The Matter

by - September 08, 2016

Pada dasarnya, wanita suka dimanja. Wanita suka dipuji dan ditinggikan, asal kemudian jangan dibanting. Wanita gemar digoda dan dirayu. Wanita suka pada pria yg lembut dan pandai membuat pipi menjadi merah merona. Meski demikian, wanita tidak menyukai lelaki yang terlalu banyak membual, apalagi yg hobi bersilat lidah. Karena segala sesuatu yg berlebihan akan membawa ketidaknyamanan yang bahkan bisa berujung nestapa.


Aku mengangguk. Memang benar, terlalu banyak membual akan sangat membuat kita tidak nyaman. Namun, terlalu serius juga akan menjadikan hubungan cepat bosan. Klep! Aku menutup majalah Personal Consultant yang menjadi sarapanku di pagi hari, kemudian bergegas mengecek email dan mulai bekerja.

Masih pagi, namun aku sudah mendapat email dari seorang klien mengenai hubungannya dengan kekasihnya. Ia merasa bahwa kekasihnya terlalu serius, kurang romantis, jarang memuji, bahkan jarang memanggilnya dengan panggilan standar semacam: sayang, babe, hunnie, sweetie. Hubungan mereka seolah tak lebih dari sekedar senior-junior, lebih tepatnya dosen-mahasiswa.

Ya, klien yang kuhadapi kali ini adalah seorang mahasiswi yang jatuh cinta pada dosennya. Sebut saja namanya Kina, mahasiswi semester (hampir) akhir yang menempuh jurusan Ilmu Politik di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia menaruh hati pada dosen muda yang mengajar di salah satu mata kuliah wajib pada beberapa semester lalu. Mulanya tak ada istimewa, hanya diskusi2 biasa seputar materi kuliah. Namun lama kelamaan, mereka menemukan kecocokan satu sama lain. Kedua insan ini mulai menetapkan hubungan mereka setelah beberapa kali melewatkan waktu bersama. Layaknya pasangan pada umumnya, mereka berkencan di bioskop, jalan2 ke mall, pergi ke tempat wisata, serta melakukan selfie bersama.

Bukan laut jika tak bergelombang, bukan romansa jika tak berkonflik. Seperti halnya dosen dengan segala dominasinya dan mahasiswa dengan segenap idealismenya, mereka terlibat cekcok. Mereka sering terlibat cekcok satu sama lain perihal prinsip dan pandangan hidup. Pergulatan dalam mengemukakan argumen bisa jadi adalah hal yang lumrah bagi kalangan akademisi seperti mereka. Namun, tak jarang pula mereka terjebak dalam atmosfer panas dan menemui jalan buntu karena masing2 tak ada yg mau mengalah. Hingga suatu saat Kina mengaku lelah jika terus berdebat. Ia hanya ingin kekasihnya mengerti bahwa dibalik hubungan dosen-mahasiswa, mereka adalah sepasang kekasih. Sepasang kekasih seharusnya saling mengasihi, bukan saling menghardik dan memaksakan pendapat pribadi.

"Dulu ia sangat romantis. Ia memanggilku dengan sebutan Primadona Termanis. Meski terkesan berlebihan (untuk sekelas dosen mata kuliah Politik Internasional seperti dirinya), aku cukup senang dan merasa tersanjung. Ia sangat ramah dan menyenangkan. Namun seiring berjalannya waktu, kini aku merasa kehilangan momen-momen tersebut",

"Aku merasa dia sekarang sedikit kaku, tidak romantis seperti dulu. Tunggu, tunggu! Tentu saja aku bukan wanita yg haus pujian. Aku hanya merasa bahwa terkadang bermanja-manja itu perlu. Selain untuk menghilangkan awkwardness dalam suatu hubungan, bermanja sekali-kali juga berguna untuk memperkuat emotional bonding".

