MENJADI WARTAWAN UNTUK DIRI SENDIRI
Percaya
atau tidak, kita adalah wartawan bagi diri kita sendiri. Hal ini menyangkut
berbagai macam aspek kehidupan mulai dari ekonomi, sosial, politik dan agama yang
sejatinya saling berkesinambungan. Dari segi ekonomi misalnya, kita bertanya
pada diri kita terkait apa-apa saja yang ingin kita beli. Ada beberapa opsi,
yaitu melakukan pembelian dengan perencanaan yang matang ataupun melakukan
pembelian secara spontan. Misalnya, apabila ingin membeli sarapan (buat anak
kos nih), ada yang udah berencana beli ayam goreng tapi ada pula yang yaudah lah adanya apa, ya itu yang gue beli.
Dalam
konteks Indonesia, ini mungkin bukan persoalan yang memusingkan. Namun,
bagaimana dengan konteks luar negeri? Atau pun jika di dalam negeri, bagaimana
jika kita termasuk minoritas? Apakah semudah itu menemukan makanan yang sesuai dengan apa yang kita inginkan
seharusnya makan?
Kita
ambil contoh orang Hindu yang kalo ngga
salah nggak boleh makan sapi.
Boro-boro makan rendang (yang terbuat dari daging sapi asli pilihan dan diolah
oleh mamak dengan penuh cinta kasih), mau beli pentol aja mereka harus berpikir
dua kali, jangan-jangan itu dibuat dari
daging sapi. Hal ini benar-benar terjadi kepada seorang teman yang beragama
Hindu. Sebut saja namanya Ni Putu (karena emang namanya Ni Putu). Waktu itu
seusai belajar bersama di rumah seorang teman (ciye belajar), kebetulan ada
abang jualan pentol lewat. Om pentol om. Kami kemudian memutuskan untuk
membeli. Tentu saja tidak ada masalah bagi teman-teman non-Hindu, tapi ternyata
tidak bagi Ni Putu. Disaat kami sudah menimbang dan memutuskan porsi untuk
pentol, tahu dan siomay yang akan dimasukkan ke plastik berukuran tanggung
warna putih, wajah Ni Putu tiba-tiba kurang bersemangat. Ia kemudian melontarkan
satu pertanyaan yang mungkin menjadi salah satu dari unfamiliar question kepada abang penjual pentol: ini terbuat dari sapi, bang?, tanya Ni
Putu. Suasana sempat freeze sejenak, termasuk kami (terutama saya). Ini
benar-benar pertanyaan yang jarang diberikan oleh (calon) pembeli pentol kojek.
Dengan agak tidak yakin si abang menjawab, iya
neng ini dari daging sapi. Betapa semakin kuyu wajah Ni Putu mendengar
jawaban penjual pentol tersebut. Ya sudah
bang saya engga jadi beli, ucapnya dengan senyum kecut. Ia lantas
meletakkan kembali plastik putih yang sudah sempat ia ambil.
Saya
masih ingat betul reaksi saya pada waktu itu. Saya ingin memberitahu Ni Putu
bahwa omg nonsense banget kalo pentol
kojek seratusan gini terbuat dari daging sapi, paling banter juga daging ayam,
namun tentu itu hanya berhenti pada tataran pikiran. Sebab, selain tidak
ingin melukai harkat dan martabat sang penjual, saya juga tidak ingin
mengobrak-abrik sistem kepercayaan yang sudah dianut semenjak lahir oleh teman
saya ini. Mungkin dia ingin menjadi Hindu sejati dengan mematuhi nilai-nilai
yang diharapkan oleh agama padanya. Seringkali, minoritas memang butuh
kesabaran ekstra, seperti Ni Putu yang hanya bisa menelan ludah ketika melihat
teman-teman lainnya melahap pentol seplastik gede. Sementara, si abang pentol
tampaknya masih tak mengerti dengan apa yang terjadi hingga seorang teman
akhirnya ambil suara, teman saya ini
Hindu, bang. Engga boleh makan sapi. Si penjual pentol hanya mengangguk
pelan. Sepertinya ia sedikit menyesal karena telah kehilangan satu pembeli.
Meski nampak kecewa, tapi ya sudahlah.
Hal
serupa juga dialami oleh teman saya yang lain ketika pergi ke Korea Selatan
untuk audisi girlband mengikuti acara semi-akademik. Dia seorang wanita
muslim dan berhijab (dan kpopers). Usai rampung mengikuti acara dan pulang ke
Indonesia, ia dengan bersemangat menceritakan apa saja yang ia alami di sana,
mulai dari udara dingin yang membuatnya menggigil (suhu di bawah nol derajat), melihat
orang mabuk tidur di pinggir jalan, ketemu
artis yang sedang melakukan shooting,
hingga salah naik kereta dan akhirnya ketinggalan pesawat. Ia juga menceritakan
betapa rasisnya orang Korea melihat wanita berhijab di tempat umum, juga
susahnya mencari makanan yang tidak mengandung babi.
Lu tau ya, gue disana ngga sengaja makan
mandu yang ternyata itu terbuat dari babi. Gue sedih banget, rasanya pingin
nangis di tempat. Tapi apa daya, mandunya juga udah gue telen. Enak sih, tapi
babi., ucapnya. Abis gue
nyesel, akhirnya gue lebih selektif lagi pilih makanan. Pas di supermarket kan gue
beli ramyun, nah gue pesen ke abang yang jual pokoknya gue beli ramyun yang no
pork. No pork oppa, jebal (no pork sir, please). Dan lu tau kaga, ternyata dari sekian banyak ramyun yang di display di
supermarket, cuma 2 yang ngga ada babinya. Cuma 2 cuy. Semuanya mengandung babi
termasuk ramyun-ramyun yang dijual di Indonesia, tambahnya dengan ekspresi
agak melotot. Saya cuma bisa manggut-manggut.
Mulanya
saya belum dapat menarik kesimpulan dari kedua cerita tersebut. Namun lama-kelamaan
saya menyadari bahwa mereka berdua sejatinya adalah seorang wartawan bagi diri
mereka. Mereka bertanya kepada diri mereka sendiri: mengapa mereka tidak boleh memakan makanan dari jenis tertentu dan apa yang membuat mereka mematuhi aturan
tersebut. Dari dua pertanyaan itu setidaknya saya mendapatan sebuah
kesimpulan general bahwa mereka adalah
bagian dari golongan tertentu dan mereka ingin tetap menjadi bagian dari
golongan itu. Ya, ini adalah tentang identitas, di mana sesuai dengan sabda
Rasulullah yang berbunyi: Barangsiapa yang meniru satu kaum, maka dia
termasuk golongan mereka. (HR. Abu Dawud).
Dalam
dunia sosial pun juga demikian. Ada tipe orang yang talkative dan mudah beradaptasi, sementara yang lain tidak.
Fenomena ini benar-benar mudah dilihat, terutama di era semenjak munculnya
media sosial seperti Facebook dan Instagram, juga instant messenger seperti LINE dan Whatsapp. Tidak sedikit dari
mereka yang suka ngoceh tiada henti,
hingga berujung pada bergunjing alias rasan-rasan.
Rasan-rasan kini tidak saja hadir
dalam bentuk tulisan, tapi juga gambar dan video. Persoalan trivial di
Instagram seperti eh si A putus loh sama
si B atau aduh anak ini sekarang lho suka
ngeshare video-video politik hoax seolah tidak asing lagi di telinga kita.
Satu pelajaran yang bisa dipetik dari fenomena ini adalah tentang bagaimana
menempatkan diri dalam pergaulan. Kesadaran untuk menekan ego tidak semata-mata
untuk menghindari diri kita agar tidak dicap sebagai tukang nyampah, tetapi juga untuk menghindari fitnah yang bisa
ditimbulkan lewat kejadian tersebut. Dari sini kita kembali mempertanyakan
kepada diri kita sendiri, sebenarnya siapa kita dan mengapa kita harus
melakukan pembatasan ego ketika bergaul?
Tidak
hanya pembatasan dari segi substansi yang dibicarakan saja, tapi ternyata ada
pembatasan lain yang dialamatkan kepada golongan-golongan. Di dalam Islam
misalnya, adalah suatu kewajiban bagi wanita untuk menutup aurat, yang tentu
saja diimbangi dengan kewajiban pria dalam menundukkan pandangannya. (Lihat QS.
An-Nur: 30-31). Ada pula aturan-aturan mengenai toleransi dan bagaimana
batasannya dengan akidah, yang sering kali memicu timbulnya pergesekan sosial.
Pergesekan ini utamanya terjadi pada negara dengan tingkat heterogenitas tinggi
seperti Indonesia. Kemudian, apakah benar
aturan dan pembatasan tersebut hanya perihal semu dan palsu, atau justru merupakan
sesuatu yang sejatinya melindungi, pertanyaan tersebut (lagi-lagi) ditanyakan
oleh diri kita sebagai seorang wartawan dan hanya diri kita sendiri yang
akhirnya sanggup menjawab.
Pada
akhirnya, kita kembali berkontemplasi tentang siapa diri kita sebenarnya,
bagaimana kita harus menjalani kehidupan sosial, kemana arah kehidupan kita seharusnya
berjalan dan bagaimana akhir dari kehidupan tersebut. Dan sebaik-baik wartawan
adalah yang berhasil merekam banyak informasi tentang diri mereka sendiri
sebelum beranjak untuk mengenali orang lain.
0 komentar