Instagram Facebook

Digna Tri Rahayu

(Cr: Goodreads)

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Pramoedya Ananta Toer
Jakarta: Lentera Dipantara
2012 (Cet.9)
Hari ini aku mengetuk pintu rumah Karl Marx, katanya ia sedang tidak enak badan. Sebagai bahan bacaan, aku berikan buku karya Pramoedya ananta Toer yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini padanya. Ia bertanya, “buku apakah ini?”. “Baca saja, niscaya kamu akan semakin yakin tentang yang kau pikirkan”, jawabku. Aku bergegas pulang setelah kututup pintu rumahnya yang mulai reyot.

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels adalah buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berbicara mengenai tragedi kerja paksa terbesar sepanjang sejarah di Tanah Hindia. Meski bukan buku yang seratus persen akademis dan formal, Pram dengan segala kecerdasannya berhasil meramu data dan peristiwa dalam balutan sastra yang epik dan luar biasa. Ia menceritakan perjalanannya selama melihat sang penguasa menghardik pribumi (suatu “kasta” di mana Pram adalah bagian di dalamnya). Perjalanan tersebut dimulai dari tempat kelahirannya di Blora, Jawa Tengah.

Dalam bukunya, Pram berbicara mengenai genosida paling mengerikan yang dilakukan oleh penguasa kepada pribumi pada 1809. Jalan Raya Pos atau yang biasa dikenal dengan jalan Daendels adalah jalan yang membentang 1000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa mulai Anyer hingga Panarukan. Jalan tersebut adalah proyek besar yang digawangi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dibawah pendudukan Perancis, Wilhelm Daendels. Daendels dikenal sebagai orang yang berhati baja sekaligus berkepala angin, tak punya kekuatan untuk menghadapi argumentasi. Ia akan langsung mengancam dengan bentakan dan bahkan menembak mati lawan argumentasinya. Mengerikan, bukan?

Tak terhitung lagi banyaknya pekerja yang mati dalam pelaksanaan proyek pimpinan Daendels tersebut. Penyebabnya mulai dari malaria, kelaparan, hingga kelelahan. Jumlah korbannya sangat banyak tapi tidak pernah diusut secara tuntas. Menurut perkiraan, jumlah korban yang meninggal selama pembuatan jalan Raya Pos kira-kira 12.000. Singkat cerita, ini adalah penampakan dari kekuasaan penjajah yang penuh kesewenang-wenangan. Sangat tragis dan mengerikan.

Keesokan harinya Marx bertandang ke rumahku, ia menceritakan kembali tentang apa yang dipikirkannya mengenai buku yang kuberikan padanya untuk jadi bahan bacaan. Marx mengatakan bahwa yang terjadi pada buku tersebut adalah peristiwa dialektis dan hostoris. Pertarungan yang menewaskan puluhan ribu orang tersebut sejatinya disebabkan karena satu hal: materi. Materi membuat orang bisa gila dan saling berebut dan memperebutkannya. Segala sesuatu yang disebabkan karena materi mempunyai kata lain bahwa materi adalah struktur dasar (basic structure) dari segala yang terjadi dalam masyarakat, mulai dari sosial, politik, budaya, hukum, dsb.

Semua sejarah orang-orang besar diawali oleh materi. Materi membuat manusia secara sadar merasa bahwa ia mempunyai kebutuhan dan berusaha keras untuk mengejar keinginan tersebut. Inilah yang sebenarnya dilakukan oleh Daendels, ia ingin mencapai tujuannya dalam membangun jalan sepanjang 1000 km mulai Anyer-Panarukan. Untuk dapat mencapai hal tersebut tentu saja Daendels tak bisa sendirian, ia butuh bantuan dari orang lain untuk melancarkan misinya. Lalu Daendels menggunakan pribumi sebagai pembantunya. Ia menjadikan pribumi sebagai budak yang dibayar murah namun diperas tenaganya hingga mati. Hingga benar-benar mati.

“Wahai rakyat, kalian sesungguhnya hanyalah objek, sementara aku adalah subjeknya. Dan sejarah adalah milik penguasa”, mungkin itulah yang ingin dikatakan Daendels. Apabila Daendels meminta dikirimkan 1.000 pekerja setiap harinya sementara hanya sedikit dari mereka yang selamat, maka berapa jumlah pekerja yang dibutuhkan selama setahun? Orang yang berkuasa memang nyaris gila, ia tidak peduli berapa orang yang dikorbankan asal tujuannya tercapai. Semua pribumi lalu marah dan berontak, namun Daendels seolah mengatakan bahwa kematian rakyat kecil itu tak ada artinya karena masih banyak yang bisa menggantikan. Kematian mereka tak akan dipahami sebagai pengorbanan. Nama mereka juga tak akan masuk dalam buku sejarah, paling-paling hanya tubuhnya yang bergelantung di atas dahan rapuh sepanjang trotoar Anyer-Panarukan. Toh salah satu anugerah bumi nusantara ini, selain tanahnya yang subur, rakyatnya juga melimpah ruah. Tentu berbeda apabila yang tewas adalah penguasa, maka namanya akan tercatat dalam sejarah.

Marx menjelaskan panjang lebar sambil mengelus jenggot panjangnya. Aku mengangguk mendengarkan ceramahnya dengan hikmat. Tiba-tiba ada pertanyaan yang terlintas. Langsung saja kutanyakan padanya, “apakah mungkin masyarakat mampu melawan orang yang mempunyai kekuasaan, lalu menjadikan kedudukannya setara dengan mereka?”. Mark mulai memaparkan ramalannya. Mereka bisa melakukan revolusi dengan cara mengambil alih kuasa dari pemilik kuasa. Namun itu butuh waktu dan kesiapan, karena konsekuensinya adalah akan terjadi kekacauan yang luar biasa. Nanti kau akan lihat apakah penguasa akan terus menjadi penguasa, dan apakah budak akan terus menjadi budak. Mungkin suatu saat akan ada saat di mana budak dan penguasa setara, namun karena dunia bersifat dialektis-historis, maka penguasaan atas rakyat akan mungkin terulang kembali. Yang bisa kau lakukan saat ini adalah terus mengikuti arah perkembangan sejarah bangsamu. Dengan begitu kau akan dapat melihat mana kah dari ramalanku yang benar-benar terjadi.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kartini Jangan Kurang Baca, Kartini Jangan Kurang Tamasya

Kartini (Cr: resiprositi.com)
Maaf aku baru sempat mengirimkan balasan atas suratmu, Kartini. Meski sudah berabad jarak kita terpisah, aku berharap semoga kau masih setia menunggu jawabanku. Kau tidak marah, kan? Jujur saja aku terlalu sibuk mengamati “keajaiban-keajaiban” yang terjadi di dunia semenjak kepergianmu, mulai dari yang trivial hingga yang krusial. Sebentar lagi akan kuceriterakan padamu.

Tahukah kau, Kartini, bahwa tak ada yang lebih pedih ketimbang mengetahui fakta gadis-gadis sekarang yang kian hari kian bodoh. Mereka bertanya sebelum membaca, namun tak menggubris ketika diberikan penjelasan. Maka, jangan ajukan pertanyaan kepada mereka mengenai Minnebrieven atau Max Havelaar karya Multatuli. Bahkan aku pun tak yakin mereka tahu siapa itu “Multatuli”. Jika sudah begitu, tahanlah dirimu untuk menanyai mereka tentang karya-karya berharga lainnya yang pernah kau baca seperti  Moderne Vrouwen (Wanita Modern), Moderne Maagden (Gadis Modern), dan De Vrouwen en Sosialisme (Wanita dan Sosialisme). Mereka pasti akan saling tengok menengok, lalu menggeleng. Mereka tak akan paham.  Yang mereka pahami mungkin sosialita, bukan sosialisme.

Aku sangat sedih, Kartini, sebab gadis-gadis yang mengaku mengagumi dirimu bahkan tak mampu mengilhami siapa dirimu sesungguhnya. Ingin kuteriaki kuping mereka dengan perkataan Kartini jangan kurang baca, Kartini jangan kurang tamasya. Mereka nampaknya kurang menyadari bahwa membaca membuat diri mereka mampu berkelana sejauh-jauhnya, bahwa dalam perjalanan berkelana itu mereka mendapat gairah akan pengetahuan. Terlebih lagi, membaca mampu membuat diri mereka bermartabat sebab tak mudah dilacurkan oleh penguasa.

Tentu saja yang kumaksudkan dengan istilah membaca disini tak sekedar membaca gabungan alfabet-alfabet saja, tapi juga membaca kondisi sosial, merumuskan masalah, dan menentukan jalan keluarnya. Oleh sebab itu untuk menjadi Kartini sepertimu mereka harus cerdas dan sering-sering melakukan tamasya. Mereka yang kurang tamasya akan menjadi orang yang terpingit (dalam arti sesungguhnya) oleh pemikiran yang sempit. Sekali waktu mereka harus bepergian dan berkelana, mencari warta dan fakta, menemukan terang di antara gelap dan menembus zona nyaman demi mendapat esensi dari emansipasi.

Untuk bisa menembus kegelapan tersebut, mereka perlu meniru keberanian dan kegesitan yang ada padamu. Kalau aku tak salah ingat, kau pernah dipanggil dengan sebutan Trinil, bukan? Trinil, burung yang lincah. Aku tak heran ketika mengetahui perubahan apa saja yang kau ciptakan dari sikapmu yang lincah dan pemikiranmu yang gesit itu. Tapi sayang sekali, Kartini, kelincahanmu sedikit berbeda dengan kelincahan gadis-gadis zaman sekarang. Gadis-gadis sekarang hanya lincah di depan gawai. Mereka betah seharian berada di depan gawai, mengkonsumsi berita-berita trivial yang tak memberikan kebermanfaatan padanya.

Oops, maaf Trinil, aku lupa jika kau tak pernah mengenal tentang istilah gawai. Aku maklum. Kini akan kujelaskan padamu apa itu gawai. Singkat cerita, gawai adalah teknologi yang digunakan untuk mempermudah kehidupan manusia, bisa digunakan sebagai alat komunikasi, alat mencari informasi hingga menulis surat seperti yang kulakukan saat ini. Wah, aku membayangkan betapa kau akan kagum dengan kecanggihan teknologi saat ini. Kau bisa mengirim ratusan surat tiap harinya kepada sahabat-sahabatmu tanpa ragu dan takut. Kau bisa menjadi terkenal hanya dalam hitungan hari. Kau bisa mendobrak budaya Jawa yang mengekang. Kau bisa mengoyak pemerintahan Belanda dengan membumikan tulisan kritismu.

Kartini, kau mungkin akan sangat terkenal di Facebook dan Instagram, salah satu fitur yang bisa kau akses melalui gawai. Kau pasti akan menjadi public figure terkenal disana. Kutaksir pengikutmu sebelas dua belas dengan jumlah pengikut Kim Kadarshian, selebritis masa kini yang hanya bisa pamer paha dan dada. Sayang kau sudah pergi sebelum sempat mencicipi teknologi ini.

Tapi, Kartini, ada satu kesamaan antara masa kini dengan masamu dulu, yaitu efek dari teknologi. Sebenarnya itu semua tak jauh beda dengan pingitan. Tentu kau tak akan melupakan masa pingitan yang memenjarakanmu dulu, kan?  Aku masih ingat perkataanmu tentang masa pingitan, teringatlah aku, betapa aku oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga, lalu menghempaskan badanku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa tertutup itu, dan kepada dinding batu yang bengis itu, arah kemana juga aku pergi, setiap kali terhenti juga jalanku oleh tembok batu atau pintu yang terkunci. Ya, sama. Semenjak kedatangan gawai, orang-orang secara tidak langsung telah “dipingit” dalam bangunan-bangunan rumah mereka sendiri. Mereka tak ubahnya seperti calon pengantin Jawa yang tak diijinkan keluar dari bilik mereka, yang tak punya kuasa untuk mendobrak kebengisan dari kaum-kaum penguasa. Mereka tunduk dan menyerahkan segala kebebasan mereka. Mereka mau didominasi oleh konstruksi sosial tanpa berusaha melawan. Jika penjara yang mengurungmu membuatmu gelisah, maka mereka tak pernah gelisah. Mereka sangat menikmati dan hanyut dalam buaian gawai. Sangat berbeda seperti dirimu dahulu.

Dari gawai dan fitur-fitur yang dapat diakses di dalamnya, kini berkembang tren tentang kecantikan. Bagimu, kecantikan mungkin adalah faktor nomor kesekian, namun kini kecantikan adalah prioritas tingkat dewa, yang pada titik tertentu mengabaikan keutamaan-keutamaan lain seperti pengetahuan dan kebajikan. Menurut orang-orang pada masa kini, kecantikan ditandai dengan bibir tebal (yang menurutku lebih mirip seperti bibir yang tersengat lebah), alis tebal sempurna bak bulan yang terbelah, hidung mancung menonjol dengan highlight emas, kontur yang membuat wajah menjadi tirus (yang menurutku tak lebih menyeramkan seperti topeng tari Didik Nini Thowok), pipi merah dengan taburan blush on (yang kadang ditaburkan terlalu banyak hingga pipi nampak seperti TKW usai ditampar oleh majikan Arab), dan sebagainya.

Masih banyak keanehan-keanehan lain di abad 21 ini yang tentu saja kau tidak mengenal  itu semua. Buatmu, emansipasi dan feminisme lebih menarik ketimbang mascara dan bulu mata (palsu). Aku mulai merefleksikan fenomena ini padamu, Kartini, sebagai wanita cantik yang tak perlu makeup tebal dan baju mahal bermerk. Kau juga tak perlu nongkrong di kafe mahal untuk bisa diterima secara sosial.

Konsep tentang “kecantikan” adalah konstruksi sosial, yang menciptakan tren baru yaitu diet dan selfie (swafoto). Sebab selain dari penampakan wajah, kecantikan juga dilihat dari berat badan, tinggi badan yang proporsional dan artefak yang menempel di tubuh mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seorang kawan yang sebelumnya tidak pernah berdandan kini sesekali harus memoles wajah mereka dengan makeup. Tujuannya selain untuk menarik perhatian juga agar tak dikucilkan oleh masyarakat. Aku juga ingin menceritakan padamu tentang selfie, yaitu suatu kegiatan memotret diri sendiri, yang biasanya diunggah melalui media sosial yang mereka punya. Fenomena selfie membuat mereka sibuk meningkatkan aktualisasi diri, yang disisi lain menurunkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang krusial, misalnya membaca buku dan membuat kampanye-kampanye sosial yang berkesinambungan.

Salah satu figur yang dikejar sebagai panutan kecantikan adalah tokoh rekaan yang bernama Barbie. Barbie adalah boneka dengan kulit kaukasian dan rambut pirang, punya dandanan modis dan independen (meskipun pada perkembangannya mulai ada Barbie dengan rambut hitam dan kulit legam). Visualisasi Barbie mungkin mirip dengan sahabat-sahabatmu dari negeri Belanda. Ya, berkulit putih, berambut pirang serta bergaun mewah. Gadis-gadis sekarang berlomba-lomba menjadi seperti nona-nona Belanda. Jelaskan padaku, Kartini, apa mungkin ini adalah hasil dari internalisasi budaya kolonial, dimana pribumi hanya akan naik derajat jika bisa setara dan seperti penjajah, oleh karena itu mereka berlomba-lomba untuk membuat penampilan mereka sama seperti gadis-gadis Belanda? Aku tidak percaya bahwa ideologi ini begitu mengekang hingga saat ini, seperti sabuk yang melilit pada pinggang sebab celana kebesaran.

Fenomena cantik memang menyakitkan, tak hanya pada pasangan muda tapi bahkan pada pasangan yang sudah menikah. Kawanku yang lain harus menanggung beban sebab orang tuanya terpaksa bercerai karena sang Ayah kurang puas dengan istrinya. Tak ayal, penyebabnya tak jauh dari gambaran “kecantikan ideal” dan peran wanita dalam rumah tangga. Si Ibu tak hanya dianggap kurang cantik, namun juga kurang pintar memasak. Sialnya, perceraian tak hanya tentang dua insan yang saling beradu cinta kemudian terpisah, tapi juga mencerai-beraikan harapan dan impian sang anak tentang konsep keluarga harmonis. Melihat pertengkaran orang tua membuat anak jadi minder dan memilih untuk hidup pada dunianya sendiri. Tak jarang mereka mencari kebahagiaan bersama sekelompok orang dengan pemikiran yang tak jauh dari materi dan kesenangan duniawi.

Kartini, dengan kejujuran pada level paling tinggi aku ingin mengatakan bahwa aku merindukanmu. Sudah lama sekali kau menghilang dari hadapanku padahal biasanya aku tak pernah absen mengikuti perkembangan ide-idemu. Aku ingin bergaul lagi denganmu, juga dengan sahabat-sahabatmu seperti Nyonya Ovink Soer, Nona Estele Zechandelaar dan Nyonya Abendanon yang begitu menginspirasi. Kini aku sedang mengumpulkan gadis-gadis untuk mendukung pemikiranmu, membuat suatu ruang inkubasi untuk menciptakan tentara-tentara Kartini baru, yang nantinya akan melestarikan pemikiranmu tentang wanita, tentang perjuangan dalam mencapai kesetaraan, tentang bagaimana melindungi martabat wanita sebagai manusia yang tak hanya punya rasa tapi juga punya kuasa.

Bukan tanpa sengaja aku berpemikiran demikian melainkan aku teringat oleh tuturanmu “akan datang juga kiranya keadaan baru dalam dunia Bumiputera, kalau bukan oleh karena kami tentu oleh karena orang lain”. Masih kuingat juga kalimat syahdu yang kau ucapkan, “habislah malam datanglah terang, habis topan datanglah reda, habis perang datanglah menang, habis duka datanglah suka”. Aku berharap suatu saat akan muncul Kartini-kartini baru yang mungkin lebih hebat darimu. Semoga itu tak hanya harapan semu, tapi bisa terlaksana meski harus melewati jalan bebatuan yang berliku.

Melalui sosokmu aku mengambil suatu pelajaran bahwa gadis-gadis sekarang harus pandai membaca, kritis terhadap segala hal. Ia harus bisa menjadi seperti dirimu yang mampu mendekonstruksi kesenjangan budaya, bukan malah terhanyut dalam penjara yang dibuatnya sendiri. Kartini masa kini memang tidak harus berkebaya, tapi harus berbudaya. Kartini masa kini hendaknya bersikap sederhana tapi punya pemikiran yang gemilang luar biasa, bukan malah menjadi sosialita minim idea.

Salam hangat,
Dari sahabat ideologismu yang menyayangi dan merinduimu.

                               (PS: surat ini ditulis dalam rangka UTS mata kuliah Penulisan Kreatif 2017, ehe).
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Kembalikan masa kanak-kanak kami wahai semesta.
Kami jengah menjadi dewasa sebab terlalu banyak hiperrealita yang diproduksi disana.

Segala yang besar dimulai dari hal-hal kecil. Begitu pula manusia. Tak ada manusia yang tiba-tiba menjadi dewasa tanpa pernah menjadi anak-anak. Kebiasaan-kebiasaan manusia mulai dikonstruksi pada masa ini. Watak dan kepribadian juga mulai dipupuk dan dibentuk. Pada tingkatan tertentu, anak adalah produk dari orang tua. Jika orang tua punya metode yang apik, maka produknya akan unggul. Namun jika orang tua tidak mampu merumuskan cara yang tepat, maka produknya akan cenderung gagal.
Orang tua yang berhasil membentuk kenangan indah pada sang anak adalah orang tua-orang tua yang hebat, setidaknya itulah yang aku rasakan. Tidak hanya orang tua saja yang berperan, tapi juga keluarga dan sahabat. Tanpa peran mereka semua “aku” tak akan pernah menjadi “aku”.
Ketika aku merindukan masa kecilku, aku mencari cara untuk membawaku kembali pada kenangan-kenangan beberapa tahun silam. Setidak-tidaknya ada beberapa peristiwa yang berhasil membawaku kembali pada ingatan tersebut, yaitu:

1.  Rumah kontrakan dan cerita tentang Mbak Saroh
Rumahku ada dua lantai, lantai pertama sengaja dikontrakkan untuk menambah penghasilan orang tua. Salah satu yang sempat menyewa disana adalah keluarga penjual sate dari Madura. Salah satu nama dari anak penjual sate tersebut adalah Mbak Saroh. Karena ibuku setiap hari harus membantu ayah di kantin (dari pagi hingga sore) maka aku sering sekali dititipkan ke Mbak Saroh. Ia adalah wanita yang sudah setengah baya tapi belum menikah saat itu.
Aku yang saat itu masih bersekolah TK sering menangis dan kesal karena merasa tidak diperlakukan dengan baik oleh Mbak Saroh. Ia tidak melakukan KDRT, tentu tidak. Yang membuatku kesal adalah ketika buang air besar, aku dicebokin pakai kaki, dan ugh kaki Mbak Saroh kasar sehingga kadang aku sedih dan meratap “kemana ibuku?”. Tapi selain kejadian itu sungguh Mbak Saroh orang yang sabar dan top markotop sebagai babysitter yang notabene gratisan.


Gambar 1. Aku dalam gendongan Ibu dan penampakan lantai satu tempat kontrakan Mbak Saroh dan keluarganya

2.  Tiap hari jajan bakso
Aku tidak dibesarkan dalam lingkungan yang berlimpah materi, tapi aku mendapatkan banyak kasih sayang orang tua, baik ayah atau pun ibu. Ayahku adalah wirausahawan. Beliau berjualan makanan dan minuman, mulai dari bakso, mie pangsit hingga es doger; mulai dari berjualan di kantin hingga keliling. Tapi bagiku yang paling favorit dari sekian dagangannya adalah bakso. Rasa baksonya sangat khas, dagingnya padat dan kenyal karena tidak banyak campuran ayamnya (tidak seperti bakso jaman sekarang). Selain itu kuahnya juga segar. Banyak sekali pelanggan ayah yang bahkan sampai membeli ke rumah, tidak cukup hanya membeli di kantin dan jualan keliling.
Aku masih ingat kenakalanku ketika mencuri pentol dagangan ayah, lalu ibu menyergapku dan memukul lenganku pelan. “Jangan dimakan terus, nanti ayah jualan apa?”. Aku hanya nyengir dan membawa lari hasil curian itu. Masih terbayang ingatan tersebut, meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Namun semenjak ayah meninggal, aku tidak pernah menemukan rasa bakso yang otentik seperti masakan beliau. Ayahku sungguh koki yang handal!

3.  Barbie dan kecantikan plastik
Aku dan kakakku gemar bermain barbie. Ibu membelikan kami Barbie agar kami tak ketinggalan jaman. Tapi jangan bayangkan Barbie tersebut adalah Barbie mahal dengan kualitas wahid. Tidak. Barbie yang diberikan pada kami adalah Barbie yang bahkan tangannya tidak bisa ditekuk (alias tidak punya persendian). Alhasil, Barbie itu hanya bisa berdiri saja, tegak seperti tentara. Tapi kami sangat senang, apalagi ketika mencium bau plastiknya. Seolah ada sensasi tersendiri yang membuat kami bangga. “Hmmm, akhirnya kami punya mainan baru seperti teman-teman”.
Selisih aku dan kakakku (namanya Ari) lumayan jauh, sekitar 6 tahun. Tapi karena Barbie, kami bisa begitu dekat satu sama lain. Dulu kami sampai membuatkan baju sendiri karena kami tidak sanggup membeli baju Barbie yang mahal. Untunglah kakakku sangat kreatif. Diambilnya kain perca tetangga (yang memang seorang penjahit), lalu dibuatnya sepasang baju; kadang kaos, kadang jaket, kadang rok dan bahkan gaun.
Saat itu rasanya aku ingin menjadi seperti Barbie, yang cantik dan anggun, yang punya banyak koleksi baju (meski hanya dari kain perca). Kecantikan plastik dari Barbie seolah membiusku untuk menjadi boneka. Ah, andai saja aku tahu bahwa aku dihegemoni, bahwa itu semua hadir akibat tuntutan kapitalis, maka sudah tentu aku akan mencari mainan lain; mungkin bekel maupun gundu. Tapi sayangnya hatiku tertambat pada Barbie. Sial.


Gambar 2. Aku (kiri) dan kakakku (kanan), kami dekat karena Barbie.

4.  Minggat dari rumah
Satu yang selalu ingin aku tertawai dari masa kecilku adalah sifat temperamenku. Ketika marah aku akan melakukan hal yang menakutkan, mulai dari membanting piring, manjatuhkan kursi plastik dari tangga, hingga “minggat” dari rumah. Sepertinya aku benar-benar mengilhami adegan minggat yang ada di sinetron. Ketika marah aku akan mengambil jarik (selendang) lalu memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya. Aku semakin mendramatisirnya dengan berteriak “aku minggat, aku nggak akan kembali”, tapi ujung-ujungnya setelah melewati beberapa rumah tetangga, aku kembali ke rumah dan mendapati ibuku tertawa terbahak-bahak. “Kate minggat nandi nduk?”, tanya ibu sambil mulai merapikan baju dan selendangku. Dari kenangan itu aku mulai belajar bahwa aku orang yang cukup agresif tetapi juga ekspresif dan punya kepercayaan diri yang tinggi. Foto di bawah ini menjadi bukti bahwa aku adalah seorang anak yang “endel” dan pede.


Gambar 3. Digna kecil dan rasa percaya dirinya yang tinggi

5.  Lomba gerak dan sholawat
Aku patut berterima kasih kepada ibu karena atas beliaulah aku mengenal seni, mulai dari menyanyi, menari, hingga bersholawat. Tanpa ibu aku tak akan mampu menemukan bakatku. Ibu juga lah orang yang mengatakan bahwa “kamu bisa nak”, sehingga aku mampu berdiri dengan kepercayaan diri yang penuh di hadapan juri dan penonton mewakili TPQ Darunnajah (tempatku mengaji dulu). Aku lupa apakah aku dan teman-teman berhasil memenangkan perlombaan itu atau tidak, tapi satu yang aku kenang dari perlombaan itu adalah bahwa aku telah berani menunjukkan bahwa aku eksis. Terima kasih kuhaturkan kepada ibu, yang telah membuat anak gadisnya eksis sejak umur 6 tahun. Ya, saat itu umurku 6 tahun tapi aku berada di garda depan (alias jadi penyanyi) di antara teman-temanku yang umurnya jauh lebih tua (yang hanya jadi penari latar).


Gambar 4. Gerak dan sholawat: aku (tengah) dan teman-teman dalam busana muslim.

     6.  Lomba puisi
Aku mulai merasa agak dewasa ketika berumur 12 tahun. Jika dulu aku selalu “dipaksa” ibu untuk mengikuti banyak perlombaan (mulai dari menyanyi, menari, membaca puisi, gerak sholawat, baca Al-Qur’an hingga olimpiade), maka ketika menjelang tahun-tahun terakhir Sekolah Dasar aku perlahan menyadari bahwa sebenarnya aku punya banyak bakat, hanya saja aku tidak mampu mengeksplorasi bakat tersebut. Bakat yang tidak dipupuk akan selamanya hanya menjadi potensi. Tapi jika bakat itu dilatih terus menerus, maka bukan tidak mungkin potensi itu akan berkembang menjadi prestasi.
Tak hanya orang tua yang turut mendukung, tetapi juga kakak dan guru-guru. Aku ingat ketika guru-guruku berebut mengantarkan aku lomba (saat itu lomba puisi, aku mendapat juara 1 tingkat Kabupaten Sidoarjo). Aku merasa menjadi primadona kala itu karena menjadi rebutan banyak guru. Tapi pada akhirnya aku menyadari kalau motif guru-guru itu semata demi meraih sertifikasi (semoga ini hanya prasangkaku saja). Sempat kesal, sangat kesal. Tapi buat apa juga bermuram durja, toh semua mendapat untung. Ketika aku mendapat juara maka aku mendapat sertifikat, demikian juga guru yang melatih dan menemani selama kegiatan berlangsung. Tapi tolong pak, bu, mbok ya jangan semata karena sertifikasi saja.


 Gambar 5. Aku (tengah), kakakku (baju putih) dan ketiga guru yang mengantarku
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Rabu ini aku mendapat lima panggilan tak terjawab dan dua pesan singkat dari ibu. Menurutku itu cukup mengagetkan. Sebab, panggilan dan pesan tersebut kuterima hanya berselang sekitar 20 menit setelah aku berpamitan untuk berangkat kuliah. Tumben sekali, pikirku. Dengan agak malas-malasan karena baru saja sampai di kampus, aku membuka pesan itu. Dua-duanya isinya sama: “piye, pulsane wes mlebu”? Tadi pagi memang aku minta tolong ibu untuk membelikan pulsa karena toko pulsa masih tutup ketika itu. Aku tertawa kecil, lalu segera kubalas “sampun buk”. Walah, ternyata hanya perkara pulsa, to? Gitu aja sampai sampai missed-call lima kali, padahal biasanya ibu cuek-cuek saja.

Aku membuka lembaran-lembaran kertas kuliah sambil sesekali mengecek telepon genggam, Hari itu rencananya ada kuliah tambahan untuk pengganti minggu lalu. Aku menunggu kepastian ruangan dan dosen pengajarnya. Tak berselang lama, teman-teman mengabarkan bahwa kelas pengganti dibatalkan karena dosen yang bersangkutan tidak dapat hadir. Terpaksa kelas diganti lagi minggu depan. Yah, padahal sudah sampai kampus.

Dengan malas-malasan aku menuju ke perpustakaan. Meski jadwal kuliah pengganti ditiadakan, aku masih punya agenda untuk berdiskusi terkait materi presentasi esok hari. Lama sekali aku menunggu teman-teman yang lain, mereka ngaret sekali. Satu per satu akhirnya mereka datang, barulah diskusi dimulai. Kami membahas mengenai topik yang sangat menarik: what do the media do to us, yaitu tentang efek dan pengaruh media kepada audiensnya.

Kami bercerita banyak mengenai pengalaman mereka mengenai apa yang mereka lihat serta cara bagaimana mereka menilai tayangan tersebut. Ada yang pro, ada yang kontra. Dahi kami mengernyit sejenak, berusaha memahami ide-ide yang ditawarkan oleh buku tersebut. Suhu ruangan semakin meningkat. Sesekali aku mengipasi wajahku dengan lembaran kertas yang kubawa, begitu pula teman-teman. Diskusi berlanjut makin seru dengan tema yang masih sama. Aku menggarisbawahi istilah-istilah penting pada lembaran itu dan mulai memberi catatan di sana-sini pada ruang yang masih kosong. Diskusi diakhiri dengan pembagian tugas membuat catatan pada Ms. Power Point, lengkap dengan deadline pengumpulan sementara.

Punggungku mulai kaku, aku menggerakkan ke kanan dan ke kiri agar rileks sambil mengecek telepon genggam barangkali ada pesan atau panggilan masuk. Dan benar, ada pesan dari ibu. “Pesan apa lagi?”, aku mulai mengira-ngira. Ternyata ibu memintaku untuk mampir ke apotik membeli obat asam urat dan darah tinggi. Aku tak membalas pesan ibu, aku hanya menganggung tanda paham. Aku segera beranjak keluar dari perpustakaan dan bergegas pulang. Sebelum sampai rumah, aku mampir ke apotik.

Sesampainya di rumah, seperti biasa aku masuk ke rumah dan mengecek keadaan ibu. Ibu berada di dalam kamar, sementara televisi masih menyala di ruang tamu. “Tadi kenapa ibu sampe missed-call lima kali? Cuma gara-gara pulsa? Lebay banget”, aku berseloroh sambil melepas jaket dan sepatu. Beliau menyambutku dengan bercerita. “Tadi pagi ibu dengerin Suara surabaya, katanya ada berita kecelakaan di deket warung masakan padang”, ibu memulai. “Korbannya perempuan, berkerudung, sepeda motornya Beat. Perasaan ibu udah campur aduk nggak karuan, khawatir kamu kenapa-kenapa. Apalagi tadi kamu masih di perjalanan”, lanjut ibu. “Ohh jadi itu yang bikin ibu nelpon aku tadi? Kan yang pake sepeda motor Beat banyak bu, nggak cuman aku”, aku menjawab.

“Ya tapi tetep aja ibu khawatir nduk. Darah ibu langsung naik, asam urat ibu langsung kumat. Ibu jadi ndak nafsu makan, selera makan ibu langsung hilang. Ibu baru makan setelah dapet balesan sms dari kamu tadi.” Ucap ibu sambil membersihkan debu yang ada di tepi kasur. “Ciri-cirinya tadi apa aja bu selain perempuan, berkerudung, dan naik sepeda motor Beat?” aku bertanya kepada ibu. “Nggak tau, tadi langsung ibu matiin radionya, ibu takut tambah stres. Udah sendirian di rumah, sekalinya mau nyari hiburan malah denger berita kecelakaan. Sumpek. Makanya tadi ibu langsung telpon dan sms kamu”, ibu menjawab panjang kali lebar kali tinggi.

“Lhoalah, kalo gitu kenapa tadi ibu nggak bilang jujur aja di sms, malah nanyain pulsanya udah masuk apa belum. Kalo aku tadi nggak bales, gimana hayo?” godaku. “Hahaha, udah udah nggak usah terlalu dipikirin bu. Aku kalo naik sepeda motor insyaallah taat aturan kok. Mendingan sekarang ibu istirahat aja, katanya darah tingi ibu kumat”, lanjutku sambil merogoh obat yang barusan kubeli di apotik, segera kuminta ibu meminumnya.

“Yowes embuh, pokoknya kamu sekarang sudah pulang. Kamu bisa ngomong gitu karena kamu belum tahu rasanya jadi ibu”, ucap ibu dengan nada agak sinis. Aku terkekeh-kekeh dalam hati karena telah berhasil membuat ibu kesal. Tapi harus aku akui kalau aku masih memikirkan kata-kata ibu yang terakhir “kamu belum tahu rasanya jadi ibu”.


Suatu saat aku mungkin akan tahu rasanya. Suatu saat aku pasti akan tahu rasa.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Bagi sebagian besar orang, malam tahun baru adalah sesuatu yang harus dirayakan. Biasanya perayaan tersebut identik dengan petasan dan terompet yang bunyinya memekakkan telinga. Ugh! Inilah yang saya rasakan tadi malam (re: 31 Desember 2016), telinga saya pekak dengan bunyi-bunyian terompet yang suaranya menyerupai klakson truk gandeng. Semalam jantung saya juga beberapa kali mau copot mendengar bunyi petasan yang suaranya lebih mirip seperti seperti bom. And i’m just like...ini lama-lama kayak di Suriah,ya? Orang-orang menyambut tahun baru dengan bangga dan suka cita, sementara saya hanya berdiam di rumah. Apa karena jomblo tidak ada yang mengajak saya untuk pergi merayakannya? Sebenarnya banyak tawaran tahun baruan di luar rumah, tapi saya sengaja memilih untuk stay at home menemani ibu terkasih. #surgaditelapakkakiibu #yeah.

Entah kenapa antusias saya begitu rendah untuk turut serta melakukan selebrasi macam demikian. For me myself, i don’t like to stay in the crowd, like what people do. Saya tidak suka berada lama-lama dalam keramaian hanya untuk berkumpul menantikan detik-detik menuju 00:00. Kemudian membunyikan terompet sekeras-kerasnya, menyalakan petasan sebanyak-banyaknya. Kalau sudah demikian, what’s next? Apa itu lantas membuat 2017 kita akan lebih baik? Nggak mesti, kan? Yang pasti adalah buang-buang uang dan.... it such a wasting time, isn’t it?

Mungkin banyak yang tidak setuju dan tetap bersikukuh bahwa perayaan tahun baru adalah annual ritus yang sayang sekali jika ditinggalkan. Tentu saja saya setuju jika ngana sekalian bisa memberi minimal 3 saja manfaat positif dari ritual tersebut. I try a lot to find what’s the matter of that celebration but i got nothing but the trait of being hedon a.k.a bermegah-megahan. Tentu saja saya sebelumnya mengikuti tradisi hingga suatu waktu saya dipertemukan dengan Q.S At-Takasur, surat ke 102 dalam Al-Qur’an. Salah satu ayat favorit saya adalah ayat 8 yang intinya adalah: setiap orang yang bermegah-megahan di dunia wajib untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka nanti. Bagi yang masa bodo dengan kitab yang satu ini, saya tidak memaksa Anda untuk tiba-tiba jadi relijius. Saya ndak maksa loh ya, saya cuma mau sharing ayat favorit saya. Ngehehe.

Pun, yang menjadi salah satu alasan mengapa saya tidak sebegitu antusias dengan perayaan demikian adalah karena keluarga saya hampir-hampir tidak punya kebiasaan untuk melakukan hal demikian. Percayalah bahwa keluarga saya lebih senang untuk berbincang santai di rumah daripada menghambakan diri pada kemacetan jalan saat malam tahun baru. Dan menurut saya itu adalah kultur yang luar biasa. Di saat anak-anak lain dibesarkan dengan kultur merajuk-rajuk ke ayah dan ibu mereka untuk liburan tahun baru, saya justru dibesarkan dalam keluarga yang anti tesis terhadap kultur tersebut. Satu-satunya ritual tahun baru yang selalu kami lakukan adalah naik ke lantai dua (balkon) dan melihat mercon-mercon berkeliaran di langit sambil berseloroh, “bakar aja terus uangmu, haha”. (Sarkas amat dah). Selepas kebisingan itu berakhir, kami kembali turun dan melanjutkan perbincangan, atau kalau tidak kami langsung menuju kamar masing-masing untuk tidur. Begitu, ya memang begitu. Pokoknya, hampir tidak ada pesta-pesta di rumah saya.

Ulang tahun pun juga demikian. Tidak ada kue ulang tahun, lilin, dan balon-balon gemuk yang ditempelkan di dinding. Tidak seperti keluarga lain yang kalau nggak ada pesta berarti mama nggak sayang sama aku wkwkwk, di keluarga saya ketika ada yang berulang tahun cukup saling mendoakan saja satu sama lain. Ulang tahun tidak dimaknai sebagai perayaan megah dan wajib, itu semua tak lebih dari sekedar mengingat bahwa pada hari ini saya dilahirkan dan diberkahi, lalu seiring dengan bertambahnya usia, saya harus tumbuh menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain. Udah, beres. Tidak ada kue-kue mahal dan lilin sebagai simbolisasinya. Alasannya sederhana, sebab itu semua cuma buang-buang duit, mending ditabung uangnya nak, bulan ini sudah servis motor belum?. Selalu dan selalu, ibu saya mengarahkan kepada hal-hal yang lebih prioritas.

Sementara saya sendiri mengetahui bahwa perayaan tiup lilin adalah ritual orang-orang Pagan yang jahil, dimana mereka meniup lilin sebagai wujud rasa terima kasih atas musim dingin yang masih membiarkan mereka untuk hidup di saat teman-teman lainnya mati karena kedinginan. Saya hanya tidak ingin menyerupai mereka, itu saja. Kalau ada yang masih keukeuh mau tiup lilin ya ngga apa-apa, asal lilinnya dipake tahun depannya lagi biar nggak numpuk jadi sampah, ya?

Mari move on dari ritual-ritual tersebut dan membahas mengenai rencana 2017 yang baru saja kita injak garis start-nya hari ini. Membahas mengenai resolusi 2017, tentu ini sangat berhubungan dengan kebutuhan masing-masing orang. Ada yang ingin lebih gemuk, misalnya. Di sisi lain ada yang ingin berat badannya turun drastis. Nah, bagaimana dengan resolusi kalian? Apakah melanjutkan resolusi 2016, atau membuat terobosan baru? It’s all up to you. Kalau saya sih kombinasi, sebagian meneruskan resolusi yang belum terlaksana dan sebagian lagi membuat terobosan baru.

Tidak afdhol rasnya kalau membahasa resolusi tanpa membahasa terlebih dahulu mengenai pencapaian di tahun 2016. Tidak banyak pencapaian saya yang berarti di tahun 2016, tapi saya akan tetap saling berbagi. Tahun 2016 adalah tahun teraktif bagi saya ikut di suatu organisasi, mulai dari organisasi di dalam kampus, di luar kampus, sampai membuat organisasi sendiri. Selain itu saya juga mulai rajin mengisi blog dengan berbagai macam konten, mulai dari yang berfaedah sampai yang tidak layak baca. Selain menulis, di tahun 2016 saya senang belajar bahasa, mulai dari bahasa Inggris, Deutsch, French, hingga Hangul (Korea). Jangan berpikir bahwa saya menyewa guru dengan bayaran yang mahal dari suatu institusi, saya cuma belajar lewat Youtube. Itu pun dengan kuota 4G gratis. *nyengir*.

Satu lagi pencapaian saya di tahun ini yang patut disyukuri adalah kuat dalam menjalani hubungan LDR, saya diberikan hidayah untuk kembali belajar tentang agama, tentunya dengan pendasaran yang logis. Subhanallah ya ukhti. #eakkk. Tidak mudah rek ternyata belajar agama di zaman akhir seperti ini, banyaaaak banget godaannya mulai dari rasa malas dan tugas-tugas yang semua minta diprioritaskan secara bebarengan. Tapi tetap harus belajar ngaji, agar kehidupan spiritual dan kehidupan duniawi tidak bertepuk sebelah tangan kayak cintaku ke Joongki oppa.

Sementara untuk tahun 2017 banyaaaak sekali yang ingin saya lakukan. Di antaranya adalah ingin semakin rajin menulis dan membaca, juga meningkatkan kemampuan speaking English dan MC-ing (banyak yang bilang kalau saya punya bakat ngoceh di atas rata-rata), lebih banyak ikut lomba untuk menambah pengalaman, ingin ke luar negeri juga dan masih banyaaaaak lagi keinginan di tahun 2017 (yang sejauh ini masih rencana). Tapi sekali-kali manusia berencana, tetaplah Dia yang menentukan, bukan? Akhir kata, semoga semua keinginan bisa tercapai di tahun 2017 tanpa meninggalkan esensi dari prosesnya.

Itu resolusiku. Apa resolusimu?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Percaya atau tidak, kita adalah wartawan bagi diri kita sendiri. Hal ini menyangkut berbagai macam aspek kehidupan mulai dari ekonomi, sosial, politik dan agama yang sejatinya saling berkesinambungan. Dari segi ekonomi misalnya, kita bertanya pada diri kita terkait apa-apa saja yang ingin kita beli. Ada beberapa opsi, yaitu melakukan pembelian dengan perencanaan yang matang ataupun melakukan pembelian secara spontan. Misalnya, apabila ingin membeli sarapan (buat anak kos nih), ada yang udah berencana beli ayam goreng tapi ada pula yang yaudah lah adanya apa, ya itu yang gue beli.
Dalam konteks Indonesia, ini mungkin bukan persoalan yang memusingkan. Namun, bagaimana dengan konteks luar negeri? Atau pun jika di dalam negeri, bagaimana jika kita termasuk minoritas? Apakah semudah itu menemukan makanan  yang sesuai dengan apa yang kita inginkan seharusnya makan?
Kita ambil contoh orang Hindu yang kalo ngga salah nggak boleh makan sapi. Boro-boro makan rendang (yang terbuat dari daging sapi asli pilihan dan diolah oleh mamak dengan penuh cinta kasih), mau beli pentol aja mereka harus berpikir dua kali, jangan-jangan itu dibuat dari daging sapi. Hal ini benar-benar terjadi kepada seorang teman yang beragama Hindu. Sebut saja namanya Ni Putu (karena emang namanya Ni Putu). Waktu itu seusai belajar bersama di rumah seorang teman (ciye belajar), kebetulan ada abang jualan pentol lewat. Om pentol om. Kami kemudian memutuskan untuk membeli. Tentu saja tidak ada masalah bagi teman-teman non-Hindu, tapi ternyata tidak bagi Ni Putu. Disaat kami sudah menimbang dan memutuskan porsi untuk pentol, tahu dan siomay yang akan dimasukkan ke plastik berukuran tanggung warna putih, wajah Ni Putu tiba-tiba kurang bersemangat. Ia kemudian melontarkan satu pertanyaan yang mungkin menjadi salah satu dari unfamiliar question kepada abang penjual pentol: ini terbuat dari sapi, bang?, tanya Ni Putu. Suasana sempat freeze sejenak, termasuk kami (terutama saya). Ini benar-benar pertanyaan yang jarang diberikan oleh (calon) pembeli pentol kojek. Dengan agak tidak yakin si abang menjawab, iya neng ini dari daging sapi. Betapa semakin kuyu wajah Ni Putu mendengar jawaban penjual pentol tersebut. Ya sudah bang saya engga jadi beli, ucapnya dengan senyum kecut. Ia lantas meletakkan kembali plastik putih yang sudah sempat ia ambil.
Saya masih ingat betul reaksi saya pada waktu itu. Saya ingin memberitahu Ni Putu bahwa omg nonsense banget kalo pentol kojek seratusan gini terbuat dari daging sapi, paling banter juga daging ayam, namun tentu itu hanya berhenti pada tataran pikiran. Sebab, selain tidak ingin melukai harkat dan martabat sang penjual, saya juga tidak ingin mengobrak-abrik sistem kepercayaan yang sudah dianut semenjak lahir oleh teman saya ini. Mungkin dia ingin menjadi Hindu sejati dengan mematuhi nilai-nilai yang diharapkan oleh agama padanya. Seringkali, minoritas memang butuh kesabaran ekstra, seperti Ni Putu yang hanya bisa menelan ludah ketika melihat teman-teman lainnya melahap pentol seplastik gede. Sementara, si abang pentol tampaknya masih tak mengerti dengan apa yang terjadi hingga seorang teman akhirnya ambil suara, teman saya ini Hindu, bang. Engga boleh makan sapi. Si penjual pentol hanya mengangguk pelan. Sepertinya ia sedikit menyesal karena telah kehilangan satu pembeli. Meski nampak kecewa, tapi ya sudahlah.
Hal serupa juga dialami oleh teman saya yang lain ketika pergi ke Korea Selatan untuk audisi girlband mengikuti acara semi-akademik. Dia seorang wanita muslim dan berhijab (dan kpopers). Usai rampung mengikuti acara dan pulang ke Indonesia, ia dengan bersemangat menceritakan apa saja yang ia alami di sana, mulai dari udara dingin yang membuatnya menggigil (suhu di bawah nol derajat), melihat orang mabuk tidur di pinggir jalan, ketemu artis yang sedang melakukan shooting, hingga salah naik kereta dan akhirnya ketinggalan pesawat. Ia juga menceritakan betapa rasisnya orang Korea melihat wanita berhijab di tempat umum, juga susahnya mencari makanan yang tidak mengandung babi.
Lu tau ya, gue disana ngga sengaja makan mandu yang ternyata itu terbuat dari babi. Gue sedih banget, rasanya pingin nangis di tempat. Tapi apa daya, mandunya juga udah gue telen. Enak sih, tapi babi., ucapnya. Abis gue nyesel, akhirnya gue lebih selektif lagi pilih makanan. Pas di supermarket kan gue beli ramyun, nah gue pesen ke abang yang jual pokoknya gue beli ramyun yang no pork. No pork oppa, jebal (no pork sir, please). Dan lu tau kaga, ternyata dari sekian banyak ramyun yang di display di supermarket, cuma 2 yang ngga ada babinya. Cuma 2 cuy. Semuanya mengandung babi termasuk ramyun-ramyun yang dijual di Indonesia, tambahnya dengan ekspresi agak melotot. Saya cuma bisa manggut-manggut.
Mulanya saya belum dapat menarik kesimpulan dari kedua cerita tersebut. Namun lama-kelamaan saya menyadari bahwa mereka berdua sejatinya adalah seorang wartawan bagi diri mereka. Mereka bertanya kepada diri mereka sendiri: mengapa mereka tidak boleh memakan makanan dari jenis tertentu dan apa yang membuat mereka mematuhi aturan tersebut. Dari dua pertanyaan itu setidaknya saya mendapatan sebuah kesimpulan general bahwa mereka adalah bagian dari golongan tertentu dan mereka ingin tetap menjadi bagian dari golongan itu. Ya, ini adalah tentang identitas, di mana sesuai dengan sabda Rasulullah yang berbunyi: Barangsiapa yang meniru satu kaum, maka dia termasuk golongan mereka. (HR. Abu Dawud).
Dalam dunia sosial pun juga demikian. Ada tipe orang yang talkative dan mudah beradaptasi, sementara yang lain tidak. Fenomena ini benar-benar mudah dilihat, terutama di era semenjak munculnya media sosial seperti Facebook dan Instagram, juga instant messenger seperti LINE dan Whatsapp. Tidak sedikit dari mereka yang suka ngoceh tiada henti, hingga berujung pada bergunjing alias rasan-rasan. Rasan-rasan kini tidak saja hadir dalam bentuk tulisan, tapi juga gambar dan video. Persoalan trivial di Instagram seperti eh si A putus loh sama si B atau aduh anak ini sekarang lho suka ngeshare video-video politik hoax seolah tidak asing lagi di telinga kita. Satu pelajaran yang bisa dipetik dari fenomena ini adalah tentang bagaimana menempatkan diri dalam pergaulan. Kesadaran untuk menekan ego tidak semata-mata untuk menghindari diri kita agar tidak dicap sebagai tukang nyampah, tetapi juga untuk menghindari fitnah yang bisa ditimbulkan lewat kejadian tersebut. Dari sini kita kembali mempertanyakan kepada diri kita sendiri, sebenarnya siapa kita dan mengapa kita harus melakukan pembatasan ego ketika bergaul?
Tidak hanya pembatasan dari segi substansi yang dibicarakan saja, tapi ternyata ada pembatasan lain yang dialamatkan kepada golongan-golongan. Di dalam Islam misalnya, adalah suatu kewajiban bagi wanita untuk menutup aurat, yang tentu saja diimbangi dengan kewajiban pria dalam menundukkan pandangannya. (Lihat QS. An-Nur: 30-31). Ada pula aturan-aturan mengenai toleransi dan bagaimana batasannya dengan akidah, yang sering kali memicu timbulnya pergesekan sosial. Pergesekan ini utamanya terjadi pada negara dengan tingkat heterogenitas tinggi seperti Indonesia. Kemudian, apakah benar aturan dan pembatasan tersebut hanya perihal semu dan palsu, atau justru merupakan sesuatu yang sejatinya melindungi, pertanyaan tersebut (lagi-lagi) ditanyakan oleh diri kita sebagai seorang wartawan dan hanya diri kita sendiri yang akhirnya sanggup menjawab.
Pada akhirnya, kita kembali berkontemplasi tentang siapa diri kita sebenarnya, bagaimana kita harus menjalani kehidupan sosial, kemana arah kehidupan kita seharusnya berjalan dan bagaimana akhir dari kehidupan tersebut. Dan sebaik-baik wartawan adalah yang berhasil merekam banyak informasi tentang diri mereka sendiri sebelum beranjak untuk mengenali orang lain.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Dia indah meretas gundah
Dia yang selama ini ku nanti
Pembawa sejuk, pemanja rasa
Dia yang selalu ada untukku
Di dekatnya aku lebih tenang
Bersamanya jalan lebih terang
Kau jiwa yang slalu aku puja.

Penggalan lirik lagu “Teman Hidup” dari Tulus sejenak mengingatkanku pada kenangan di mana aku dan seseorang (yang selanjutnya kusebut sebagai teman hidupku) pertama kali bertemu. Adakah dari kalian yang merasa deg-degan ketika pertama kali bertemu dengan seseorang? Kalau aku tidak deg-degan, tapi bingung. Kenapa bingung? Jawabannya adalah karena kita  bertemu pertama kali melalui Facebook, bukan bertemu di dunia nyata.

FACEBOOK
Pada 22 Mei 2016 kita pertama kali dipertemukan oleh takdir melalui pesan di Facebook. Kalau kalian mengira bahwa dia yang mengirim pesan duluan, kalian salah. Akulah yang pertama kali mengirim pesan padanya. Pesan kukirim dengan menggunakan bahasa inggris (nggak tau kenapa saya kemalan banget pake bahasa inggris segala), yang intinya adalah menanyakan “siapa kamu?” dan “dari mana kamu tahu akunku?”.

Ini berawal setelah dia mengirim permintaan pertemanan di Facebook. Aku mulai bertanya-tanya mengenai siapa dia. Segera aku melihat profil dan foto-foto yang ditampilkan. Tentu tidak semua informasi dapat kuakses karena saat itu aku belum memutuskan untuk menerima permintaan pertemanannya atau tidak. Namun sejauh kuamati dia berdasarkan apa yang terlihat melalui Facebook, sepertinya ia bukan orang biasa. Dia pernah berkuliah di Insititut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (alias ITS) sebagai mahasiswa yang mengambil jurusan geodesi. Ia juga pernah menjadi Kepala Departemen di organisasi yang ia ikuti (re: BEM). Mayan lah, kece.

Dia pernah ke Jepang dan ke Jerman, dua dari sekian negara yang sangat ingin aku kunjungi setidaknya sekali seumur hidupku. Aku tidak begitu tahu apa saja yang ia lakukan di Jepang. Dari foto yang terlihat, ia seperti melakukan semacam penelitan. Sepertinya ia senang sekali di sana. Sebab banyak sekali foto yang ia unggah, terutama berkaitan dengan tempat wisata. Salah satu tempat wisata yang dikunjungi adalah studio Doraemon. Sebagai penggemar  serial animasi Doraemon, tentu aku merasa gemas. “Kampret banget ini bocah udah foto-foto di sana. Siapa sih dia?”, pikirku.

Kegiatan stalking kembali berlanjut. Menurut informasi yang ia tampilkan di Facebook, saat ini ia sedang berkuliah di Jerman. Ia mengambil jurusan Earth Oriented Space Science Technology di Technische Universität München, Germany. Aku sempet bingung, sebenarnya dia tuh kuliah di ITS apa di Jerman? Tapi kok di foto-fotonya dia udah lulus? Kegiatan stalking berakhir dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab.  Karena sudah tidak sabar ingin mengetahui kebenarannya, maka aku segera menerima permintaan pertemanannya.

Namun aku tidak langsung mengiriminya pesan, aku menunggu beberapa hari barangkali dia yang menyapa duluan. Kan malu ya, masak cewek nyapa duluan. Tapi ternyata penantianku bertepuk sebelah tangan. Dia ternyata tak kunjung menyapaku. Akhirnya malam itu langsung saja aku kirimi dia pesan di Facebook. Aku mengirim dengan bahasa yang sopan dan baku. Tentu saja, karena dia adalah orang asing yang belum kukenal. Usai pesan terkirim, aku dengan harap-harap cemas menanti balasannya. “Kalo kaga dibales gua bakalan......”

Cengkling! Ternyata pesanku dibalas tak lama setelah aku mengirimnya. Terus terang darahku mengalir deras. Aku deg-degan. “Wih dibales!”. Ia membalas pesanku dengan menggunakan bahasa inggris pula, dengan penulisan dan bahasa yang tak kalah baku. Aku membalas pesannya dengan menanyakan mengenai beberapa kegelisahanku yang sebelumnya sempat tak terjawab. Usai mengobrol agak banyak, barulah aku baru tahu bahwa yang ia lakukan di Jerman adalah melanjutkan kuliah S2. Wih, lagi ngelanjutin S2? Yakin? Kenapa wajahnya masih imut nggak S2 banget? Nggak paham ane.

Aku semakin penasaran dengannya tapi rasa kantukku tak dapat diajak kompromi. Di sisi lain, aku tak mau obrolan ini berakhir. Dengan agak nggak punya malu malu-malu aku mencoba meminta id LINE-nya barangkali ia berkenan dan ternyata dia dengan senang hati memberinya. Ia sepertinya juga ingin mengobrol lebih lanjut denganku. Apakah ini pertanda bahwa dia..... ah lupakan.

LINE
Semenjak itulah kami berkenalan. Aku banyak bertanya mengenai pengalamannya di  Jepang dan Jerman, juga sesekali bertanya mengenai kehidupan pribadi dan organisasi. Aku juga menanyakan bagaimana dia bisa mengetahui akun Facebookku dan kemudian memutuskan untuk mengirim permintaan pertemanan. “Aku tau Facebookmu dari si X, dia temenku SMP. Aku mulai stalking Facebookmu. Menurutku kamu tidak hanya cantik tapi juga menarik”. #tratakdungcess

Obrolan yang awalnya kaku dan menggunakan bahasa baku perlahan mulai mencair. Dia memang bukan tipe orang yang heboh dan humoris, tapi sejauh ini ia cukup bisa menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan. Dia juga bertanya mengenai kehidupan kuliahku dan sesekali kehidupan pribadiku. Aku kagum padanya, dan semakin kagum setelah saling berbagi banyak cerita dan pengalaman. Oh ternyata dia dulu gini ya. Oh ternyata sekarang dia gini ya. Hingga aku menyadari bahwa sejak saat itu aku merasa bahwa ia adalah candu. #eakk

LDR (LOOOOONG DISTANCE RELATIONSHIP)
Semakin hari obrolan kami semakin menarik. Kami mendiskusikan berbagai macam hal, mulai dari yang receh hingga yang dollar serius. Sesekali ia berbicara dengan menggunakan bahasa Jerman (meski kadang dicampur sama bahasa Jawa wkwkwk), yang kusambut dengan jawaban “ajarin aku bahasa Jerman dong? Dulu aku pernah bisa, tapi sekarang udah lupa karena ngga sering dipakai”. Lambat laun aku merasa bahwa masing-masing dari kami saling menyukai, hingga suatu saat aku tak tahan untuk menanyakan mengenai pertanyaan klasik seperti “kamu suka sama aku? Kalau suka tembak dong wkwkwkwkwk”. “Iya, nanti kalau aku pulang ke Indonesia ya? Aku nggak mau berkomitmen kalau engga face to face”. Aku sempat ragu-ragu untuk melanjutkan ini, namun ketertarikanku padanya meluluhkan itu semua.

Menjalin hubungan jarak jauh bukan perkara mudah, tentu saja. Perbedaan ruang dan waktu (selisih 5 jam) dan juga sinyal yang sering tak bersahabat membuat kami terkadang kesulitan berkomunikasi. Bagaimana tidak? Ketika ia berkegiatan, aku beristirahat; ketika dia beristirahat, aku berkegiatan. Belum lagi kalo di timeline instagram ada yg lagi upload sama pasangannya ughhh kita cuma bisa melipir. Tapi sebenarnya itu tidak sepenuhnya benar, sebab yang tidak menjalin hubungan jarak jauh pun bisa merasa seperti jauh satu sama lain. “Ini semua tantangan, kita harus bisa melewatinya”. #pret

WE MEET
Setelah menjalin hubungan jarak jauh selama beberapa bulan, akhirnya kami bertemu. Kamu tahu rasanya seperti apa? Rasanya seperti feses jenis bedegelen yang baru saja dikeluarkan dari rektum. LEGA!! SENANG!! Like literally i’m frickin happy because he does exist in this world. Dia mengajakku jalan-jalan ke Malll untuk nonton berdua (kencan standar kok, rek). Sebelum itu ia mampir ke rumahku dan berpamitan dengan mamak. “Ibu, ini anaknya saya curi sebentar ya untuk diajak jalan-jalan”, ucapnya. Aku cuma nyengir lalu spontan memukul bahunya pelan.
Ia tidak disini untuk waktu yang lama, lebih tepatnya hanya satu bulan. Hanya satu bulan waktu yang ia punya untuk kembali ke Indonesia. Selepas itu ia akan kembali lagi melanjutkan tahun keduanya di Jerman. Satu bulan itu menjadi waktu yang amat berharga bagi kita yag tiap detiknya amat kita syukuri. “Kok kamu cuma disini sebulan doang?” “bersyukurlah, sebab temen-temenku yang lain aja ada yang 4 tahun nggak pulang ke Indonesia”.

AYAH, SAHABAT, KEKASIH
Meski perawakannya imut, sebenarnya dia amat dewasa. Perbedaan umur kami hanya 2 tahun (tentu dia lebih tua), namun aku merasa bahwa ia seperti seorang ayah yang menjaga anaknya. Ia tak henti memberi nasehat jika aku keluar dari jalur yang seharusnya, ia juga peduli terhadap kesehatanku. Aku merasa nyaman dan terlindungi bukan iklan asuransi. Aku belajar banyak darinya, dari kedewasaannya dalam berpikir dan bertindak. Di samping dewasa, ia juga pendengar yang baik. Di kala aku butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahku, dia adalah orang yang tepat. Layaknya seorang sahabat, dia memelukku ketika aku sedih, dan memotivasiku untuk bangkit kembali. He is the best bestfriend ever. Sedangkan sebagai seorang kekasih, ia memang bukan tipe laki-laki romantis (aku menyadari itu), namun aku tidak memaksanya untuk menjadi romantis dan suka gombal seperti cowok pada umumnya. I let him to be him, because he did the same to me.

FINALLY
Tulisan ini tidak dibuat untuk ajang pamer atau semacamnya. Tulisan ini dibuat agar setidaknya masing-masing dari kami tidak saling melupakan bahwa sebelum kami bertemu kami benar-benar hanya orang asing satu sama lain. Begitu pula sebaliknya, ketika kami sudah saling mengenal semoga tidak ada yang merasa saling asing satu sama lain.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Her aura is made of poetry, roses and sarcasm.

Follow Us

  • LinkedIn
  • Instagram
  • Facebook

Handcrafting

Go follow @bukakreasi on Instagram. Thx!

Blog Archive

  • ▼  2018 (1)
    • ▼  Oktober (1)
      • Kembara Jarak
  • ►  2017 (8)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2016 (15)
    • ►  Desember (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (5)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates