![]() |
Photo cr: islamicartdb on pinterest
|
Aku
lagi-lagi mengulangi. Barangkali dalam penghayatan inderawi, ada yang luput
dipercayai.
Sungguh
yang kudapati, tak lain adalah segala yang menentramkan hati. Bahwa tak ada
keraguan, bagi yang yakin pada Yang Maha Merajai.
Hanya
bagi yang gengsi dan picik hati, yang sampai mati tak mau mengakui. Kemudian
mereka menyesali, padahal sebelumnya mereka menertawai.
Bukankah
sejak zaman azali mereka diberi rizki, dengan berlimpah tanpa perlu membeli?
Namun, ketika hidup di bumi, mengapa ia mendustai?
Pikirkan
dengan jeli, dengan cita rasa tanpa manipulasi, wahai orang-orang yang
(katanya) berakal dan berserah diri.
![]() |
Photo cr: Telekainetic. |
Aku terjerembab pada gravitasi ranjang. Ribuan titik terang yang seharusnya bisa kutemukan kini mendadak hilang. Fungsi neuronku benar-benar mandek, tidak cukup sanggup untuk menemukan solusi bagi pemecahan mata kuliah ini. Bukan, ini bukan tugas mendebat-kusirkan pemikiran Hegel atau Heidegger. Maksudku, ini lebih dari itu. Bagaimana bisa aku menemukan tempat percetakan yang melayani penjilidan hard cover dalam waktu 6 jam sebelum deadline pengumpulan. Ini gila.
Tapi ada yang lebih
parah dari (sekedar) membahas tugas kuliah. Aspek hidupku lebih luas daripada
itu. Banyak yang kupikirkan, bahkan termasuk yang tidak harus. Sungguh konyol.
Aku mengeruk guling dengan damai, memeluknya barangkali ada kenyamanan yang ku
dapat.
Ketika sedang
berkutat dalam segala permasalahan semu yang tak jelas ini, lampu kamar padam.
Aku tidak mengutuk pegawai kelistrikan. Yang aku sesalkan adalah mengapa
segalanya menjadi gelap dalam waktu yang bersamaan, tak hanya otakku tapi juga
ruangan ini.
Sejalan dengan
padamnya lampu kamar yang pada mulanya memang remang-remang, otakku menerawang.
Bulu kuduk pun mulai meremang. Bukan, ini bukan kode munculnya hantu atau
sejenisnya. Maksudku, ini lebih dari itu. Yang datang kali ini adalah ingatan,
atas seseorang yang mungkin pernah menjadi pagi bagi matahari, atau malam bagi
bulan.
Pikiranku mengais
memori lampau. Yang kemudian muncul sebuah adegan dimana perasaan lega
bergelayut manja. Tapi itu hanya sejenak, sebab kutahu bahwa kelegaan itu
meninggalkan kerapuhan yang sulit hancur. Ia menggantung, bagai peribahasa hidup
segan, mati tak mau.
Sial. Aku kembali
merutuki nasib. Kali ini aku sedikit menyalahkan petugas kelistrikan, sebab
sudah satu jam lampu ini tak kunjung menyala. Sementara, deadline tugas kuliah
tinggal 5 jam lagi. Aku harus berbuat sesuatu.
“Ra, tempat
penjilidan hard cover yang masih buka jam segini dimana ya?”
Aku menelepon seorang
kawan.
“Lu pikir pekerjanya
mesin yang ga butuh istirahat? Ya kali anak ITS kaga ada istirahatnya. Gue
tidur. Lu gila bangunin gue jam segini. Besok gue presentasi pemasaran.”
Klik! Telepon
terputus.
Geez... bahkan
sahabat bisa menjadi galak disaat seperti ini. But, wait... ITS! Bukankah di
dekat ITS ada penjilidan 24 jam? Astagaaaaa! Aku bahkan tak mampu mengingat hal
ini. Aku melompat dari ranjang. Tangan kiriku meraih flashdisk dan
dompet, sedang tangan kananku memasukkan telepon genggam ke kantong celana.
Segeralah aku bergegas menuju tempat penjilidan. Niatku sempat melemah,
mengingat ini adalah dini hari. Tapi, ah persetan. Aku percaya esok justru akan
jadi neraka yang nyata kalau hari ini aku tidak bergegas. Karena dosen tak
pernah tanggung-tanggung memberi diskon pada yang terlambat mengumpulkan tugas.
Suasana dini hari
benar-benar sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Untungnya lampu
jalan tidak turut padam. Aku menengok ke layar smartphone, hmmm
lima derajat celcius. Tak hanya sepi, tapi juga dingin. Sambil merapatkan
jaket, aku mengambil langkah sedikit berlari. Suara-suara aneh sempat melewati
gendang telinga, namun aku berusaha fokus pada tempat yang ku tuju. Menjadi
indigo di saat-saat seperti ini sungguh tidak mengenakkan.
Beberapa langkah lagi
aku memasuki gerbang ITS. Tulisan “Instutute Technology of Seoul” terpampang
jelas. Bangunannya begitu megah. Namun aku tidak pernah berniat untuk menimba
ilmu disini. Semenjak awal aku sengaja menghindari bertemu dengan rumus-rumus rumit.
Hidup manusia sudah rumit, mengapa harus ditambah-tambah lagi? Tidak masuk
akal, bagiku.
Dari jarak beberapa
meter aku mendengar suara orang berbincang. Mungkin mahasiswa atau semacamnya.
Oh, tapi tidak. Mereka berasal dari dunia lain, dan aku tidak akan
menjelaskannya. Aku tidak akan mengganggunya. Semoga mereka tidak melihat ke
arahku. Aku lantas berlari, berlari sungguhan. Bukan takut pada mereka, namun
takut kalau-kalau tempat penjilidan sudah tutup. Cerobohnya, aku terantuk batu
yang cukup besar hingga terperosok dalam kubangan. Untungnya tak berair.
Aku sempat kehilangan
fokus sejenak. Hingga suara gesekan sepatu dengan tanah berumput lamat-lamat
terdengar semakin jelas. Ada yang mendekat, dari arah punggungku. Sial, makhluk
dari dunia mana lagi ini, pikirku. Ia mendehem, membuatku kepalang tanggung
untuk tidak menoleh. Tapi belum sempat aku menoleh, ia telah menunjukkan
identitasnya.
“Gadis macam mana
yang berkeliaran malam-malam begini hingga terperosok masuk kubangan?”
Aku menoleh. Tidak
salah lagi, ia memang manusia. Tapi, dari sekian banyak wajah, mengapa harus
wajah ini yang kulihat? God, can I just escape from this situation?
To
be continued..
Photo cr: dignatri. |
Kuberi kau pemahaman atas suatu warna yang sanggup berpendar. Yang akan membuat rasa semakin mengembang, terbang, lalu jatuh diatas bayang.
Posisimu tidak serba enak, ketika
dilingkupi beberapa entitas yang melingkar rapi. Tapi ujung-ujungnya mereka
mundur teratur; satu persatu, karena sebab-sebab tertentu. Ambigu.
Dengan alasan yang cukup cerdik, kau
melangkah atas satu realitas ke realitas lain, meyakinkan bahwa ini bukan
sepenuhnya sesuatu yang pantas untuk disalahkan.
Ini hanya
masalah pendewasaan, atas hati yang sedang tertekan.Maka kini, lepaskanlah masa
lajang. Mulailah berjuang. Tanpa sadar kau akan menjadi kuat dan sanggup
menopang; barangkali atas kerinduan dan rasa sayang, yang telah dimiliki lain
orang.
![]() |
Photo cr: Fissabila. |
Dengan sangat berat, ini adalah pengakuan dari diri yang merasa inferior. Ketika kau menghadapkan diri pada sosok yang luar biasa indah, yang akan sangat sayang ketika kau tolak entitasnya. Karena sungguh bagaimanapun, ia memanjakanmu, memanjakan mata kecilmu yang tiap hari hanya kau isi untuk berlelah-lelah melihat rangkaian paragraf tanpa makna. Terhadapnya kau menjadi kecil, seolah ia yang lebih leluasa melingkupi. Dan kenyataannya adalah kau menghendaki dirimu untuk didominasi.
Betapa
kau sudah mengumbar senyum, dengan sesumbar kau pamerkan seolah
lebih manis dari madu. Kau membangun keutuhan, berharap akan ada hasil
maksimal. Tanpa perlu banyak usaha untuk mereduksi, menerka-nerka informasi,
menguarkan ketar-ketir dalam hati.
Sekali
lagi, balasan senyum yang begitu indah melupakan sejenak kenyataan bahwa ia
hanyalah orang baru, orang lewat, seorang figuran yang mungkin nyata secara
materi. Tapi dalam satu spasi, ada kekosongan yang begitu padat. Kekosongan itu
bagai teka-teki yang tak memungkinkan orang sepertiku untuk menjawab.
Taruhlah
fakta bahwa kami berada pada jarak privat, secara kasat mata. Pada batasan
secara rasional, bukan emosional. Ada yang mencoba begitu kuat, menemukan unsur
yang diperlukan agar reaksi ini berjalan. Reaksi kimia ini kau sebut chemistry, sesaat kemudian.
Lunak,
hati ini sampai yang terdalam pun melunak. Pandangannya begitu teduh, namun
hanya seperempat dari sekian detik. Alisnya tidak begitu tebal, tapi
meneduhkan. Kala mulutnya komat-kamit berbicara, aku tidak melihat
kepura-puraan. Hanya beberapa sisi terlihat bahwa setiap orang tidak sama dalam
mengungkapkan, tapi setidaknya ada usaha yang besar telah dilakukan.
Kalau
kau tahu bagaimana caranya berpikir, lihatlah dari caranya berjalan. Ia
berjalan dengan cepat, tapi langkah kakinya kuyu sendu. Bukan main ingin ku
topang, tapi aku kalah cepat darinya. Sehingga daya yang kupunya hanya ku
habiskan untuk melihat dari jauh. Sampai pada masa dimana aku dengan tergesa
menyanding langkahnya, dengan kembali mengulas senyum tak bernyawa.
Ini
pertemuan pertama, bukan yang paling sempurna. Setidaknya ia bercerita tentang
keluarganya, juga tentang selayang pandang keinginan untuk melanjutkan studi ke
Eropa. Ia yang baru rapi kumis tipisnya, meluapkan energi yang membuatku
berdebar rasa. Sengaja stopwatch kubiarkan menyala, menghitung mundur
sampai dimana kegilaanku sanggup bersua. Pun kompas menerawang, mencari-cari
arah darimanakah kegilaan ini bermula.
Aku
harus bijak, meski sedikit demi sedikit. Memahami bahwa kau tidak sesempurna
seperti yang ada dalam bayangannya, memerlukan banyak tenaga. Meski kau gagal
secara visual, tapi setidaknya kau tampil maksimal. Bibirmu kau olesi gincu,
telapakmu kau usapi harum-harum parfum. Bersaing dengan wangi tubuhnya ketika
angin degan lembut menerpa.
Ketika
kau mulai memikirkannya sepanjang perjalanan, maka eksistensinya dalam
pikiranmu cukup ada. Kau tarik kembali memori bahwa ia melempar kemauan untuk
duduk berdampingan, menikmati tayangan dari negeri entah, dalam bangunan
bertingkat yang pada hari itu tak terlalu ramai. Selama tayangan itu
ditampilkan, ia bungkam. Tak mengatakan sepatah katapun menjadi petunjuk bahwa
ia menikmati, atau justru perilakunya menghianati. Ia lalu melihat jam tangan,
mengingat bahwa ada kewajiban menyembah Tuhan.
Sejurus
pandangan menyapu, hanya ada beberapa kursi yang tak kosong dalam bangunan itu.
Kita membuatnya menjadi lebih sepi sejenak. Saat beberapa sujud menepi dalam
ruangan sempit yang tempat bersucinya tak terhijabi.
Bahwa
aku melihatnya menyingkap rambut sesaat setelah dahinya menyentuh tanah, adalah
suatu keberkahan. Aku hanya melihat sekali, dan mungkin tak akan pernah lagi.
Karena beberapa masa kemudian, kami terpisah jarak di ujung gang malam ini.
Meski pada akhirnya tidak bisa dimiliki, setidaknya bisa menjadi pelengkap
mimpi. Kesediaan menghadirkan pecahan memori, sedalam-dalamnya ingin kembali ku
nikmati, lamat-lamat lagi.
Aku
menemukan diriku berbeda dalam memandang ia. Satu yang dapat kugarisbawahi
adalah bahwa kau tidak perlu menjadi sempurna, karena ketika kau menjadi
sempurna maka hanya keinginan menghancurkan yang mengapung di atasnya. Kau
tidak perlu mengobrak-abrik hukum keseimbangan yang sudah diciptakan sesuai
porsi. Kau hanya perlu mengatur pikiranmu agar tidak menjadi pribadi yang terobsesi
menguasai ini-itu di segala lini.
Akhirnya
berbahagialah, wahai kau jiwa yang ku banggai untuk menemukan pendamping
sejati. Raga dan jiwaku mungkin tak akan pernah menjadi hitungan yang bernilai
tinggi. Sebaliknya, aku hanya punya ucapan yang secara berkala kupanjatkan,
agar kita dipertemukan pada yang paling tepat atas waktu dan kesempatan. Kelak,
dalam ridho Yang Maha Mengabulkan.
![]() |
Photo cr: pinterest. |
1. Mata: merupakan alat
penyaring mana pihak yang menguntungkan dan mana pihak yang lebih
menguntungkan. Cuma ada dua golongan mata, kalo nggak mata-mata ya mata duitan.
apa bedanya? Gak ada, semua sama-sama suka goda-lirik-rebut yang masih disegel.
2. Telinga: adalah piranti
uhuy yang ketika rapat mendadak budeg, tapi langsung tune-in seribu persen kalau ada isu-isu mengenai kasus korupsi
yang inisialnya mirip sama nama sendiri; sebagian besar lebih mudah terdistorsi
oleh suara desahan kucing yang lagi ber-haha-hihi, daripada diskusi mengenai
hal yang intelek dan berbobot tinggi.
3. Mulut: sudah biasa
digunakan sebagai modal utama kampanye, yang produksi janji-janjinya terlalu
naik-naik-ke-puncak-gunung sampai nabrak pesawat (gak nyambung, biarin); kini
sedikit beralih fungsi sebagai pemicu sensasi lewat pernyataan-pernyataan konyol,
seperti “membakar hutan tidak masalah, karena masih bisa ditanam kembali”
(iyain aja).
4. Otak: salah satu anggota
tubuh yang paling encer di awal kampanye, tapi bisa berbalik 180
derajat menjadi bebal ketika sudah resmi menjabat. Butuh sedikit pencerahan
untuk dapat kembali normal, misal dengan menaikkan upah gaji, atau berilah
sebuah lamborghini warna merah hati.
5. Tangan: biasanya dipakai
buat corat-coret, suka bubuh-bubuh tanda (tangan) seenaknya. Kadang juga
digunakan sebagai alat buat nampar oposisi-oposisi yang bacot dan
kelakuannya keterlaluan; seringkali fungsi kelima jarinya ditekuk dan
disederhanakan, jelas jari yang ukurannya paling panjang ditunjukkan kepada
orang-orang yang merasa mengusik otoritasnya.
6. Kaki: selalu dilindungi
sepatu mahal, yang bahkan debu pun tidak berani menempel. Salah satu anggota
tubuh yang paling giat kalau disuruh berangkat ambil gaji, tapi paling malas
menemui rakyat yang sekarat mau mati. Pada pagi hari digunakan untuk berjalan
ke gedung tempat kerja, pada malam hari digunakan untuk mengunjungi beberapa
wisma.
7. Hati: sesuatu yang
jarang dimiliki oleh mereka, sekalinya disuruh hati-hati malah main hati.
8. Ke-malu-an:
halaaaahh.... udah, yang ini gak usah dibahas. Bukan apa-apa, tapi karena
memang mereka sudah tidak punya.