Instagram Facebook

Digna Tri Rahayu

Ini adalah visualisasi, ketika proletar termarjinalkan secara hakiki, oleh borjuis yang tak punya hati. Barangkali mati tak akan terjadi, karena sang penguasa selalu meyakini, bahwa ia adalah pembuat histori, juga pengatur segala-gala tentang materi. Lantas, yang terinjak bisa apa? Kalau tidak memperjuangkan harga diri, siap-siap saja mati berdiri!


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kemarin dan hari ini sama-sama nikmat. Meski tidur tak pernah tamat, juga kurang istirahat. Sungguh segalanya terasa penat. Namun ku percaya, bahwa ini akan membawa hikmat. Sebab Tuhan tak kan terlambat, dalam memberi berkat.

Tertanda, hambaMu yang kurang tirakat, jarang tobat, tapi sering maksiat.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Photo cr: islamicartdb on pinterest
Aku lagi-lagi mengulangi. Barangkali dalam penghayatan inderawi, ada yang luput dipercayai.
Sungguh yang kudapati, tak lain adalah segala yang menentramkan hati. Bahwa tak ada keraguan, bagi yang yakin pada Yang Maha Merajai.
Hanya bagi yang gengsi dan picik hati, yang sampai mati tak mau mengakui. Kemudian mereka menyesali, padahal sebelumnya mereka menertawai.
Bukankah sejak zaman azali mereka diberi rizki, dengan berlimpah tanpa perlu membeli? Namun, ketika hidup di bumi, mengapa ia mendustai?
Pikirkan dengan jeli, dengan cita rasa tanpa manipulasi, wahai orang-orang yang (katanya) berakal dan berserah diri.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Photo cr: Telekainetic.

Aku terjerembab pada gravitasi ranjang. Ribuan titik terang yang seharusnya bisa kutemukan kini mendadak hilang. Fungsi neuronku benar-benar mandek, tidak cukup sanggup untuk menemukan solusi bagi pemecahan mata kuliah ini. Bukan, ini bukan tugas mendebat-kusirkan pemikiran Hegel atau Heidegger. Maksudku, ini lebih dari itu. Bagaimana bisa aku menemukan tempat percetakan yang melayani penjilidan hard cover dalam waktu 6 jam sebelum deadline pengumpulan. Ini gila.

Tapi ada yang lebih parah dari (sekedar) membahas tugas kuliah. Aspek hidupku lebih luas daripada itu. Banyak yang kupikirkan, bahkan termasuk yang tidak harus. Sungguh konyol. Aku mengeruk guling dengan damai, memeluknya barangkali ada kenyamanan yang ku dapat.

Ketika sedang berkutat dalam segala permasalahan semu yang tak jelas ini, lampu kamar padam. Aku tidak mengutuk pegawai kelistrikan. Yang aku sesalkan adalah mengapa segalanya menjadi gelap dalam waktu yang bersamaan, tak hanya otakku tapi juga ruangan ini.

Sejalan dengan padamnya lampu kamar yang pada mulanya memang remang-remang, otakku menerawang. Bulu kuduk pun mulai meremang. Bukan, ini bukan kode munculnya hantu atau sejenisnya. Maksudku, ini lebih dari itu. Yang datang kali ini adalah ingatan, atas seseorang yang mungkin pernah menjadi pagi bagi matahari, atau malam bagi bulan.

Pikiranku mengais memori lampau. Yang kemudian muncul sebuah adegan dimana perasaan lega bergelayut manja. Tapi itu hanya sejenak, sebab kutahu bahwa kelegaan itu meninggalkan kerapuhan yang sulit hancur. Ia menggantung, bagai peribahasa hidup segan, mati tak mau.

Sial. Aku kembali merutuki nasib. Kali ini aku sedikit menyalahkan petugas kelistrikan, sebab sudah satu jam lampu ini tak kunjung menyala. Sementara, deadline tugas kuliah tinggal 5 jam lagi. Aku harus berbuat sesuatu.

“Ra, tempat penjilidan hard cover yang masih buka jam segini dimana ya?”
Aku menelepon seorang kawan.

“Lu pikir pekerjanya mesin yang ga butuh istirahat? Ya kali anak ITS kaga ada istirahatnya. Gue tidur. Lu gila bangunin gue jam segini. Besok gue presentasi pemasaran.”
Klik! Telepon terputus.

