Instagram Facebook

Digna Tri Rahayu



“Lovely Man”, sebuah film keluarga yang dikemas dalam konsep super indie. Film karya Teddy Soeriaatmadja tersebut menyuguhkan secara intim dialog – dialog antara kedua tokoh utama, yaitu Ipuy (sang ayah) dan Cahaya (sang anak). Menyuguhkan relasi absurd antara seorang bapak yang  transgender dengan anak gadisnya yang berjilbab.
Masing – masing tokoh dalam Lovely Man menampilkan permasalahan personal, Ipuy (yang diperankan oleh Donny Damara) dengan masalah orientasi seksual dan permasalahan keluarga dan Cahaya (yang diperankan oleh Raaihanun) dengan permasalahan hamil diluar nikah serta keinginan yang keras untuk mengungkap identitas ayahnya. Adegan demi adegan memaksa penonton untuk tune-in menjadi pendengar setia, tidak berbelit – belit namun cukup membuat audiens betah berlama – lama untuk menikmati apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mengambil latar Jakarta dengan gemerlap kehidupan malamnya, Lovely Man berusaha menampilkan rahasia umum dari kelompok LGBT, kelompok yang mungkin di Indonesia masih termarjinalkan secara sosial budaya. Background adegan yang dibuat samar dengan kerlap –kerlip lampu menunjukkan bahwa sang pembuat film ingin penonton fokus pada tokoh utama saja, berikut cerita dan dialog apa yang akan disampaikan oleh mereka.
LGBT sebagai sebuah isu sensitif (di Indonesia khususnya), tentu dapat dikaji dari berbagai perspektif, mulai dari semiotika, hermeneutika, kajian agama hingga teori kritik. Dari perspektif semiotik misalnya, terlihat bagaimana dalam film “Lovely Man” seorang LGBT disimbolkan sebagai suatu hal yang menyimpang, salah dan tidak sesuai dengan konvensi yang ada. Konvensi mengenai tampilan pria dan wanita yang “sesuai kodrat” seolah ditentang oleh munculnya fenomena LGBT sebagai antitesis dari tampilan pria dan wanita pada umumnya.
Dalam film tersebut, kelompok LGBT (masih) dianggap sebagai bahan olok – olok, seolah ia tidak lebih baik daripada non-LGBT. Mereka juga masih dianggap kelompok “kelas dua” yang memang pantas untuk dijauhi dan disisihkan dari masyarakat. LGBT ditolak bumi, seperti Syiah ditolak Sampang. LGBT terkatung – katung bagai Rohingya, menanti keadilan yang tak kunjung diwacanakan.
Padahal kalau kita tengok, banyak sekali cendekiawan dan penemu seperti Leonardo Da Vinci, Benedict Anderson dan Alan Turing yang menorehkan prestasi, meski notabene mereka adalah seorang LGBT. Pada intinya, LGBT tidak lebih buruk dan tidak lebih baik dari orang-orang normal yang hetero. Mereka bukan berarti tidak bisa berprestasi. Jangan mendangkalkan pikiran dengan mudah terjebak pada stereotip – stereotip yang ada.
Hal yang juga menarik dari film ini adalah bagaimana dalam film ini terdapat paradigma yang dipertukarkan. Ipuy dengan segala kesempurnaan pada awalnya ketika dia menjadi lelaki, dibalik 180 derajat menjadi sosok yang gemulai. Yang lebih mengenaskan lagi adalah adegan ketika Ipuy diserang dan disodomi oleh gerombolan preman, namun ipuy tidak melawan. Sungguh sangat janggal jika melihat otot bisep dan trisep yang ada pada Ipuy tidak berfungsi  sama sekali (yang menurut orang – orang lelaki berotot adalah lelaki kuat dan sanggup melawan). Lagi-lagi, ditunjukkan paradigma yang dipertukarkan yaitu bahwa sekekar apapun otot banci, jika banci ya banci, tetap tidak bisa macho.
Ini berhubungan dengan teori konstruktivitas sosial, dimana nilai – nilai kepercayaan, sikap dan perilaku sesorang adalah suatu bentukan. Bentukan darimana? Tentu saja bentukan sosial, sesuai dimana ia tinggal dan membaca situasi.
Selan dari sisi semiotika, fenomena LGBT dapat pula dikaji melalui teori hermeneutika. Hermeneutika secara sederhana adalah cara untuk menafsirkan dan mengartikulasikan teks. Dalam hal ini, LGBT adalah suatu teks yang bisa diamati dan ditafsirkan. Menurut Gadamer, makna suatu teks adalah terbuka dan tidak terbatas pada maksud si pengarang. Pemahaman merupakan suatu tindakan produktif, bukan merupakan reproduksi dari naskah aslinya. (Hidayat: 2006).
Kita dapat memaknai itu sebagai suatu antitesis yang (pasti) berujung pada terpecahnya kelompok menjadi beberapa golongan, yaitu golongan yang pro dan kontra. Banyak sekali penafsiran dan pendapat dari dua golongan ini, yang sangat menarik untuk disimak. Namun disini tidak akan terlalu dibahas debat kusir antara golongan ekstrim tersebut.
Menanggapi fenomena LGBT, kemana sebaiknya kita menapakkan kaki? Apakah lebih baik kita menolak secara keras, ataukah kita justru mendukung mereka (dengan tameng kemanusiaan), itu semua hak subjektif masing – masing dari kita.
Kalau saya sih, dalam menyikapi fenomena LGBT  lebih suka menggunakan analogi “babi haram”. Memakan babi itu haram, sama dengan larangan (dalam kitab suci tercinta) bahwa LGBT juga dilarang. Tapi meski babi itu haram, apakah kita secara buta membunuh babi – babi itu? Bukankah kita membiarkan babi-babi itu hidup? Lagi pula apakah kita akan membunuh babi-babi tak bersalah itu jika mereka memang secara fitrah diciptakan (oleh-Nya) sebagai hewan yang tidak layak dikonsumsi? Sampai di titik ini saya tidak berusaha menyamakan kelompok LGBT dengan babi, ini hanya analogi. Contoh lain, apakah kita membenci anjing hanya karena air liurnya dianggap rusuh? Sekali lagi, saya sama sekali tidak berusaha menyamakan kelompok LGBT dengan anjing, ini hanya analogi.
Kelompok LGBT memang tidak hadir secara sulapan, tetapi merupakan hasil dari sosialisasi budaya. Pun, fenomena tersebut juga bukan merupakan keturunan secara genetik. Magnus Hirscheld (1899) mengungkapkan bahwa tidak ada orang yang terlahir sebagai homoseksual sejak lahir. Artinya, LGBT adalah pilihan, sama seperti saat kalian memilih kampus, memilih pasangan, memilih makanan, atau saat kalian memilih antara NU dan Muhammadiyah. Atau ada dari Anda yang tidak benar – benar memilh? Itu urusan Anda.
            Ngomong – ngomong mengenai budaya, saya mempunyai seorang teman yang orientasi seksualnya adalah gay. Jangan berpikiran aneh – aneh apakah ia suka clubbing atau minum – minuman keras di bar karena tidak punya pelampiasan untuk menaruh hasrat seksualnya. Ia adalah lulusan pesantren, sudah melahap habis Ta’limul Muta’allim, Fiqih, Nahwu Sorof serta Aqidatul Awam wal Akhlaq. Lantas, bagaimana ia bisa menjadi seorang gay? Saya curiga bahwa budaya “mengkotak – kotakkan” antara murid laki – laki dan perempuan dalam tempatnya belajar justru menjadi pemantiknya. Karena terpenjara dalam kungkungan akhi – akhi sehingga tidak dapat melirik akhwat – akhwat cantik, maka ia meluapkan hasratnya pada sesama jenis. Bukan tidak mungkin kan?
Sementara disisi lain, para pengampu (baca: ulama’) mereka menentang keras saling “mencintai” sesama jenis. Tak diragukan, dua kali teman saya (dan mungkin kawan – kawannya sesama gay) ditembak secara keras, yaitu secara fisik dan psikologis.
Kalau masalah agama, ya jelas Ahlul hadist sangat menentang keberadaan LGBT. Rasanya ingin membuang mereka dari peradaban dan melempar mereka kepada umat zaman Nabi Luth yang diazab karena perilakunya yang keji itu. Yang pasti, ini masalah budaya, bukan masalah genetik. Kalaupun masalah genetik, mungkin para radikalis yang kontra terhadap LGBT itu rela mengumpulkan dana untuk mengubah gen kelompok LGBT supaya sama normalnya dengan mereka.
Masih mengenai budaya, saya sempat sedikit miris mendengar pernyataan dari lingkungan yang mengatakan bahwa berteman dengan kelompok LGBT akan membuat kita ketularan menjadi LGBT, nanti  buncit – buncitnya kita akan mengidap HIV/AIDS karena pergaulan yang tidak sehat. Padahal kalau dipikir, lebih banyak mana antara LGBT yang mempengaruhi orang normal untuk menjadi mereka, dengan orang normal yang memaksa kelompok LGBT untuk sama seperti mereka?
Saya teringat dengan cybernetics of system theory dimana komponen dari sistem yang dianggap menyimpang (kelompok LGBT) selalu berusaha dikembalikan pada track oleh komponen yang lainnya (kelompok non-LGBT). Tapi, bagaimana jika corrective feedback yang dilakukan oleh kelompok non-LGBt ini tidak tepat sasaran, melainkan dari awal kelompok LGBT tidak merasa sejalan dengan mereka? Itu perkara lain.
Pada intinya, saya akan mengajak Anda kepada Teori Kelas (Karl Marx) sebagai kesimpulan. Teori kritik Marx, atau yang lebih dikenal dengan teori kelas mengatakan bahwa ada dominasi oleh kaum borjuis atas kaum proletar. Dalam hal ini, kelompok LGBT bisa dianalogikan sebagai kaum proletar, sedangkan kelompok non-LGBT dilihat sebagai kaum borjuis. Artinya, ada dominasi kelompok non-LGBT kepada kelompok LGBT, yang dalam hal ini membuat kelompok LGBT termarjinalkan secara sosial budaya, mendapatkan kekerasan verbal dan nonverbal, dsb.
Dalam teori kritik, aspek yang paling penting adalah kuasa (power). Pierce & Dougherty (2002) mengatakan bahwa konsep kuasa berhubungan dengan kontrol dan dominasi, yang merupakan ide utama dari semua teori kritik. Kelompok yang mempunyai kuasa dan dominasi akan dapat melakukan perlawanan, dan saya berharap ada semakin banyak kelompok macam ini yang mengadvokasi kelompok LGBT di era ini. 

Jika ini terkesan terlalu liberal, maka izinkan saya untuk melempar balik kepada Anda sebuah pertanyaan: sebenarnya apa ideologi Indonesia saat ini?
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar


Benar – benar asing ketika aku menyatakan diri sebagai yang dicintai, oleh kanopi yang meneduhkanku. Ada kegundahan yang  memang belum mencapai stadium akhir. Berspekulasi ini itu. Ada prasangka baik, ada prasangka buruk. Aku lebih tidak tahu lagi perasaannya.

Panggil aku Ratna karena pasanganku adalah Galih, aku tak tahu aku siapa karena aku tidak tahu pasangan Arjuna. Yang ada hanya perasaan yang terlalu berlebihan, yang menggelikan. Malamku tak ada asa, panjang cerita, adanya putus asa. Terlalu malu, terlalu percaya. Tak ada berita datang, aku kecewa.
Kanopi
Kanopi
Kanopi
Ka.. ka.. ka.. Katastropik!

Biasanya aku terlalu terbiasa sendiri, tetapi tidak untuk kini. Harus ku akui, kadang ingin ku kembali ke masa saat tak tahu apa- apa. Walau rasanya hampa tapi aku tidak apa – apa. Sampai tiba waktu ketika dia menyentuhku lagi, dengan ramah dan menyenangkan, melupakan apa yang terjadi seharian.

Aku memohon agar kapalku tak terseret angin, karena pelabuhan sudah dekat. Ini sudah terlalu jauh untuk ku kembalikan. Sungguh susah untuk ku berjuang, karena setiap masa rasa ku menabrak karang.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Hari ini aku membuka mata, menatap dunia. Kesangsian terhadap segala yang terlihat membuat jiwa ragaku tak tenang. Aku mondar – mandir berusaha menemukan jawabannya. Aku berlari keluar ke alam bebas, yang ku temukan langit – langit berwarna cerah. Aku berlari lagi ke ujung yang lain, yang ku temukan adalah kerlap – kerlip lampu dunia dalam gelap. Aku berlari ke ujung yang lain, tapi salah, sebab tidak pernah ada ujung yang kutemui. Segala usaha yang kukerahkan untuk berlari terhenti tatkala aku tahu bahwa yang aku pijak ini tak berujung. Aku akan kembali lagi ke tempatku, sejauh kuasaku berlari dan berharap.
Sejak saat itu aku merasa ragu terhadap diriku, aku merasa kecil, aku merasa ada sesuatu yang melingkupiku. Aku juga tidak tahu – menahu tentang diriku. Aku merasa ada yang berteriak kepadaku, atau jangan – jangan aku yang berteriak terhadap dunia luar. Semua begitu ramai dalam benakku, tidak ada yang ingin diam maupun mengalah. Semua berebut ingin di dengar, dan pada gilirannya kemudian aku bertanya:
“Sebenarnya aku siapa dan terbuat dari apa? Siapa yang menciptakanku? Siapa pula yang menciptakan dunia? Apakah aku hidup atau mati? Apakah aku sadar bahwa aku hidup atau mati? Apakah aku harus tahu bahwa aku hidup atau mati? Apa sebenarnya hakikat hidup?”
Semakin aku mencegah maka ia semakin berteriak. Ia terus bertanya tanpa henti tentang apa yang tidak ia ketahui, tentang segala keraguan sebab ia merasa kecil dan hina. Kemudian, dengan apa aku menjawab kesangsian tak berujung ini?
Aku kembali melakukan perjalanan, kini ku lihat orang – orang berkerumun. Aku bertanya kepada salah satu di antara mereka:
“Apakah ada kekuatan yang lebih besar dari kekuatan alam? Apakah ada makhluk – mahkluk penjaga siang dan malam? Apakah ada tuntunan yang mengajarkan bahwa aku harus tahu tentang ini dan itu? Apakah ada sosok yang mampu menjelaskan padaku tentang kesangsianku? Apakah sosok itu juga akan mampu menjelaskan tentang awal dan akhir dari dunia? Apakah mungkin ada tempat lain selain dunia yang ku pijak?”
Aku kembali melakukan perjalanan. Di setiap perjalanan aku merasa semakin banyak bertanya. Aku tidak merasa semakin tahu, aku justru merasa semakin bodoh dan semakin gila. Aku gila bertanya, seperti orang – orang pernah menyebutku dengan sebutan itu: “Gila!!!”, sambil berteriak. Aku kini terbahak. Memang aku gila. Aku orang gila yang banyak bertanya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
A few weeks ago, Joko Widodo visited Suku Anak Dalam to make sure about the surveillance of smoke disaster in Sumatra was still in progress. Cek Endra as Chief of Jambi said that Jokowi is actually the first president who ever visited Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam, who also known as Orang Rimba Jambi feel so enthusiastic when they are given a chance to make a conversation with President of Indonesia.
Joko Widodo said that he would give more concern about isolated ethnic group, including Suku Anak Dalam. Thus, he visited Suku Anak Dalam to help them complete their primary needs of life. In that moment, Suku Anak Dalam hope that Jokowi build them an electricity network to enlighten their life in a forest. Joko Widodo then call for his minister to listening about the desire of  Suku Anak Dalam. Jokowi promise that he and government will give them a proper life including home and many services.
It is not a secret that many of people give many perspectives about what Joko widodo did to Suku Anak Dalam. Many give a positive respond, but the rest give critics and being sarcasm to all of Jokowi’s programs. This condition is advocated by media who have an authority to gain public opinion about news.
Some of media shared that many people really appreciated what Jokowi did, because Suku Anak Dalam seems so isolated, so that government should give more concern about the existence of them. But in the other hand, there are people who contra with Jokowi. They said that this visiting program is just an instrument to gain a positive personal branding of  Jokowi. They also said that this visiting program does not comes up naturally but already planned to make sure that Jokowi’s image and popularity is still on top.
            This condition, then emerge a question whether the perspective showed by media is really social perspective, or just the result of politics needs from internal media. It is not easy to us to define whether is real and whether is not because media blend and mix between the fact and the opinion. But we can learn it in variety of ways. One of the way is analyse the barriers that we have when we read a news from media.
            The barriers that Indonesian people have is that we accepted a news only from one source and we resist to look for another source. This will make an oversimplified opinion who will lead us to the extreme side. Another  source is needed to compare and check whether this source is credible or not. We can see the credibility of news by looking for the background of the institution of media, who is the founding father, who are the journalist, who are the editor, how they frame the news within their ideology, so on and so forth.

            By considering the factors above, we can decide our  behaviour in comment or respond to the news that comes to us. It is quite important because when we put our perspective and  opinion to the extreme side, it will probably emerge a conflict. All we have to do is keep our perspective  not to extreme side. Beside, we better  try to find out the value of the news rather than force our opinion to others.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

The failure or success of the state could be seen at the age of 90 – 100 years after the independence day of the state from colony oppression. Now, our state – Indonesia, have already stepped a 70 years old, a mature or maybe an old age considered to us as a person. Eventhough, a mature age did not guarantee a state to become as success as we thought. For instance in Indonesia, there are many distortions of  law, not only made by civilians but also by government. The distortion is such as a corruption, a murder, a drugs, an abortion, a sex out of marriage, and many distortion and crime that we still met in our daily life. The demoralization as consequences of the crime and distortion inevitably made us feel super anxious to the existence of our state, especially the endurance of state.
The endurance of state is one of the crucial aspect that state have and so that have to be guarded an saved by all elements of state. But when we reflect to Indonesia, it’s not so premature if we conclude that nowadays Indonesia lost its endurance of state little by little. The fact said that we are faced by this kind of this situations and most of people blame the government. In the other hand, it has to be a student who bring the solution. But where are the students and their brilliant ideas? Where are they when the state needs their helps?
From this we could see, to build and fix a state is not only did by government but the role of the students as future generation is needed. The students did not lose their consciousness to help a state fix a problem. Besides, they are the next generation that would hold power and authority, at least ten or twenty years later. If they ignore, then who will take the importance position of politics?
Considered to this affair, press student as the critical institution can be the beginning of a state endurance. This institution can also be a fasilitator and mediator for student who will show their ideas and aspiration. Press student as independent institution hold the control mechanism from the flow of information that will be received by students. Press student as the institution that have an authority towards media, hoped can be the agent of change who will help to gain our state’s endurance to become more better.
Press student better not only exist, but also shall be productive and give real contribution to the state. It is evident that Indonesia as our state need more contributions, but not only ideas and aspiration but also realization and action towards the ideas. This condition not even a jokes, because whether we conscious it or not, this generation nowadays only a “big-mouth” generation. This generation talk loudly but give no real-action.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Her aura is made of poetry, roses and sarcasm.

Follow Us

  • LinkedIn
  • Instagram
  • Facebook

Handcrafting

Go follow @bukakreasi on Instagram. Thx!

Blog Archive

  • ►  2018 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ►  2017 (8)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2016 (15)
    • ►  Desember (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2015 (5)
    • ▼  Desember (3)
      • Lovely Man: Karena Semua Orang Pantas Dicintai
      • Sebuah Luapan yang Segera Dilupakan
      • Penjelajah Waktu
    • ►  November (2)
      • How to Put Our Perspective in?
      • Student Press as The Beginning of State Endurances
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates