The Matter
Pada
dasarnya, wanita suka dimanja. Wanita suka dipuji dan ditinggikan, asal
kemudian jangan dibanting. Wanita gemar digoda dan dirayu. Wanita suka pada
pria yg lembut dan pandai membuat pipi menjadi merah merona. Meski demikian,
wanita tidak menyukai lelaki yang terlalu banyak membual, apalagi yg hobi
bersilat lidah. Karena segala sesuatu yg berlebihan akan membawa
ketidaknyamanan yang bahkan bisa berujung nestapa.
Aku mengangguk. Memang benar, terlalu banyak membual akan sangat
membuat kita tidak nyaman. Namun, terlalu serius juga akan menjadikan hubungan
cepat bosan. Klep! Aku menutup majalah Personal
Consultant yang menjadi sarapanku di pagi hari, kemudian bergegas mengecek
email dan mulai bekerja.
Masih pagi, namun aku sudah mendapat email dari seorang klien
mengenai hubungannya dengan kekasihnya. Ia merasa bahwa kekasihnya terlalu
serius, kurang romantis, jarang memuji, bahkan jarang memanggilnya dengan
panggilan standar semacam: sayang, babe, hunnie, sweetie. Hubungan mereka
seolah tak lebih dari sekedar senior-junior, lebih tepatnya dosen-mahasiswa.
Ya, klien yang kuhadapi kali ini adalah seorang mahasiswi yang
jatuh cinta pada dosennya. Sebut saja namanya Kina, mahasiswi semester (hampir)
akhir yang menempuh jurusan Ilmu Politik di salah satu universitas swasta di
Jakarta. Ia menaruh hati pada dosen muda yang mengajar di salah satu mata
kuliah wajib pada beberapa semester lalu. Mulanya tak ada istimewa, hanya
diskusi2 biasa seputar materi kuliah. Namun lama kelamaan, mereka menemukan
kecocokan satu sama lain. Kedua insan ini mulai menetapkan hubungan mereka
setelah beberapa kali melewatkan waktu bersama. Layaknya pasangan pada umumnya,
mereka berkencan di bioskop, jalan2 ke mall, pergi ke tempat wisata, serta
melakukan selfie bersama.
Bukan laut jika tak bergelombang, bukan romansa jika tak
berkonflik. Seperti halnya dosen dengan segala dominasinya dan mahasiswa dengan
segenap idealismenya, mereka terlibat cekcok. Mereka sering terlibat cekcok
satu sama lain perihal prinsip dan pandangan hidup. Pergulatan dalam
mengemukakan argumen bisa jadi adalah hal yang lumrah bagi kalangan akademisi
seperti mereka. Namun, tak jarang pula mereka terjebak dalam atmosfer panas dan
menemui jalan buntu karena masing2 tak ada yg mau mengalah. Hingga suatu saat
Kina mengaku lelah jika terus berdebat. Ia hanya ingin kekasihnya mengerti
bahwa dibalik hubungan dosen-mahasiswa, mereka adalah sepasang kekasih.
Sepasang kekasih seharusnya saling mengasihi, bukan saling menghardik dan
memaksakan pendapat pribadi.
"Dulu ia sangat romantis. Ia memanggilku dengan sebutan
Primadona Termanis. Meski terkesan berlebihan (untuk sekelas dosen mata kuliah
Politik Internasional seperti dirinya), aku cukup senang dan merasa tersanjung.
Ia sangat ramah dan menyenangkan. Namun seiring berjalannya waktu, kini aku
merasa kehilangan momen-momen tersebut",
"Aku merasa dia sekarang sedikit kaku, tidak romantis seperti
dulu. Tunggu, tunggu! Tentu saja aku bukan wanita yg haus pujian. Aku hanya
merasa bahwa terkadang bermanja-manja itu perlu. Selain untuk menghilangkan
awkwardness dalam suatu hubungan, bermanja sekali-kali juga berguna untuk
memperkuat emotional bonding".
Ya, kini aku mulai mengerti permasalahan pada hubungan Kina dan
kekasihnya. Masing2 dari mereka ingin mempertahankan status quo. Kina dengan
segala ketidakmampuannya untuk mengungkapkan perasaan, pun kekasihnya yang tak
kunjung peka bahwa sang wanita mempunyai keinginan yang belum tergenapi.
"Dear, Kina. Apa kau sudah mencoba melakukan pendekatan
padanya dengan lebih serius? Bertandanglah kesini, mari kita bicarakan mengenai
kehidupanmu dan pasanganmu. Bagaimana kalau esok jam 1 siang?", aku
membalas emailnya demikian.
Sambil menunggu jawaban dari Kina, aku menerawang jauh. Memoriku
melompat pada beberapa tahun silam ketika aku dirundung masalah yg hampir sama
dengan Kina. Kekasihku bertengkar denganku. Yang paling ku ingat saat itu ialah
kita berdebat perihal gender dan feminisme. Perdebatan tersebut merembet pada
masih langgengnya dominasi patriarki yang ia lakukan padaku. Tentu aku merasa
tak nyaman. Hingga lambat laun hubungan kami mulai kurang menyenangkan. Ia,
yang dulu amat suka bermanja denganku, kini menjadi semakin serius dengan
prinsip yang dianutnya. Pun ditambah lagi dengan kesibukannya melanjutkan
kuliah S2 di Edinburgh yang membuat hubungan kami makin renggang layaknya udara
yang dipanaskan.
Sialan, kenapa aku harus mengingat masa-masa itu? Bukankah kini
aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku saat ini? Bukankah impianku menjadi
konsultan benar-benar terwujud? Apa lagi yang kucari? Lagipula, bukankah
menyesali hubungan yang sudah berakhir hanya akan menambah kepedihan?
Cengkling~ satu pesan telah dikirim
oleh Kina padaku. Aku berharap ia bisa meluangkan waktunya sesuai dengan
penawaranku. Sebab aku tak punya cukup waktu di lain hari mengingat jadwalku
yang padat untuk bertemu dengan klien2 lain. Aku menggeser layar telepon dari mode
locked menjadi unlocked. Tertera nomor tak yang belum tersimpan olehku. Ya, aku
bahkan belum menyimpan nomor Kina karena sibuk mengorek masa laluku 5 tahun
silam.
—Aku baru
saja pulang dari Edinburgh. Bisakah kita bertemu di pertigaan swalayan
biasanya? Aku merindukanmu. Sungguh suatu kehormatan, Adeline.
Menggelegar, seakan-akan tubuhku disambar tegangan sebesar 9000
kilovolt ketika aku membuka pesan itu. Meski dikirim oleh nomor tak dikenal dan
tanpa nama, aku bisa mengenali dari siapa pesan ini berasal. Dengan gaya bahasa
yang masih sama, meeting point yang masih sama, kalimat penutup khas yang sama.
Oh....... Perutku mulai dihantui dengan kupu-kupu terbang.
Kacamataku pun mulai berembun. Lelaki bertubuh ramping itu berdiri di
hadapanku. Pipinya masih tirus, tubuhnya masih jangkung, kantung matanya masih
dan akan selalu jelas terlihat olehku. Oh Tuhan, aku sungguh menangis haru.
Sebab senyum lebarnya masih sama, hidung mancungnya masih sama, lesung pipinya
masih sama, tahi lalat di ujung pelipis kirinya juga masih sama. Aku
memeluknya, kuciumi harum tubuhnya yang khas. Bau keringatnya usai mengerjakan
laporan panjang yang bercampur dengan aroma kopi serta minyak wangi oles
sungguh semerbak di hidungku. Aku berharap aku salah orang. Namun ternyata tak
ada yang berubah, ia tetap sama.
Entah siapa yang menghadirkan kenangan-kenangan itu di depan mataku. Batas horizon antara angan dan kenyataan menjadi kabur seketika. Aku masih terdiam, lama sekali terpaku di depan layar telepon genggam. Perasaanku membuncah, mataku hangat dan berair. Tanpa kusadari, bibirku bergetar sambil berucap: Eduardo... aku juga merindukanmu. (Jangan tanya siapa itu Eduardo).
Entah siapa yang menghadirkan kenangan-kenangan itu di depan mataku. Batas horizon antara angan dan kenyataan menjadi kabur seketika. Aku masih terdiam, lama sekali terpaku di depan layar telepon genggam. Perasaanku membuncah, mataku hangat dan berair. Tanpa kusadari, bibirku bergetar sambil berucap: Eduardo... aku juga merindukanmu. (Jangan tanya siapa itu Eduardo).
0 komentar