Geez... bahkan sahabat bisa menjadi galak disaat seperti ini. But, wait... ITS! Bukankah di dekat ITS ada penjilidan 24 jam? Astagaaaaa! Aku bahkan tak mampu mengingat hal ini. Aku melompat dari ranjang. Tangan kiriku meraih flashdisk dan dompet, sedang tangan kananku memasukkan telepon genggam ke kantong celana. Segeralah aku bergegas menuju tempat penjilidan. Niatku sempat melemah, mengingat ini adalah dini hari. Tapi, ah persetan. Aku percaya esok justru akan jadi neraka yang nyata kalau hari ini aku tidak bergegas. Karena dosen tak pernah tanggung-tanggung memberi diskon pada yang terlambat mengumpulkan tugas.

Suasana dini hari benar-benar sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Untungnya lampu jalan tidak turut padam. Aku menengok ke layar smartphone, hmmm lima derajat celcius. Tak hanya sepi, tapi juga dingin. Sambil merapatkan jaket, aku mengambil langkah sedikit berlari. Suara-suara aneh sempat melewati gendang telinga, namun aku berusaha fokus pada tempat yang ku tuju. Menjadi indigo di saat-saat seperti ini sungguh tidak mengenakkan.

Beberapa langkah lagi aku memasuki gerbang ITS. Tulisan “Instutute Technology of Seoul” terpampang jelas. Bangunannya begitu megah. Namun aku tidak pernah berniat untuk menimba ilmu disini. Semenjak awal aku sengaja menghindari bertemu dengan rumus-rumus rumit. Hidup manusia sudah rumit, mengapa harus ditambah-tambah lagi? Tidak masuk akal, bagiku.

Dari jarak beberapa meter aku mendengar suara orang berbincang. Mungkin mahasiswa atau semacamnya. Oh, tapi tidak. Mereka berasal dari dunia lain, dan aku tidak akan menjelaskannya. Aku tidak akan mengganggunya. Semoga mereka tidak melihat ke arahku. Aku lantas berlari, berlari sungguhan. Bukan takut pada mereka, namun takut kalau-kalau tempat penjilidan sudah tutup. Cerobohnya, aku terantuk batu yang cukup besar hingga terperosok dalam kubangan. Untungnya tak berair.

Aku sempat kehilangan fokus sejenak. Hingga suara gesekan sepatu dengan tanah berumput lamat-lamat terdengar semakin jelas. Ada yang mendekat, dari arah punggungku. Sial, makhluk dari dunia mana lagi ini, pikirku. Ia mendehem, membuatku kepalang tanggung untuk tidak menoleh. Tapi belum sempat aku menoleh, ia telah menunjukkan identitasnya.

“Gadis macam mana yang berkeliaran malam-malam begini hingga terperosok masuk kubangan?”

Aku menoleh. Tidak salah lagi, ia memang manusia. Tapi, dari sekian banyak wajah, mengapa harus wajah ini yang kulihat? God, can I just escape from this situation?

To be continued..
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Photo cr: dignatri.

Kuberi kau pemahaman atas suatu warna yang sanggup berpendar. Yang akan membuat rasa semakin mengembang, terbang, lalu jatuh diatas bayang.
Posisimu tidak serba enak, ketika dilingkupi beberapa entitas yang melingkar rapi. Tapi ujung-ujungnya mereka mundur teratur; satu persatu, karena sebab-sebab tertentu. Ambigu.
Dengan alasan yang cukup cerdik, kau melangkah atas satu realitas ke realitas lain, meyakinkan bahwa ini bukan sepenuhnya sesuatu yang pantas untuk disalahkan.
Ini hanya masalah pendewasaan, atas hati yang sedang tertekan.Maka kini, lepaskanlah masa lajang. Mulailah berjuang. Tanpa sadar kau akan menjadi kuat dan sanggup menopang; barangkali atas kerinduan dan rasa sayang, yang telah dimiliki lain orang.
Dewasalah wahai kupu-kupu kecil. Mestinya kau pahami bahwa kau bukan lagi kepompong yang berdiam dalam selimutmu. Terbanglah, ini adalah tanda. Dan ku harap kau dapat mengambil hikmah dibaliknya.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Photo cr: Fissabila.

Dengan sangat berat, ini adalah pengakuan dari diri yang merasa inferior. Ketika kau menghadapkan diri pada sosok yang luar biasa indah, yang akan sangat sayang ketika kau tolak entitasnya. Karena sungguh bagaimanapun, ia memanjakanmu, memanjakan mata kecilmu yang tiap hari hanya kau isi untuk berlelah-lelah melihat rangkaian paragraf tanpa makna. Terhadapnya kau menjadi kecil, seolah ia yang lebih leluasa melingkupi. Dan kenyataannya adalah kau menghendaki dirimu untuk didominasi.
                                 
Betapa kau sudah mengumbar senyum, dengan sesumbar  kau pamerkan seolah  lebih manis dari madu. Kau membangun keutuhan, berharap akan ada hasil maksimal. Tanpa perlu banyak usaha untuk mereduksi, menerka-nerka informasi, menguarkan ketar-ketir dalam hati.

Sekali lagi, balasan senyum yang begitu indah melupakan sejenak kenyataan bahwa ia hanyalah orang baru, orang lewat, seorang figuran yang mungkin nyata secara materi. Tapi dalam satu spasi, ada kekosongan yang begitu padat. Kekosongan itu bagai teka-teki yang tak memungkinkan orang sepertiku untuk menjawab.

Taruhlah fakta bahwa kami berada pada jarak privat, secara kasat mata. Pada batasan secara rasional, bukan emosional. Ada yang mencoba begitu kuat, menemukan unsur yang diperlukan agar reaksi ini berjalan. Reaksi kimia ini kau sebut chemistry, sesaat kemudian.

Lunak, hati ini sampai yang terdalam pun melunak. Pandangannya begitu teduh, namun hanya seperempat dari sekian detik. Alisnya tidak begitu tebal, tapi meneduhkan. Kala mulutnya komat-kamit berbicara, aku tidak melihat kepura-puraan. Hanya beberapa sisi terlihat bahwa setiap orang tidak sama dalam mengungkapkan, tapi setidaknya ada usaha yang besar telah dilakukan.

Kalau kau tahu bagaimana caranya berpikir, lihatlah dari caranya berjalan. Ia berjalan dengan cepat, tapi langkah kakinya kuyu sendu. Bukan main ingin ku topang, tapi aku kalah cepat darinya. Sehingga daya yang kupunya hanya ku habiskan untuk melihat dari jauh. Sampai pada masa dimana aku dengan tergesa menyanding langkahnya, dengan kembali mengulas senyum tak bernyawa.

Ini pertemuan pertama, bukan yang paling sempurna. Setidaknya ia bercerita tentang keluarganya, juga tentang selayang pandang keinginan untuk melanjutkan studi ke Eropa. Ia yang baru rapi kumis tipisnya, meluapkan energi yang membuatku berdebar rasa. Sengaja stopwatch kubiarkan menyala, menghitung mundur sampai dimana kegilaanku sanggup bersua. Pun kompas menerawang, mencari-cari arah darimanakah kegilaan ini bermula.

Aku harus bijak, meski sedikit demi sedikit. Memahami bahwa kau tidak sesempurna seperti yang ada dalam bayangannya, memerlukan banyak tenaga. Meski kau gagal secara visual, tapi setidaknya kau tampil maksimal. Bibirmu kau olesi gincu, telapakmu kau usapi harum-harum parfum. Bersaing dengan wangi tubuhnya ketika angin degan lembut menerpa.

Ketika kau mulai memikirkannya sepanjang perjalanan, maka eksistensinya dalam pikiranmu cukup ada. Kau tarik kembali memori bahwa ia melempar kemauan untuk duduk berdampingan, menikmati tayangan dari negeri entah, dalam bangunan bertingkat yang pada hari itu tak terlalu ramai. Selama tayangan itu ditampilkan, ia bungkam. Tak mengatakan sepatah katapun menjadi petunjuk bahwa ia menikmati, atau justru perilakunya menghianati. Ia lalu melihat jam tangan, mengingat bahwa ada kewajiban menyembah Tuhan.

Sejurus pandangan menyapu, hanya ada beberapa kursi yang tak kosong dalam bangunan itu. Kita membuatnya menjadi lebih sepi sejenak. Saat beberapa sujud menepi dalam ruangan sempit yang tempat bersucinya tak terhijabi.

Bahwa aku melihatnya menyingkap rambut sesaat setelah dahinya menyentuh tanah, adalah suatu keberkahan. Aku hanya melihat sekali, dan mungkin tak akan pernah lagi. Karena beberapa masa kemudian, kami terpisah jarak di ujung gang malam ini. Meski pada akhirnya tidak bisa dimiliki, setidaknya bisa menjadi pelengkap mimpi. Kesediaan menghadirkan pecahan memori, sedalam-dalamnya ingin kembali ku nikmati, lamat-lamat lagi.

Aku menemukan diriku berbeda dalam memandang ia. Satu yang dapat kugarisbawahi adalah bahwa kau tidak perlu menjadi sempurna, karena ketika kau menjadi sempurna maka hanya keinginan menghancurkan yang mengapung di atasnya. Kau tidak perlu mengobrak-abrik hukum keseimbangan yang sudah diciptakan sesuai porsi. Kau hanya perlu mengatur pikiranmu agar tidak menjadi pribadi yang terobsesi menguasai ini-itu di segala lini.

Akhirnya berbahagialah, wahai kau jiwa yang ku banggai untuk menemukan pendamping sejati. Raga dan jiwaku mungkin tak akan pernah menjadi hitungan yang bernilai tinggi. Sebaliknya, aku hanya punya ucapan yang secara berkala kupanjatkan, agar kita dipertemukan pada yang paling tepat atas waktu dan kesempatan. Kelak, dalam ridho Yang Maha Mengabulkan.
Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Photo cr: pinterest.
Akhir-akhir ini, tugas beberapa mata kuliah seringkali mengangkat tema politik. Kalau saya amati dalam beberapa dekade terakhir (anjayy wkwkkwk), saya sering geli-geli sedikit melihat cara berpolitik para ‘aristokrat-aristokrat’ Indonesia akhir-akhir ini. Hingga pemikiran sempit saya mengantarkan pada pendapat pribadi mengenai politik dan anggota tubuh, akibat sebelumnya sering bertanya-tanya bagaimana sebenarnya manusia dan anggota tubuhnya berpolitik.
1. Mata: merupakan alat penyaring mana pihak yang menguntungkan dan mana pihak yang lebih menguntungkan. Cuma ada dua golongan mata, kalo nggak mata-mata ya mata duitan. apa bedanya? Gak ada, semua sama-sama suka goda-lirik-rebut yang masih disegel.
2. Telinga: adalah piranti uhuy yang ketika rapat mendadak budeg, tapi langsung tune-in seribu persen kalau ada isu-isu mengenai kasus korupsi yang inisialnya mirip sama nama sendiri; sebagian besar lebih mudah terdistorsi oleh suara desahan kucing yang lagi ber-haha-hihi, daripada diskusi mengenai hal yang intelek dan berbobot tinggi.
3. Mulut: sudah biasa digunakan sebagai modal utama kampanye, yang produksi janji-janjinya terlalu naik-naik-ke-puncak-gunung sampai nabrak pesawat (gak nyambung, biarin); kini sedikit beralih fungsi sebagai pemicu sensasi lewat pernyataan-pernyataan konyol, seperti “membakar hutan tidak masalah, karena masih bisa ditanam kembali” (iyain aja).
4. Otak: salah satu anggota tubuh yang paling encer di awal kampanye, tapi  bisa berbalik 180 derajat menjadi bebal ketika sudah resmi menjabat. Butuh sedikit pencerahan untuk dapat kembali normal, misal dengan menaikkan upah gaji, atau berilah sebuah lamborghini warna merah hati.
5. Tangan: biasanya dipakai buat corat-coret, suka bubuh-bubuh tanda (tangan) seenaknya. Kadang juga digunakan sebagai alat buat  nampar oposisi-oposisi yang bacot dan kelakuannya keterlaluan; seringkali fungsi kelima jarinya ditekuk dan disederhanakan, jelas jari yang ukurannya paling panjang ditunjukkan kepada orang-orang yang merasa mengusik otoritasnya.
6. Kaki: selalu dilindungi sepatu mahal, yang bahkan debu pun tidak berani menempel. Salah satu anggota tubuh yang paling giat kalau disuruh berangkat ambil gaji, tapi paling malas menemui rakyat yang sekarat mau mati. Pada pagi hari digunakan untuk berjalan ke gedung tempat kerja, pada malam hari digunakan untuk mengunjungi beberapa wisma.
7. Hati: sesuatu yang jarang dimiliki oleh mereka, sekalinya disuruh hati-hati malah main hati. 

8. Ke-malu-an: halaaaahh.... udah, yang ini gak usah dibahas. Bukan apa-apa, tapi karena memang mereka sudah tidak punya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Her aura is made of poetry, roses and sarcasm.

Follow Us

  • LinkedIn
  • Instagram
  • Facebook

Handcrafting

Go follow @bukakreasi on Instagram. Thx!

Blog Archive

  • ▼  2018 (1)
    • ▼  Oktober (1)
      • Kembara Jarak
  • ►  2017 (8)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2016 (15)
    • ►  Desember (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (5)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates