Kamu Belum Tahu Rasanya Jadi Ibu
Rabu ini aku mendapat lima panggilan tak terjawab dan dua pesan singkat dari ibu. Menurutku itu cukup mengagetkan. Sebab, panggilan dan pesan tersebut kuterima hanya berselang sekitar 20 menit setelah aku berpamitan untuk berangkat kuliah. Tumben sekali, pikirku. Dengan agak malas-malasan karena baru saja sampai di kampus, aku membuka pesan itu. Dua-duanya isinya sama: “piye, pulsane wes mlebu”? Tadi pagi memang aku minta tolong ibu untuk membelikan pulsa karena toko pulsa masih tutup ketika itu. Aku tertawa kecil, lalu segera kubalas “sampun buk”. Walah, ternyata hanya perkara pulsa, to? Gitu aja sampai sampai missed-call lima kali, padahal biasanya ibu cuek-cuek saja.
Aku membuka lembaran-lembaran kertas
kuliah sambil sesekali mengecek telepon genggam, Hari itu rencananya ada kuliah
tambahan untuk pengganti minggu lalu. Aku menunggu kepastian ruangan dan dosen
pengajarnya. Tak berselang lama, teman-teman mengabarkan bahwa kelas pengganti
dibatalkan karena dosen yang bersangkutan tidak dapat hadir. Terpaksa kelas
diganti lagi minggu depan. Yah, padahal sudah sampai kampus.
Dengan malas-malasan aku menuju ke
perpustakaan. Meski jadwal kuliah pengganti ditiadakan, aku masih punya agenda
untuk berdiskusi terkait materi presentasi esok hari. Lama sekali aku menunggu
teman-teman yang lain, mereka ngaret
sekali. Satu per satu akhirnya mereka datang, barulah diskusi dimulai. Kami
membahas mengenai topik yang sangat menarik: what do the media do to us, yaitu tentang efek dan pengaruh media kepada
audiensnya.
Kami bercerita banyak mengenai
pengalaman mereka mengenai apa yang mereka lihat serta cara bagaimana mereka
menilai tayangan tersebut. Ada yang pro, ada yang kontra. Dahi kami mengernyit sejenak,
berusaha memahami ide-ide yang ditawarkan oleh buku tersebut. Suhu ruangan
semakin meningkat. Sesekali aku mengipasi wajahku dengan lembaran kertas yang
kubawa, begitu pula teman-teman. Diskusi berlanjut makin seru dengan tema yang
masih sama. Aku menggarisbawahi istilah-istilah penting pada lembaran itu dan
mulai memberi catatan di sana-sini pada ruang yang masih kosong. Diskusi
diakhiri dengan pembagian tugas membuat catatan pada Ms. Power Point, lengkap
dengan deadline pengumpulan sementara.
Punggungku mulai kaku, aku menggerakkan
ke kanan dan ke kiri agar rileks sambil mengecek telepon genggam barangkali ada
pesan atau panggilan masuk. Dan benar, ada pesan dari ibu. “Pesan apa lagi?”, aku mulai mengira-ngira. Ternyata ibu memintaku
untuk mampir ke apotik membeli obat asam urat dan darah tinggi. Aku tak
membalas pesan ibu, aku hanya menganggung tanda paham. Aku segera beranjak
keluar dari perpustakaan dan bergegas pulang. Sebelum sampai rumah, aku mampir
ke apotik.
Sesampainya di rumah, seperti biasa aku
masuk ke rumah dan mengecek keadaan ibu. Ibu berada di dalam kamar, sementara
televisi masih menyala di ruang tamu. “Tadi
kenapa ibu sampe missed-call lima kali? Cuma gara-gara pulsa? Lebay banget”,
aku berseloroh sambil melepas jaket dan sepatu. Beliau menyambutku dengan
bercerita. “Tadi pagi ibu dengerin Suara
surabaya, katanya ada berita kecelakaan di deket warung masakan padang”,
ibu memulai. “Korbannya perempuan,
berkerudung, sepeda motornya Beat. Perasaan ibu udah campur aduk nggak karuan,
khawatir kamu kenapa-kenapa. Apalagi tadi kamu masih di perjalanan”, lanjut
ibu. “Ohh jadi itu yang bikin ibu nelpon
aku tadi? Kan yang pake sepeda motor Beat banyak bu, nggak cuman aku”, aku
menjawab.
“Ya
tapi tetep aja ibu khawatir nduk. Darah ibu langsung naik, asam urat ibu
langsung kumat. Ibu jadi ndak nafsu makan, selera makan ibu langsung hilang. Ibu
baru makan setelah dapet balesan sms dari kamu tadi.”
Ucap ibu sambil membersihkan debu yang ada di tepi kasur. “Ciri-cirinya tadi apa aja bu selain perempuan, berkerudung, dan naik
sepeda motor Beat?” aku bertanya kepada ibu. “Nggak tau, tadi langsung ibu matiin radionya, ibu takut tambah stres.
Udah sendirian di rumah, sekalinya mau nyari hiburan malah denger berita
kecelakaan. Sumpek. Makanya tadi ibu langsung telpon dan sms kamu”, ibu
menjawab panjang kali lebar kali tinggi.
“Lhoalah,
kalo gitu kenapa tadi ibu nggak bilang jujur aja di sms, malah nanyain pulsanya
udah masuk apa belum. Kalo aku tadi nggak bales, gimana hayo?” godaku.
“Hahaha, udah udah nggak usah terlalu
dipikirin bu. Aku kalo naik sepeda motor insyaallah taat aturan kok. Mendingan sekarang
ibu istirahat aja, katanya darah tingi ibu kumat”, lanjutku sambil merogoh
obat yang barusan kubeli di apotik, segera kuminta ibu meminumnya.
“Yowes
embuh, pokoknya kamu sekarang sudah pulang. Kamu bisa ngomong gitu karena kamu
belum tahu rasanya jadi ibu”, ucap ibu dengan nada
agak sinis. Aku terkekeh-kekeh dalam hati karena telah berhasil membuat ibu
kesal. Tapi harus aku akui kalau aku masih memikirkan kata-kata ibu yang
terakhir “kamu belum tahu rasanya jadi
ibu”.
Suatu saat aku mungkin akan tahu
rasanya. Suatu saat aku pasti akan tahu rasa.
0 komentar