Recall 2016

by - Mei 05, 2016

Photo cr: Telekainetic.

Aku terjerembab pada gravitasi ranjang. Ribuan titik terang yang seharusnya bisa kutemukan kini mendadak hilang. Fungsi neuronku benar-benar mandek, tidak cukup sanggup untuk menemukan solusi bagi pemecahan mata kuliah ini. Bukan, ini bukan tugas mendebat-kusirkan pemikiran Hegel atau Heidegger. Maksudku, ini lebih dari itu. Bagaimana bisa aku menemukan tempat percetakan yang melayani penjilidan hard cover dalam waktu 6 jam sebelum deadline pengumpulan. Ini gila.

Tapi ada yang lebih parah dari (sekedar) membahas tugas kuliah. Aspek hidupku lebih luas daripada itu. Banyak yang kupikirkan, bahkan termasuk yang tidak harus. Sungguh konyol. Aku mengeruk guling dengan damai, memeluknya barangkali ada kenyamanan yang ku dapat.

Ketika sedang berkutat dalam segala permasalahan semu yang tak jelas ini, lampu kamar padam. Aku tidak mengutuk pegawai kelistrikan. Yang aku sesalkan adalah mengapa segalanya menjadi gelap dalam waktu yang bersamaan, tak hanya otakku tapi juga ruangan ini.

Sejalan dengan padamnya lampu kamar yang pada mulanya memang remang-remang, otakku menerawang. Bulu kuduk pun mulai meremang. Bukan, ini bukan kode munculnya hantu atau sejenisnya. Maksudku, ini lebih dari itu. Yang datang kali ini adalah ingatan, atas seseorang yang mungkin pernah menjadi pagi bagi matahari, atau malam bagi bulan.

Pikiranku mengais memori lampau. Yang kemudian muncul sebuah adegan dimana perasaan lega bergelayut manja. Tapi itu hanya sejenak, sebab kutahu bahwa kelegaan itu meninggalkan kerapuhan yang sulit hancur. Ia menggantung, bagai peribahasa hidup segan, mati tak mau.

Sial. Aku kembali merutuki nasib. Kali ini aku sedikit menyalahkan petugas kelistrikan, sebab sudah satu jam lampu ini tak kunjung menyala. Sementara, deadline tugas kuliah tinggal 5 jam lagi. Aku harus berbuat sesuatu.

“Ra, tempat penjilidan hard cover yang masih buka jam segini dimana ya?”
Aku menelepon seorang kawan.

“Lu pikir pekerjanya mesin yang ga butuh istirahat? Ya kali anak ITS kaga ada istirahatnya. Gue tidur. Lu gila bangunin gue jam segini. Besok gue presentasi pemasaran.”
Klik! Telepon terputus.

Geez... bahkan sahabat bisa menjadi galak disaat seperti ini. But, wait... ITS! Bukankah di dekat ITS ada penjilidan 24 jam? Astagaaaaa! Aku bahkan tak mampu mengingat hal ini. Aku melompat dari ranjang. Tangan kiriku meraih flashdisk dan dompet, sedang tangan kananku memasukkan telepon genggam ke kantong celana. Segeralah aku bergegas menuju tempat penjilidan. Niatku sempat melemah, mengingat ini adalah dini hari. Tapi, ah persetan. Aku percaya esok justru akan jadi neraka yang nyata kalau hari ini aku tidak bergegas. Karena dosen tak pernah tanggung-tanggung memberi diskon pada yang terlambat mengumpulkan tugas.

Suasana dini hari benar-benar sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Untungnya lampu jalan tidak turut padam. Aku menengok ke layar smartphone, hmmm lima derajat celcius. Tak hanya sepi, tapi juga dingin. Sambil merapatkan jaket, aku mengambil langkah sedikit berlari. Suara-suara aneh sempat melewati gendang telinga, namun aku berusaha fokus pada tempat yang ku tuju. Menjadi indigo di saat-saat seperti ini sungguh tidak mengenakkan.

Beberapa langkah lagi aku memasuki gerbang ITS. Tulisan “Instutute Technology of Seoul” terpampang jelas. Bangunannya begitu megah. Namun aku tidak pernah berniat untuk menimba ilmu disini. Semenjak awal aku sengaja menghindari bertemu dengan rumus-rumus rumit. Hidup manusia sudah rumit, mengapa harus ditambah-tambah lagi? Tidak masuk akal, bagiku.

Dari jarak beberapa meter aku mendengar suara orang berbincang. Mungkin mahasiswa atau semacamnya. Oh, tapi tidak. Mereka berasal dari dunia lain, dan aku tidak akan menjelaskannya. Aku tidak akan mengganggunya. Semoga mereka tidak melihat ke arahku. Aku lantas berlari, berlari sungguhan. Bukan takut pada mereka, namun takut kalau-kalau tempat penjilidan sudah tutup. Cerobohnya, aku terantuk batu yang cukup besar hingga terperosok dalam kubangan. Untungnya tak berair.

Aku sempat kehilangan fokus sejenak. Hingga suara gesekan sepatu dengan tanah berumput lamat-lamat terdengar semakin jelas. Ada yang mendekat, dari arah punggungku. Sial, makhluk dari dunia mana lagi ini, pikirku. Ia mendehem, membuatku kepalang tanggung untuk tidak menoleh. Tapi belum sempat aku menoleh, ia telah menunjukkan identitasnya.

“Gadis macam mana yang berkeliaran malam-malam begini hingga terperosok masuk kubangan?”

Aku menoleh. Tidak salah lagi, ia memang manusia. Tapi, dari sekian banyak wajah, mengapa harus wajah ini yang kulihat? God, can I just escape from this situation?

To be continued..

You May Also Like

0 komentar