Ya, kini aku mulai mengerti permasalahan pada hubungan Kina dan kekasihnya. Masing2 dari mereka ingin mempertahankan status quo. Kina dengan segala ketidakmampuannya untuk mengungkapkan perasaan, pun kekasihnya yang tak kunjung peka bahwa sang wanita mempunyai keinginan yang belum tergenapi.

"Dear, Kina. Apa kau sudah mencoba melakukan pendekatan padanya dengan lebih serius? Bertandanglah kesini, mari kita bicarakan mengenai kehidupanmu dan pasanganmu. Bagaimana kalau esok jam 1 siang?", aku membalas emailnya demikian.

Sambil menunggu jawaban dari Kina, aku menerawang jauh. Memoriku melompat pada beberapa tahun silam ketika aku dirundung masalah yg hampir sama dengan Kina. Kekasihku bertengkar denganku. Yang paling ku ingat saat itu ialah kita berdebat perihal gender dan feminisme. Perdebatan tersebut merembet pada masih langgengnya dominasi patriarki yang ia lakukan padaku. Tentu aku merasa tak nyaman. Hingga lambat laun hubungan kami mulai kurang menyenangkan. Ia, yang dulu amat suka bermanja denganku, kini menjadi semakin serius dengan prinsip yang dianutnya. Pun ditambah lagi dengan kesibukannya melanjutkan kuliah S2 di Edinburgh yang membuat hubungan kami makin renggang layaknya udara yang dipanaskan.

Sialan, kenapa aku harus mengingat masa-masa itu? Bukankah kini aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku saat ini? Bukankah impianku menjadi konsultan benar-benar terwujud? Apa lagi yang kucari? Lagipula, bukankah menyesali hubungan yang sudah berakhir hanya akan menambah kepedihan?


Cengkling~ satu pesan telah dikirim oleh Kina padaku. Aku berharap ia bisa meluangkan waktunya sesuai dengan penawaranku. Sebab aku tak punya cukup waktu di lain hari mengingat jadwalku yang padat untuk bertemu dengan klien2 lain. Aku menggeser layar telepon dari mode locked menjadi unlocked. Tertera nomor tak yang belum tersimpan olehku. Ya, aku bahkan belum menyimpan nomor Kina karena sibuk mengorek masa laluku 5 tahun silam.

—Aku baru saja pulang dari Edinburgh. Bisakah kita bertemu di pertigaan swalayan biasanya? Aku merindukanmu. Sungguh suatu kehormatan, Adeline.

Menggelegar, seakan-akan tubuhku disambar tegangan sebesar 9000 kilovolt ketika aku membuka pesan itu. Meski dikirim oleh nomor tak dikenal dan tanpa nama, aku bisa mengenali dari siapa pesan ini berasal. Dengan gaya bahasa yang masih sama, meeting point yang masih sama, kalimat penutup khas yang sama.

Oh....... Perutku mulai dihantui dengan kupu-kupu terbang. Kacamataku pun mulai berembun. Lelaki bertubuh ramping itu berdiri di hadapanku. Pipinya masih tirus, tubuhnya masih jangkung, kantung matanya masih dan akan selalu jelas terlihat olehku. Oh Tuhan, aku sungguh menangis haru. Sebab senyum lebarnya masih sama, hidung mancungnya masih sama, lesung pipinya masih sama, tahi lalat di ujung pelipis kirinya juga masih sama. Aku memeluknya, kuciumi harum tubuhnya yang khas. Bau keringatnya usai mengerjakan laporan panjang yang bercampur dengan aroma kopi serta minyak wangi oles sungguh semerbak di hidungku. Aku berharap aku salah orang. Namun ternyata tak ada yang berubah, ia tetap sama.

Entah siapa yang menghadirkan kenangan-kenangan itu di depan mataku. Batas horizon antara angan dan kenyataan menjadi kabur seketika. Aku masih terdiam, lama sekali terpaku di depan layar telepon genggam. Perasaanku membuncah, mataku hangat dan berair. Tanpa kusadari, bibirku bergetar sambil berucap: Eduardo... aku juga merindukanmu. (Jangan tanya siapa itu Eduardo).

You May Also Like

0 komentar