Instagram Facebook

Digna Tri Rahayu


Percaya atau tidak, kita adalah wartawan bagi diri kita sendiri. Hal ini menyangkut berbagai macam aspek kehidupan mulai dari ekonomi, sosial, politik dan agama yang sejatinya saling berkesinambungan. Dari segi ekonomi misalnya, kita bertanya pada diri kita terkait apa-apa saja yang ingin kita beli. Ada beberapa opsi, yaitu melakukan pembelian dengan perencanaan yang matang ataupun melakukan pembelian secara spontan. Misalnya, apabila ingin membeli sarapan (buat anak kos nih), ada yang udah berencana beli ayam goreng tapi ada pula yang yaudah lah adanya apa, ya itu yang gue beli.
Dalam konteks Indonesia, ini mungkin bukan persoalan yang memusingkan. Namun, bagaimana dengan konteks luar negeri? Atau pun jika di dalam negeri, bagaimana jika kita termasuk minoritas? Apakah semudah itu menemukan makanan  yang sesuai dengan apa yang kita inginkan seharusnya makan?
Kita ambil contoh orang Hindu yang kalo ngga salah nggak boleh makan sapi. Boro-boro makan rendang (yang terbuat dari daging sapi asli pilihan dan diolah oleh mamak dengan penuh cinta kasih), mau beli pentol aja mereka harus berpikir dua kali, jangan-jangan itu dibuat dari daging sapi. Hal ini benar-benar terjadi kepada seorang teman yang beragama Hindu. Sebut saja namanya Ni Putu (karena emang namanya Ni Putu). Waktu itu seusai belajar bersama di rumah seorang teman (ciye belajar), kebetulan ada abang jualan pentol lewat. Om pentol om. Kami kemudian memutuskan untuk membeli. Tentu saja tidak ada masalah bagi teman-teman non-Hindu, tapi ternyata tidak bagi Ni Putu. Disaat kami sudah menimbang dan memutuskan porsi untuk pentol, tahu dan siomay yang akan dimasukkan ke plastik berukuran tanggung warna putih, wajah Ni Putu tiba-tiba kurang bersemangat. Ia kemudian melontarkan satu pertanyaan yang mungkin menjadi salah satu dari unfamiliar question kepada abang penjual pentol: ini terbuat dari sapi, bang?, tanya Ni Putu. Suasana sempat freeze sejenak, termasuk kami (terutama saya). Ini benar-benar pertanyaan yang jarang diberikan oleh (calon) pembeli pentol kojek. Dengan agak tidak yakin si abang menjawab, iya neng ini dari daging sapi. Betapa semakin kuyu wajah Ni Putu mendengar jawaban penjual pentol tersebut. Ya sudah bang saya engga jadi beli, ucapnya dengan senyum kecut. Ia lantas meletakkan kembali plastik putih yang sudah sempat ia ambil.
Saya masih ingat betul reaksi saya pada waktu itu. Saya ingin memberitahu Ni Putu bahwa omg nonsense banget kalo pentol kojek seratusan gini terbuat dari daging sapi, paling banter juga daging ayam, namun tentu itu hanya berhenti pada tataran pikiran. Sebab, selain tidak ingin melukai harkat dan martabat sang penjual, saya juga tidak ingin mengobrak-abrik sistem kepercayaan yang sudah dianut semenjak lahir oleh teman saya ini. Mungkin dia ingin menjadi Hindu sejati dengan mematuhi nilai-nilai yang diharapkan oleh agama padanya. Seringkali, minoritas memang butuh kesabaran ekstra, seperti Ni Putu yang hanya bisa menelan ludah ketika melihat teman-teman lainnya melahap pentol seplastik gede. Sementara, si abang pentol tampaknya masih tak mengerti dengan apa yang terjadi hingga seorang teman akhirnya ambil suara, teman saya ini Hindu, bang. Engga boleh makan sapi. Si penjual pentol hanya mengangguk pelan. Sepertinya ia sedikit menyesal karena telah kehilangan satu pembeli. Meski nampak kecewa, tapi ya sudahlah.
Hal serupa juga dialami oleh teman saya yang lain ketika pergi ke Korea Selatan untuk audisi girlband mengikuti acara semi-akademik. Dia seorang wanita muslim dan berhijab (dan kpopers). Usai rampung mengikuti acara dan pulang ke Indonesia, ia dengan bersemangat menceritakan apa saja yang ia alami di sana, mulai dari udara dingin yang membuatnya menggigil (suhu di bawah nol derajat), melihat orang mabuk tidur di pinggir jalan, ketemu artis yang sedang melakukan shooting, hingga salah naik kereta dan akhirnya ketinggalan pesawat. Ia juga menceritakan betapa rasisnya orang Korea melihat wanita berhijab di tempat umum, juga susahnya mencari makanan yang tidak mengandung babi.
