa inggris segala), yang intinya
adalah menanyakan “siapa kamu?” dan “dari mana kamu tahu akunku?”.
Ini berawal setelah dia mengirim
permintaan pertemanan di Facebook. Aku mulai bertanya-tanya mengenai siapa dia.
Segera aku melihat profil dan foto-foto yang ditampilkan. Tentu tidak semua
informasi dapat kuakses karena saat itu aku belum memutuskan untuk menerima
permintaan pertemanannya atau tidak. Namun sejauh kuamati dia berdasarkan apa
yang terlihat melalui Facebook, sepertinya ia bukan orang biasa. Dia pernah
berkuliah di Insititut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (alias ITS) sebagai
mahasiswa yang mengambil jurusan geodesi. Ia juga pernah menjadi Kepala Departemen
di organisasi yang ia ikuti (re: BEM). Mayan lah, kece.
Dia pernah ke Jepang dan ke Jerman, dua
dari sekian negara yang sangat ingin aku kunjungi setidaknya sekali seumur hidupku.
Aku tidak begitu tahu apa saja yang ia lakukan di Jepang. Dari foto yang
terlihat, ia seperti melakukan semacam penelitan. Sepertinya ia senang sekali
di sana. Sebab banyak sekali foto yang ia unggah, terutama berkaitan dengan
tempat wisata. Salah satu tempat wisata yang dikunjungi adalah studio Doraemon.
Sebagai penggemar serial animasi
Doraemon, tentu aku merasa gemas. “Kampret
banget ini bocah udah foto-foto di sana. Siapa sih dia?”, pikirku.
Kegiatan stalking kembali berlanjut. Menurut informasi yang ia tampilkan di
Facebook, saat ini ia sedang berkuliah di Jerman. Ia mengambil jurusan Earth
Oriented Space Science Technology di Technische Universität München, Germany. Aku sempet bingung, sebenarnya dia tuh kuliah di ITS apa di Jerman? Tapi kok di foto-fotonya dia udah lulus? Kegiatan
stalking berakhir dengan berbagai
pertanyaan yang belum terjawab. Karena sudah
tidak sabar ingin mengetahui kebenarannya, maka aku segera menerima permintaan
pertemanannya.
Namun aku tidak langsung mengiriminya
pesan, aku menunggu beberapa hari barangkali dia yang menyapa duluan. Kan malu ya, masak cewek nyapa duluan. Tapi
ternyata penantianku bertepuk sebelah tangan. Dia ternyata tak kunjung
menyapaku. Akhirnya malam itu langsung saja aku kirimi dia pesan di Facebook. Aku mengirim dengan bahasa yang sopan dan baku. Tentu saja, karena
dia adalah orang asing yang belum kukenal. Usai pesan terkirim, aku dengan
harap-harap cemas menanti balasannya. “Kalo
kaga dibales gua bakalan......”
Cengkling! Ternyata
pesanku dibalas tak lama setelah aku mengirimnya. Terus terang darahku mengalir
deras. Aku deg-degan. “Wih dibales!”. Ia membalas pesanku
dengan menggunakan bahasa inggris pula, dengan penulisan dan bahasa yang tak
kalah baku. Aku membalas pesannya dengan menanyakan mengenai beberapa
kegelisahanku yang sebelumnya sempat tak terjawab. Usai mengobrol agak banyak,
barulah aku baru tahu bahwa yang ia lakukan di Jerman adalah melanjutkan kuliah
S2. Wih, lagi ngelanjutin S2? Yakin? Kenapa
wajahnya masih imut nggak S2 banget? Nggak paham ane.
Aku semakin penasaran dengannya tapi
rasa kantukku tak dapat diajak kompromi. Di sisi lain, aku tak mau obrolan ini
berakhir. Dengan agak nggak punya malu malu-malu aku mencoba meminta id
LINE-nya barangkali ia berkenan dan ternyata dia dengan senang hati memberinya.
Ia sepertinya juga ingin mengobrol lebih lanjut denganku. Apakah ini pertanda
bahwa dia..... ah lupakan.
LINE
Semenjak
itulah kami berkenalan. Aku banyak bertanya mengenai pengalamannya di Jepang dan Jerman, juga sesekali bertanya
mengenai kehidupan pribadi dan organisasi. Aku juga menanyakan bagaimana dia
bisa mengetahui akun Facebookku dan kemudian memutuskan untuk mengirim
permintaan pertemanan. “Aku tau Facebookmu
dari si X, dia temenku SMP. Aku mulai stalking Facebookmu. Menurutku kamu tidak
hanya cantik tapi juga menarik”. #tratakdungcess
Obrolan yang awalnya kaku dan
menggunakan bahasa baku perlahan mulai mencair. Dia memang bukan tipe orang
yang heboh dan humoris, tapi sejauh ini ia cukup bisa menciptakan suasana yang
hangat dan menyenangkan. Dia juga bertanya mengenai kehidupan kuliahku dan
sesekali kehidupan pribadiku. Aku kagum padanya, dan semakin kagum setelah saling berbagi banyak cerita dan pengalaman. Oh ternyata dia dulu gini ya. Oh ternyata sekarang dia gini ya. Hingga aku menyadari
bahwa sejak saat itu aku merasa bahwa ia adalah candu. #eakk
LDR (LOOOOONG DISTANCE RELATIONSHIP)
Semakin hari obrolan kami semakin
menarik. Kami mendiskusikan berbagai macam hal, mulai dari yang receh hingga
yang dollar serius. Sesekali ia berbicara dengan menggunakan bahasa Jerman (meski kadang dicampur sama bahasa Jawa wkwkwk),
yang kusambut dengan jawaban “ajarin aku
bahasa Jerman dong? Dulu aku pernah bisa, tapi sekarang udah lupa karena ngga
sering dipakai”. Lambat laun aku merasa bahwa masing-masing dari kami
saling menyukai, hingga suatu saat aku tak tahan untuk menanyakan mengenai
pertanyaan klasik seperti “kamu suka sama
aku? Kalau suka tembak dong wkwkwkwkwk”. “Iya, nanti kalau aku pulang ke
Indonesia ya? Aku nggak mau berkomitmen kalau engga face to face”. Aku sempat ragu-ragu untuk
melanjutkan ini, namun ketertarikanku padanya meluluhkan itu semua.
Menjalin hubungan jarak jauh bukan
perkara mudah, tentu saja. Perbedaan ruang dan waktu (selisih 5 jam) dan juga
sinyal yang sering tak bersahabat membuat kami terkadang kesulitan berkomunikasi. Bagaimana tidak? Ketika ia berkegiatan, aku beristirahat; ketika dia
beristirahat, aku berkegiatan. Belum lagi kalo di timeline instagram ada yg lagi upload sama pasangannya ughhh kita cuma bisa melipir. Tapi sebenarnya itu
tidak sepenuhnya benar, sebab yang tidak menjalin hubungan jarak jauh pun bisa
merasa seperti jauh satu sama lain. “Ini
semua tantangan, kita harus bisa melewatinya”. #pret
WE MEET
Setelah
menjalin hubungan jarak jauh selama beberapa bulan, akhirnya kami bertemu. Kamu
tahu rasanya seperti apa? Rasanya seperti feses jenis bedegelen yang baru saja dikeluarkan dari rektum. LEGA!!
SENANG!! Like literally i’m frickin happy
because he does exist in this world. Dia mengajakku jalan-jalan ke Malll
untuk nonton berdua (kencan standar kok, rek). Sebelum itu ia mampir ke rumahku dan
berpamitan dengan mamak. “Ibu, ini
anaknya saya curi sebentar ya untuk diajak jalan-jalan”, ucapnya. Aku cuma nyengir
lalu spontan memukul bahunya pelan.
Ia tidak disini untuk waktu yang
lama, lebih tepatnya hanya satu bulan. Hanya satu bulan waktu yang ia punya
untuk kembali ke Indonesia. Selepas itu ia akan kembali lagi melanjutkan tahun
keduanya di Jerman. Satu bulan itu menjadi waktu yang amat berharga bagi kita
yag tiap detiknya amat kita syukuri. “Kok
kamu cuma disini sebulan doang?” “bersyukurlah, sebab temen-temenku yang lain
aja ada yang 4 tahun nggak pulang ke Indonesia”.
AYAH, SAHABAT, KEKASIH
Meski
perawakannya imut, sebenarnya dia amat dewasa. Perbedaan umur kami hanya 2
tahun (tentu dia lebih tua), namun aku merasa bahwa ia seperti seorang ayah
yang menjaga anaknya. Ia tak henti memberi nasehat jika aku keluar dari jalur
yang seharusnya, ia juga peduli terhadap kesehatanku. Aku merasa nyaman dan
terlindungi bukan iklan asuransi. Aku belajar banyak darinya, dari kedewasaannya
dalam berpikir dan bertindak. Di samping dewasa, ia juga pendengar yang baik. Di
kala aku butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahku, dia adalah orang
yang tepat. Layaknya seorang sahabat, dia memelukku ketika aku sedih, dan
memotivasiku untuk bangkit kembali. He is
the best bestfriend ever. Sedangkan sebagai seorang kekasih, ia memang
bukan tipe laki-laki romantis (aku menyadari itu), namun aku tidak memaksanya
untuk menjadi romantis dan suka gombal seperti cowok pada umumnya. I let him to be him, because he did the same
to me.
FINALLY
Tulisan
ini tidak dibuat untuk ajang pamer atau semacamnya. Tulisan ini dibuat agar
setidaknya masing-masing dari kami tidak saling melupakan bahwa sebelum kami
bertemu kami benar-benar hanya orang asing satu sama lain. Begitu pula
sebaliknya, ketika kami sudah saling mengenal semoga tidak ada yang merasa saling asing satu sama lain.
0 komentar