KLAMBIMU KETOK NDESO

by - Desember 15, 2016


Beberapa pekan lalu kakak perempuanku membelikanku baju, oleh-oleh dari Jogja, katanya. Aku meraih baju tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Dengan senang hati kuterima kemeja lengan panjang dengan motif bunga-bunga itu. Usai menjelajahi tiap inchi dari baju tersebut, aku menyimpulkan bahwa itu bukan baju bermerek. Tidak ada cap merek yang biasanya menempel di bagian leher – seperti Névada, Rip Curl apalagi Joger (baju yang katanya khas Bali itu loh, padahal yg bikin juga orang Sidoarjo). Tidak apa-apa, aku tidak sedih. Baju yang kainnya agak tipis tersebut kumasukkan ke dalam lemari. Suatu kali akan kupakai ke kampus, pikirku.

Setelah sekian minggu, baju batik kembang-kembang yang didominasi warna putih tersebut mendapat giliran untuk ku pakai. (Sebelumnya juga sempat aku bawa sebagai baju ganti di Ngawi untuk PKL, tapi belum sempat dipakai). Aku meraih celana jeans biru dan kerudung hitam. Perpaduan yang lumayan, menurutku. Usai bersolek tipis-tipis dan mengoleskan minyak wangi ke tubuh, aku berangkat kuliah seperti biasanya. Tak ada yang istimewa selain tiba-tiba dosen memberikan kuis dadakan di kelas pada hari itu. (Tebak, siapa dosennya?).

Sejam, dua jam, tiga jam. Perkuliahan selesai. Setelah menerjang macet akhirnya aku sampai juga  di rumah. Segera kurebahkan tubuh sambil memejamkan mata sejenak, mempertemukan punggung dengan kasur setelah sekitar satu jam menempuh perjalanan dari kampus ke rumah. Seseorang menghampiriku dari belakang, ternyata kakakku. Ia mengambil tempat di sampingku. Kami mulai mengobrol santai, hingga ia mengomentari baju yang sedang menempel di badanku. Akhirnya baju ini dipake juga. Tadi kamu padukan baju ini dengan kerudung warna apa? Kerudung hijau sepertinya lumayan, tapi lagi aku pake. Eh tapi kalau tak liat-liat kok agak ndeso ya baju ini? Tipis juga kainnya. Maaf ya cuma bisa beliin baju kayak gini., begitu kira-kira ucap kakakku.

Katanya baju yang ia berikan untukku itu kelihatan ndeso. Ndeso itu yang kayak gimana? Apa dari motifnya? Warnanya? Kainnya? Atau karena belinya di toko murahan dan tidak ada mereknya? Sungguh tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai definisi ndeso. Aku tidak menanyakan lebih lanjut mengenai apa itu baju yang kelihatan ndeso, namun karena sudah hidup bertahun-tahun dengannya, aku sudah tahu bahwa yang ia maksud dengan ndeso adalah motif batik dengan perpaduan bunga-bunga tersebut. Renda-renda warna hijau yang ada di bagian pergelangan tangan dan bagian bawah baju tersebut juga tak luput dimaknai sebagai klambine wong ndeso. Bagaimana bisa yang demikian dikatakan ndeso? Embuh, takok o dhewe.

Memangnya semua orang desa menggunakan baju seperti ini? Memangnya orang kota tidak ada yang pernah memakai baju model dan warna yang begini? Kalau pun toh memang iya baju ini termasuk dalam kategori ndeso, memangnya kenapa? Apakah semua orang kota bajunya harus berbeda dengan baju orang desa? Dan apakah ada larangan orang kota untuk berpenampilan seperti orang desa? Memangnya orang kota bajunya harus yang seperti apa? Tiba-tiba saya menjadi bergitu reaktif, tapi dalam hati.

Setelah merenung dengan intensif bukan les-lesan selama sekian jam semenjak percakapan tersebut terjadi, aku mengambil konklusi bahwa ada tafsiran tertentu mengenai identitas orang desa vs orang kota melalui artefak yang digunakan. Bagi kakak saya (sejauh yang bisa saya pahami), orang kota ya sakjane menggunakan baju seperti orang kota, yaitu baju dengan desain-desain dan bahan yang premium (kalo perlu pertalite dan pertamax sekalian). Seharusnya ada perbedaan antara yang kota dengan yang desa. Taraf hidupnya kan berbeda, masak penampilan sama? Sebagai kaum urban metropolitan, identitas (yang berusaha ditunjukkan melalui baju) adalah sesuatu yang amat penting, yang seolah menjadikan orang kota disebut sebagai orang kota, dan orang desa disebut sebagai orang desa.

Pertanyaanku, siapa itu orang desa? Apa yang salah dengan mereka dan mengapa kita seolah berusaha membedakan identitas kita dengan mereka? Kalau orang desa hanyalah orang-orang yang tinggal di pedalaman kabupaten tertentu, maka dokter-dokter dan guru dari kota yang tinggal di sana juga orang desa, dong? Kalau orang desa adalah orang yang lahir di desa, maka es-bi-wai (re: SBY) seharusnya juga wong ndesohhhh. Ya, toh?Daaaaan seharusnya tidak ada yang salah dari mereka. Namun ternyata sebagian orang menganggap bahwa dikategorikan sebagai orang desa adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, dianggap tidak modern (mungkin) dan dianggap ketinggalan sepur tren.


Ya sudahlah, apapun yang terjadi, aku tidak perlu merasa sensi ketika seseorang mengatkan bahwa klambimu ketok ndeso. Baju batik kembang-kembang warna ijo yang lengkap dengan renda-renda di beberapa bagian ini, tetap indah di tubuhku; tetap syantik dan mempesona.  Bagiku, tidak ada istilah baju orang desa dan baju orang kota. Mereka sama-sama pakai baju. Itu intinya. Kalaupun mau membandingkan, bandingkan saja dari kualitasnya; atau modelnya; atau warnanya. Tak perlu membawa-bawa istilah ndeso maupun kutha, sebab argumentasi tentang padu-padan logikanya kurang greget. Tak perlu juga ada pernyataan yang menghakimi secara berlebihan terhadap penampilan seseorang karena pada dasarnya itu semua adalah tentang taste.Gitu, sih.

You May Also Like

0 komentar