Lu tau ya, gue disana ngga sengaja makan mandu yang ternyata itu terbuat dari babi. Gue sedih banget, rasanya pingin nangis di tempat. Tapi apa daya, mandunya juga udah gue telen. Enak sih, tapi babi., ucapnya. Abis gue nyesel, akhirnya gue lebih selektif lagi pilih makanan. Pas di supermarket kan gue beli ramyun, nah gue pesen ke abang yang jual pokoknya gue beli ramyun yang no pork. No pork oppa, jebal (no pork sir, please). Dan lu tau kaga, ternyata dari sekian banyak ramyun yang di display di supermarket, cuma 2 yang ngga ada babinya. Cuma 2 cuy. Semuanya mengandung babi termasuk ramyun-ramyun yang dijual di Indonesia, tambahnya dengan ekspresi agak melotot. Saya cuma bisa manggut-manggut.
Mulanya saya belum dapat menarik kesimpulan dari kedua cerita tersebut. Namun lama-kelamaan saya menyadari bahwa mereka berdua sejatinya adalah seorang wartawan bagi diri mereka. Mereka bertanya kepada diri mereka sendiri: mengapa mereka tidak boleh memakan makanan dari jenis tertentu dan apa yang membuat mereka mematuhi aturan tersebut. Dari dua pertanyaan itu setidaknya saya mendapatan sebuah kesimpulan general bahwa mereka adalah bagian dari golongan tertentu dan mereka ingin tetap menjadi bagian dari golongan itu. Ya, ini adalah tentang identitas, di mana sesuai dengan sabda Rasulullah yang berbunyi: Barangsiapa yang meniru satu kaum, maka dia termasuk golongan mereka. (HR. Abu Dawud).
Dalam dunia sosial pun juga demikian. Ada tipe orang yang talkative dan mudah beradaptasi, sementara yang lain tidak. Fenomena ini benar-benar mudah dilihat, terutama di era semenjak munculnya media sosial seperti Facebook dan Instagram, juga instant messenger seperti LINE dan Whatsapp. Tidak sedikit dari mereka yang suka ngoceh tiada henti, hingga berujung pada bergunjing alias rasan-rasan. Rasan-rasan kini tidak saja hadir dalam bentuk tulisan, tapi juga gambar dan video. Persoalan trivial di Instagram seperti eh si A putus loh sama si B atau aduh anak ini sekarang lho suka ngeshare video-video politik hoax seolah tidak asing lagi di telinga kita. Satu pelajaran yang bisa dipetik dari fenomena ini adalah tentang bagaimana menempatkan diri dalam pergaulan. Kesadaran untuk menekan ego tidak semata-mata untuk menghindari diri kita agar tidak dicap sebagai tukang nyampah, tetapi juga untuk menghindari fitnah yang bisa ditimbulkan lewat kejadian tersebut. Dari sini kita kembali mempertanyakan kepada diri kita sendiri, sebenarnya siapa kita dan mengapa kita harus melakukan pembatasan ego ketika bergaul?
Tidak hanya pembatasan dari segi substansi yang dibicarakan saja, tapi ternyata ada pembatasan lain yang dialamatkan kepada golongan-golongan. Di dalam Islam misalnya, adalah suatu kewajiban bagi wanita untuk menutup aurat, yang tentu saja diimbangi dengan kewajiban pria dalam menundukkan pandangannya. (Lihat QS. An-Nur: 30-31). Ada pula aturan-aturan mengenai toleransi dan bagaimana batasannya dengan akidah, yang sering kali memicu timbulnya pergesekan sosial. Pergesekan ini utamanya terjadi pada negara dengan tingkat heterogenitas tinggi seperti Indonesia. Kemudian, apakah benar aturan dan pembatasan tersebut hanya perihal semu dan palsu, atau justru merupakan sesuatu yang sejatinya melindungi, pertanyaan tersebut (lagi-lagi) ditanyakan oleh diri kita sebagai seorang wartawan dan hanya diri kita sendiri yang akhirnya sanggup menjawab.
Pada akhirnya, kita kembali berkontemplasi tentang siapa diri kita sebenarnya, bagaimana kita harus menjalani kehidupan sosial, kemana arah kehidupan kita seharusnya berjalan dan bagaimana akhir dari kehidupan tersebut. Dan sebaik-baik wartawan adalah yang berhasil merekam banyak informasi tentang diri mereka sendiri sebelum beranjak untuk mengenali orang lain.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Dia indah meretas gundah
Dia yang selama ini ku nanti
Pembawa sejuk, pemanja rasa
Dia yang selalu ada untukku
Di dekatnya aku lebih tenang
Bersamanya jalan lebih terang
Kau jiwa yang slalu aku puja.

