Surat Balasan Untuk Kartini
Kartini Jangan
Kurang Baca, Kartini Jangan Kurang Tamasya
Maaf
aku baru sempat mengirimkan balasan atas suratmu, Kartini. Meski sudah berabad
jarak kita terpisah, aku berharap semoga kau masih setia menunggu jawabanku. Kau
tidak marah, kan? Jujur saja aku
terlalu sibuk mengamati “keajaiban-keajaiban” yang terjadi di dunia semenjak
kepergianmu, mulai dari yang trivial hingga yang krusial. Sebentar lagi akan kuceriterakan
padamu.
Tahukah
kau, Kartini, bahwa tak ada yang lebih pedih ketimbang mengetahui fakta
gadis-gadis sekarang yang kian hari kian bodoh. Mereka bertanya sebelum
membaca, namun tak menggubris ketika diberikan penjelasan. Maka, jangan ajukan
pertanyaan kepada mereka mengenai Minnebrieven
atau Max Havelaar karya Multatuli.
Bahkan aku pun tak yakin mereka tahu siapa itu “Multatuli”. Jika sudah begitu,
tahanlah dirimu untuk menanyai mereka tentang karya-karya berharga lainnya yang
pernah kau baca seperti Moderne Vrouwen (Wanita Modern), Moderne Maagden (Gadis Modern), dan De Vrouwen en Sosialisme (Wanita dan
Sosialisme). Mereka pasti akan saling tengok menengok, lalu menggeleng. Mereka
tak akan paham. Yang mereka pahami
mungkin sosialita, bukan sosialisme.
Aku
sangat sedih, Kartini, sebab gadis-gadis yang mengaku mengagumi dirimu bahkan
tak mampu mengilhami siapa dirimu sesungguhnya. Ingin kuteriaki kuping mereka dengan perkataan Kartini jangan kurang baca, Kartini jangan
kurang tamasya. Mereka nampaknya kurang menyadari bahwa membaca membuat
diri mereka mampu berkelana sejauh-jauhnya, bahwa dalam perjalanan berkelana
itu mereka mendapat gairah akan pengetahuan. Terlebih lagi, membaca mampu
membuat diri mereka bermartabat sebab tak mudah dilacurkan oleh penguasa.
Tentu
saja yang kumaksudkan dengan istilah membaca
disini tak sekedar membaca gabungan alfabet-alfabet saja, tapi juga membaca
kondisi sosial, merumuskan masalah, dan menentukan jalan keluarnya. Oleh sebab
itu untuk menjadi Kartini sepertimu mereka harus cerdas dan sering-sering
melakukan tamasya. Mereka yang kurang tamasya akan menjadi orang yang terpingit
(dalam arti sesungguhnya) oleh pemikiran yang sempit. Sekali waktu mereka harus
bepergian dan berkelana, mencari warta dan fakta, menemukan terang di antara
gelap dan menembus zona nyaman demi mendapat esensi dari emansipasi.
Untuk
bisa menembus kegelapan tersebut, mereka perlu meniru keberanian dan kegesitan
yang ada padamu. Kalau aku tak salah ingat, kau pernah dipanggil dengan sebutan
Trinil, bukan? Trinil, burung yang lincah. Aku tak heran ketika mengetahui
perubahan apa saja yang kau ciptakan dari sikapmu yang lincah dan pemikiranmu
yang gesit itu. Tapi sayang sekali, Kartini, kelincahanmu sedikit berbeda
dengan kelincahan gadis-gadis zaman sekarang. Gadis-gadis sekarang hanya lincah
di depan gawai. Mereka betah seharian berada di depan gawai, mengkonsumsi
berita-berita trivial yang tak memberikan kebermanfaatan padanya.
Oops,
maaf Trinil, aku lupa jika kau tak pernah mengenal tentang istilah gawai. Aku
maklum. Kini akan kujelaskan padamu apa itu gawai. Singkat cerita, gawai adalah
teknologi yang digunakan untuk mempermudah kehidupan manusia, bisa digunakan
sebagai alat komunikasi, alat mencari informasi hingga menulis surat seperti
yang kulakukan saat ini. Wah, aku membayangkan betapa kau akan kagum dengan
kecanggihan teknologi saat ini. Kau bisa mengirim ratusan surat tiap harinya
kepada sahabat-sahabatmu tanpa ragu dan takut. Kau bisa menjadi terkenal hanya
dalam hitungan hari. Kau bisa mendobrak budaya Jawa yang mengekang. Kau bisa
mengoyak pemerintahan Belanda dengan membumikan tulisan kritismu.
Kartini,
kau mungkin akan sangat terkenal di Facebook dan Instagram, salah satu fitur
yang bisa kau akses melalui gawai. Kau pasti akan menjadi public figure terkenal disana. Kutaksir pengikutmu sebelas dua
belas dengan jumlah pengikut Kim Kadarshian, selebritis masa kini yang hanya
bisa pamer paha dan dada. Sayang kau sudah pergi sebelum sempat mencicipi
teknologi ini.
Tapi,
Kartini, ada satu kesamaan antara masa kini dengan masamu dulu, yaitu efek dari
teknologi. Sebenarnya itu semua tak jauh beda dengan pingitan. Tentu kau tak
akan melupakan masa pingitan yang memenjarakanmu dulu, kan? Aku masih ingat
perkataanmu tentang masa pingitan, teringatlah
aku, betapa aku oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga, lalu
menghempaskan badanku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa tertutup itu,
dan kepada dinding batu yang bengis itu, arah kemana juga aku pergi, setiap
kali terhenti juga jalanku oleh tembok batu atau pintu yang terkunci. Ya,
sama. Semenjak kedatangan gawai, orang-orang secara tidak langsung telah
“dipingit” dalam bangunan-bangunan rumah mereka sendiri. Mereka tak ubahnya
seperti calon pengantin Jawa yang tak diijinkan keluar dari bilik mereka, yang
tak punya kuasa untuk mendobrak kebengisan dari kaum-kaum penguasa. Mereka
tunduk dan menyerahkan segala kebebasan mereka. Mereka mau didominasi oleh
konstruksi sosial tanpa berusaha melawan. Jika penjara yang mengurungmu
membuatmu gelisah, maka mereka tak pernah gelisah. Mereka sangat menikmati dan
hanyut dalam buaian gawai. Sangat berbeda seperti dirimu dahulu.
Dari
gawai dan fitur-fitur yang dapat diakses di dalamnya, kini berkembang tren
tentang kecantikan. Bagimu, kecantikan mungkin adalah faktor nomor kesekian,
namun kini kecantikan adalah prioritas tingkat dewa, yang pada titik tertentu
mengabaikan keutamaan-keutamaan lain seperti pengetahuan dan kebajikan. Menurut
orang-orang pada masa kini, kecantikan ditandai dengan bibir tebal (yang
menurutku lebih mirip seperti bibir yang tersengat lebah), alis tebal sempurna
bak bulan yang terbelah, hidung mancung menonjol dengan highlight emas, kontur yang membuat wajah menjadi tirus (yang
menurutku tak lebih menyeramkan seperti topeng tari Didik Nini Thowok), pipi
merah dengan taburan blush on (yang
kadang ditaburkan terlalu banyak hingga pipi nampak seperti TKW usai ditampar
oleh majikan Arab), dan sebagainya.
Masih
banyak keanehan-keanehan lain di abad 21 ini yang tentu saja kau tidak
mengenal itu semua. Buatmu, emansipasi
dan feminisme lebih menarik ketimbang mascara
dan bulu mata (palsu). Aku mulai merefleksikan fenomena ini padamu, Kartini,
sebagai wanita cantik yang tak perlu makeup tebal dan baju mahal bermerk. Kau juga
tak perlu nongkrong di kafe mahal
untuk bisa diterima secara sosial.
Konsep
tentang “kecantikan” adalah konstruksi sosial, yang menciptakan tren baru yaitu
diet dan selfie (swafoto). Sebab selain
dari penampakan wajah, kecantikan juga dilihat dari berat badan, tinggi badan
yang proporsional dan artefak yang menempel di tubuh mulai dari ujung kepala
hingga ujung kaki. Seorang kawan yang sebelumnya tidak pernah berdandan kini sesekali
harus memoles wajah mereka dengan makeup.
Tujuannya selain untuk menarik perhatian juga agar tak dikucilkan oleh
masyarakat. Aku juga ingin menceritakan padamu tentang selfie, yaitu suatu kegiatan memotret diri sendiri, yang biasanya
diunggah melalui media sosial yang mereka punya. Fenomena selfie membuat mereka sibuk meningkatkan aktualisasi diri, yang
disisi lain menurunkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang krusial, misalnya
membaca buku dan membuat kampanye-kampanye sosial yang berkesinambungan.
Salah
satu figur yang dikejar sebagai panutan kecantikan adalah tokoh rekaan yang
bernama Barbie. Barbie adalah boneka
dengan kulit kaukasian dan rambut pirang, punya dandanan modis dan independen
(meskipun pada perkembangannya mulai ada Barbie dengan rambut hitam dan kulit
legam). Visualisasi Barbie mungkin mirip dengan sahabat-sahabatmu dari negeri
Belanda. Ya, berkulit putih, berambut pirang serta bergaun mewah. Gadis-gadis
sekarang berlomba-lomba menjadi seperti nona-nona Belanda. Jelaskan padaku, Kartini,
apa mungkin ini adalah hasil dari internalisasi budaya kolonial, dimana pribumi
hanya akan naik derajat jika bisa setara dan seperti penjajah, oleh karena itu
mereka berlomba-lomba untuk membuat penampilan mereka sama seperti gadis-gadis
Belanda? Aku tidak percaya bahwa ideologi ini begitu mengekang hingga saat ini,
seperti sabuk yang melilit pada pinggang sebab celana kebesaran.
Fenomena
cantik memang menyakitkan, tak hanya pada pasangan muda tapi bahkan pada
pasangan yang sudah menikah. Kawanku yang lain harus menanggung beban sebab
orang tuanya terpaksa bercerai karena sang Ayah kurang puas dengan istrinya. Tak
ayal, penyebabnya tak jauh dari gambaran “kecantikan ideal” dan peran wanita dalam
rumah tangga. Si Ibu tak hanya dianggap kurang cantik, namun juga kurang pintar
memasak. Sialnya, perceraian tak hanya tentang dua insan yang saling beradu
cinta kemudian terpisah, tapi juga mencerai-beraikan harapan dan impian sang
anak tentang konsep keluarga harmonis. Melihat pertengkaran orang tua membuat
anak jadi minder dan memilih untuk hidup pada dunianya sendiri. Tak jarang
mereka mencari kebahagiaan bersama sekelompok orang dengan pemikiran yang tak
jauh dari materi dan kesenangan duniawi.
Kartini,
dengan kejujuran pada level paling tinggi aku ingin mengatakan bahwa aku
merindukanmu. Sudah lama sekali kau menghilang dari hadapanku padahal biasanya
aku tak pernah absen mengikuti perkembangan ide-idemu. Aku ingin bergaul lagi
denganmu, juga dengan sahabat-sahabatmu seperti Nyonya Ovink Soer, Nona Estele
Zechandelaar dan Nyonya Abendanon yang begitu menginspirasi. Kini aku sedang
mengumpulkan gadis-gadis untuk mendukung pemikiranmu, membuat suatu ruang
inkubasi untuk menciptakan tentara-tentara Kartini baru, yang nantinya akan
melestarikan pemikiranmu tentang wanita, tentang perjuangan dalam mencapai
kesetaraan, tentang bagaimana melindungi martabat wanita sebagai manusia yang
tak hanya punya rasa tapi juga punya kuasa.
Bukan
tanpa sengaja aku berpemikiran demikian melainkan aku teringat oleh tuturanmu “akan datang juga kiranya keadaan baru dalam
dunia Bumiputera, kalau bukan oleh karena kami tentu oleh karena orang lain”.
Masih kuingat juga kalimat syahdu yang kau ucapkan, “habislah malam datanglah terang, habis topan datanglah reda, habis
perang datanglah menang, habis duka datanglah suka”. Aku berharap suatu
saat akan muncul Kartini-kartini baru yang mungkin lebih hebat darimu. Semoga
itu tak hanya harapan semu, tapi bisa terlaksana meski harus melewati jalan
bebatuan yang berliku.
Melalui
sosokmu aku mengambil suatu pelajaran bahwa gadis-gadis sekarang harus pandai membaca,
kritis terhadap segala hal. Ia harus bisa menjadi seperti dirimu yang mampu
mendekonstruksi kesenjangan budaya, bukan malah terhanyut dalam penjara yang
dibuatnya sendiri. Kartini masa kini memang tidak harus berkebaya, tapi harus
berbudaya. Kartini masa kini hendaknya bersikap sederhana tapi punya pemikiran
yang gemilang luar biasa, bukan malah menjadi sosialita minim idea.
Salam hangat,
Dari sahabat ideologismu yang menyayangi dan merinduimu.
(PS: surat ini ditulis dalam rangka UTS mata kuliah Penulisan Kreatif 2017, ehe).
Salam hangat,
Dari sahabat ideologismu yang menyayangi dan merinduimu.
(PS: surat ini ditulis dalam rangka UTS mata kuliah Penulisan Kreatif 2017, ehe).
1 komentar
penulisnya sendiri ngikut kartini jaman dulu apa gadis2 jaman skrg nihzl? xD
BalasHapuspilihan atau kombinasi tuh?
kalau sosialita reach of ideas gmn?