Penggalan lirik lagu “Teman Hidup” dari Tulus sejenak mengingatkanku pada kenangan di mana aku dan seseorang (yang selanjutnya kusebut sebagai teman hidupku) pertama kali bertemu. Adakah dari kalian yang merasa deg-degan ketika pertama kali bertemu dengan seseorang? Kalau aku tidak deg-degan, tapi bingung. Kenapa bingung? Jawabannya adalah karena kita  bertemu pertama kali melalui Facebook, bukan bertemu di dunia nyata.

FACEBOOK
Pada 22 Mei 2016 kita pertama kali dipertemukan oleh takdir melalui pesan di Facebook. Kalau kalian mengira bahwa dia yang mengirim pesan duluan, kalian salah. Akulah yang pertama kali mengirim pesan padanya. Pesan kukirim dengan menggunakan bahasa inggris (nggak tau kenapa saya kemalan banget pake bahasa inggris segala), yang intinya adalah menanyakan “siapa kamu?” dan “dari mana kamu tahu akunku?”.

Ini berawal setelah dia mengirim permintaan pertemanan di Facebook. Aku mulai bertanya-tanya mengenai siapa dia. Segera aku melihat profil dan foto-foto yang ditampilkan. Tentu tidak semua informasi dapat kuakses karena saat itu aku belum memutuskan untuk menerima permintaan pertemanannya atau tidak. Namun sejauh kuamati dia berdasarkan apa yang terlihat melalui Facebook, sepertinya ia bukan orang biasa. Dia pernah berkuliah di Insititut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (alias ITS) sebagai mahasiswa yang mengambil jurusan geodesi. Ia juga pernah menjadi Kepala Departemen di organisasi yang ia ikuti (re: BEM). Mayan lah, kece.

Dia pernah ke Jepang dan ke Jerman, dua dari sekian negara yang sangat ingin aku kunjungi setidaknya sekali seumur hidupku. Aku tidak begitu tahu apa saja yang ia lakukan di Jepang. Dari foto yang terlihat, ia seperti melakukan semacam penelitan. Sepertinya ia senang sekali di sana. Sebab banyak sekali foto yang ia unggah, terutama berkaitan dengan tempat wisata. Salah satu tempat wisata yang dikunjungi adalah studio Doraemon. Sebagai penggemar  serial animasi Doraemon, tentu aku merasa gemas. “Kampret banget ini bocah udah foto-foto di sana. Siapa sih dia?”, pikirku.

Kegiatan stalking kembali berlanjut. Menurut informasi yang ia tampilkan di Facebook, saat ini ia sedang berkuliah di Jerman. Ia mengambil jurusan Earth Oriented Space Science Technology di Technische Universität München, Germany. Aku sempet bingung, sebenarnya dia tuh kuliah di ITS apa di Jerman? Tapi kok di foto-fotonya dia udah lulus? Kegiatan stalking berakhir dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab.  Karena sudah tidak sabar ingin mengetahui kebenarannya, maka aku segera menerima permintaan pertemanannya.

Namun aku tidak langsung mengiriminya pesan, aku menunggu beberapa hari barangkali dia yang menyapa duluan. Kan malu ya, masak cewek nyapa duluan. Tapi ternyata penantianku bertepuk sebelah tangan. Dia ternyata tak kunjung menyapaku. Akhirnya malam itu langsung saja aku kirimi dia pesan di Facebook. Aku mengirim dengan bahasa yang sopan dan baku. Tentu saja, karena dia adalah orang asing yang belum kukenal. Usai pesan terkirim, aku dengan harap-harap cemas menanti balasannya. “Kalo kaga dibales gua bakalan......”

Cengkling! Ternyata pesanku dibalas tak lama setelah aku mengirimnya. Terus terang darahku mengalir deras. Aku deg-degan. “Wih dibales!”. Ia membalas pesanku dengan menggunakan bahasa inggris pula, dengan penulisan dan bahasa yang tak kalah baku. Aku membalas pesannya dengan menanyakan mengenai beberapa kegelisahanku yang sebelumnya sempat tak terjawab. Usai mengobrol agak banyak, barulah aku baru tahu bahwa yang ia lakukan di Jerman adalah melanjutkan kuliah S2. Wih, lagi ngelanjutin S2? Yakin? Kenapa wajahnya masih imut nggak S2 banget? Nggak paham ane.

Aku semakin penasaran dengannya tapi rasa kantukku tak dapat diajak kompromi. Di sisi lain, aku tak mau obrolan ini berakhir. Dengan agak nggak punya malu malu-malu aku mencoba meminta id LINE-nya barangkali ia berkenan dan ternyata dia dengan senang hati memberinya. Ia sepertinya juga ingin mengobrol lebih lanjut denganku. Apakah ini pertanda bahwa dia..... ah lupakan.

LINE
Semenjak itulah kami berkenalan. Aku banyak bertanya mengenai pengalamannya di  Jepang dan Jerman, juga sesekali bertanya mengenai kehidupan pribadi dan organisasi. Aku juga menanyakan bagaimana dia bisa mengetahui akun Facebookku dan kemudian memutuskan untuk mengirim permintaan pertemanan. “Aku tau Facebookmu dari si X, dia temenku SMP. Aku mulai stalking Facebookmu. Menurutku kamu tidak hanya cantik tapi juga menarik”. #tratakdungcess

Obrolan yang awalnya kaku dan menggunakan bahasa baku perlahan mulai mencair. Dia memang bukan tipe orang yang heboh dan humoris, tapi sejauh ini ia cukup bisa menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan. Dia juga bertanya mengenai kehidupan kuliahku dan sesekali kehidupan pribadiku. Aku kagum padanya, dan semakin kagum setelah saling berbagi banyak cerita dan pengalaman. Oh ternyata dia dulu gini ya. Oh ternyata sekarang dia gini ya. Hingga aku menyadari bahwa sejak saat itu aku merasa bahwa ia adalah candu. #eakk

LDR (LOOOOONG DISTANCE RELATIONSHIP)
Semakin hari obrolan kami semakin menarik. Kami mendiskusikan berbagai macam hal, mulai dari yang receh hingga yang dollar serius. Sesekali ia berbicara dengan menggunakan bahasa Jerman (meski kadang dicampur sama bahasa Jawa wkwkwk), yang kusambut dengan jawaban “ajarin aku bahasa Jerman dong? Dulu aku pernah bisa, tapi sekarang udah lupa karena ngga sering dipakai”. Lambat laun aku merasa bahwa masing-masing dari kami saling menyukai, hingga suatu saat aku tak tahan untuk menanyakan mengenai pertanyaan klasik seperti “kamu suka sama aku? Kalau suka tembak dong wkwkwkwkwk”. “Iya, nanti kalau aku pulang ke Indonesia ya? Aku nggak mau berkomitmen kalau engga face to face”. Aku sempat ragu-ragu untuk melanjutkan ini, namun ketertarikanku padanya meluluhkan itu semua.

Menjalin hubungan jarak jauh bukan perkara mudah, tentu saja. Perbedaan ruang dan waktu (selisih 5 jam) dan juga sinyal yang sering tak bersahabat membuat kami terkadang kesulitan berkomunikasi. Bagaimana tidak? Ketika ia berkegiatan, aku beristirahat; ketika dia beristirahat, aku berkegiatan. Belum lagi kalo di timeline instagram ada yg lagi upload sama pasangannya ughhh kita cuma bisa melipir. Tapi sebenarnya itu tidak sepenuhnya benar, sebab yang tidak menjalin hubungan jarak jauh pun bisa merasa seperti jauh satu sama lain. “Ini semua tantangan, kita harus bisa melewatinya”. #pret

WE MEET
Setelah menjalin hubungan jarak jauh selama beberapa bulan, akhirnya kami bertemu. Kamu tahu rasanya seperti apa? Rasanya seperti feses jenis bedegelen yang baru saja dikeluarkan dari rektum. LEGA!! SENANG!! Like literally i’m frickin happy because he does exist in this world. Dia mengajakku jalan-jalan ke Malll untuk nonton berdua (kencan standar kok, rek). Sebelum itu ia mampir ke rumahku dan berpamitan dengan mamak. “Ibu, ini anaknya saya curi sebentar ya untuk diajak jalan-jalan”, ucapnya. Aku cuma nyengir lalu spontan memukul bahunya pelan.
Ia tidak disini untuk waktu yang lama, lebih tepatnya hanya satu bulan. Hanya satu bulan waktu yang ia punya untuk kembali ke Indonesia. Selepas itu ia akan kembali lagi melanjutkan tahun keduanya di Jerman. Satu bulan itu menjadi waktu yang amat berharga bagi kita yag tiap detiknya amat kita syukuri. “Kok kamu cuma disini sebulan doang?” “bersyukurlah, sebab temen-temenku yang lain aja ada yang 4 tahun nggak pulang ke Indonesia”.

AYAH, SAHABAT, KEKASIH
Meski perawakannya imut, sebenarnya dia amat dewasa. Perbedaan umur kami hanya 2 tahun (tentu dia lebih tua), namun aku merasa bahwa ia seperti seorang ayah yang menjaga anaknya. Ia tak henti memberi nasehat jika aku keluar dari jalur yang seharusnya, ia juga peduli terhadap kesehatanku. Aku merasa nyaman dan terlindungi bukan iklan asuransi. Aku belajar banyak darinya, dari kedewasaannya dalam berpikir dan bertindak. Di samping dewasa, ia juga pendengar yang baik. Di kala aku butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahku, dia adalah orang yang tepat. Layaknya seorang sahabat, dia memelukku ketika aku sedih, dan memotivasiku untuk bangkit kembali. He is the best bestfriend ever. Sedangkan sebagai seorang kekasih, ia memang bukan tipe laki-laki romantis (aku menyadari itu), namun aku tidak memaksanya untuk menjadi romantis dan suka gombal seperti cowok pada umumnya. I let him to be him, because he did the same to me.

FINALLY
Tulisan ini tidak dibuat untuk ajang pamer atau semacamnya. Tulisan ini dibuat agar setidaknya masing-masing dari kami tidak saling melupakan bahwa sebelum kami bertemu kami benar-benar hanya orang asing satu sama lain. Begitu pula sebaliknya, ketika kami sudah saling mengenal semoga tidak ada yang merasa saling asing satu sama lain.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Beberapa pekan lalu kakak perempuanku membelikanku baju, oleh-oleh dari Jogja, katanya. Aku meraih baju tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Dengan senang hati kuterima kemeja lengan panjang dengan motif bunga-bunga itu. Usai menjelajahi tiap inchi dari baju tersebut, aku menyimpulkan bahwa itu bukan baju bermerek. Tidak ada cap merek yang biasanya menempel di bagian leher – seperti Névada, Rip Curl apalagi Joger (baju yang katanya khas Bali itu loh, padahal yg bikin juga orang Sidoarjo). Tidak apa-apa, aku tidak sedih. Baju yang kainnya agak tipis tersebut kumasukkan ke dalam lemari. Suatu kali akan kupakai ke kampus, pikirku.

Setelah sekian minggu, baju batik kembang-kembang yang didominasi warna putih tersebut mendapat giliran untuk ku pakai. (Sebelumnya juga sempat aku bawa sebagai baju ganti di Ngawi untuk PKL, tapi belum sempat dipakai). Aku meraih celana jeans biru dan kerudung hitam. Perpaduan yang lumayan, menurutku. Usai bersolek tipis-tipis dan mengoleskan minyak wangi ke tubuh, aku berangkat kuliah seperti biasanya. Tak ada yang istimewa selain tiba-tiba dosen memberikan kuis dadakan di kelas pada hari itu. (Tebak, siapa dosennya?).

Sejam, dua jam, tiga jam. Perkuliahan selesai. Setelah menerjang macet akhirnya aku sampai juga  di rumah. Segera kurebahkan tubuh sambil memejamkan mata sejenak, mempertemukan punggung dengan kasur setelah sekitar satu jam menempuh perjalanan dari kampus ke rumah. Seseorang menghampiriku dari belakang, ternyata kakakku. Ia mengambil tempat di sampingku. Kami mulai mengobrol santai, hingga ia mengomentari baju yang sedang menempel di badanku. Akhirnya baju ini dipake juga. Tadi kamu padukan baju ini dengan kerudung warna apa? Kerudung hijau sepertinya lumayan, tapi lagi aku pake. Eh tapi kalau tak liat-liat kok agak ndeso ya baju ini? Tipis juga kainnya. Maaf ya cuma bisa beliin baju kayak gini., begitu kira-kira ucap kakakku.

Katanya baju yang ia berikan untukku itu kelihatan ndeso. Ndeso itu yang kayak gimana? Apa dari motifnya? Warnanya? Kainnya? Atau karena belinya di toko murahan dan tidak ada mereknya? Sungguh tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai definisi ndeso. Aku tidak menanyakan lebih lanjut mengenai apa itu baju yang kelihatan ndeso, namun karena sudah hidup bertahun-tahun dengannya, aku sudah tahu bahwa yang ia maksud dengan ndeso adalah motif batik dengan perpaduan bunga-bunga tersebut. Renda-renda warna hijau yang ada di bagian pergelangan tangan dan bagian bawah baju tersebut juga tak luput dimaknai sebagai klambine wong ndeso. Bagaimana bisa yang demikian dikatakan ndeso? Embuh, takok o dhewe.

Memangnya semua orang desa menggunakan baju seperti ini? Memangnya orang kota tidak ada yang pernah memakai baju model dan warna yang begini? Kalau pun toh memang iya baju ini termasuk dalam kategori ndeso, memangnya kenapa? Apakah semua orang kota bajunya harus berbeda dengan baju orang desa? Dan apakah ada larangan orang kota untuk berpenampilan seperti orang desa? Memangnya orang kota bajunya harus yang seperti apa? Tiba-tiba saya menjadi bergitu reaktif, tapi dalam hati.

Setelah merenung dengan intensif bukan les-lesan selama sekian jam semenjak percakapan tersebut terjadi, aku mengambil konklusi bahwa ada tafsiran tertentu mengenai identitas orang desa vs orang kota melalui artefak yang digunakan. Bagi kakak saya (sejauh yang bisa saya pahami), orang kota ya sakjane menggunakan baju seperti orang kota, yaitu baju dengan desain-desain dan bahan yang premium (kalo perlu pertalite dan pertamax sekalian). Seharusnya ada perbedaan antara yang kota dengan yang desa. Taraf hidupnya kan berbeda, masak penampilan sama? Sebagai kaum urban metropolitan, identitas (yang berusaha ditunjukkan melalui baju) adalah sesuatu yang amat penting, yang seolah menjadikan orang kota disebut sebagai orang kota, dan orang desa disebut sebagai orang desa.

Pertanyaanku, siapa itu orang desa? Apa yang salah dengan mereka dan mengapa kita seolah berusaha membedakan identitas kita dengan mereka? Kalau orang desa hanyalah orang-orang yang tinggal di pedalaman kabupaten tertentu, maka dokter-dokter dan guru dari kota yang tinggal di sana juga orang desa, dong? Kalau orang desa adalah orang yang lahir di desa, maka es-bi-wai (re: SBY) seharusnya juga wong ndesohhhh. Ya, toh?Daaaaan seharusnya tidak ada yang salah dari mereka. Namun ternyata sebagian orang menganggap bahwa dikategorikan sebagai orang desa adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, dianggap tidak modern (mungkin) dan dianggap ketinggalan sepur tren.


Ya sudahlah, apapun yang terjadi, aku tidak perlu merasa sensi ketika seseorang mengatkan bahwa klambimu ketok ndeso. Baju batik kembang-kembang warna ijo yang lengkap dengan renda-renda di beberapa bagian ini, tetap indah di tubuhku; tetap syantik dan mempesona.  Bagiku, tidak ada istilah baju orang desa dan baju orang kota. Mereka sama-sama pakai baju. Itu intinya. Kalaupun mau membandingkan, bandingkan saja dari kualitasnya; atau modelnya; atau warnanya. Tak perlu membawa-bawa istilah ndeso maupun kutha, sebab argumentasi tentang padu-padan logikanya kurang greget. Tak perlu juga ada pernyataan yang menghakimi secara berlebihan terhadap penampilan seseorang karena pada dasarnya itu semua adalah tentang taste.Gitu, sih.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Her aura is made of poetry, roses and sarcasm.

Follow Us

  • LinkedIn
  • Instagram
  • Facebook

Handcrafting

Go follow @bukakreasi on Instagram. Thx!

Blog Archive

  • ►  2018 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ►  2017 (8)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2016 (15)
    • ▼  Desember (3)
      • MENJADI WARTAWAN UNTUK DIRI SENDIRI
      • TEMAN HIDUP
      • KLAMBIMU KETOK NDESO
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (5)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates