Pada Mulanya Saya Ateis

by - Mei 11, 2016


Pada mulanya saya ateis. Sebab kata orang-orang, Tuhan itu tidak ada. Dan saya percaya itu. Keberadaan Tuhan terlalu abstrak, tidak logis, tidak empiris (setidaknya menurut saya). Saya hanya percaya pada hukum alam, bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan mekanismenya.

Lagipula, siapa peduli dengan keberadaan Tuhan? Saya tidak mau pusing-pusing memikirkan hal-hal ruwet seperti itu. Cukuplah saya hari ini bisa makan, tugas kuliah selesai, dan tidak ada masalah dengan pacar (eh, btw saya tidak belum punya pacar). Itu.

Kalaupun saya percaya Tuhan, saya masih bingung. Sebab Tuhan hobi menyelinap di berbagai agama. Saya masih harus dipusingkan dengan perihal memilih agama mana yang tepat. Belum lagi ritual-ritual menjemukan yang harus dijalankan. Sungguh, saya tidak mau keriput dan terkena penuaan diri hanya karena terlalu banyak mikir. Masalahnya, biaya pengobatan salon (beserta krim-krimnya) semakin mahal dari hari ke hari. Tekor, gengss.

Kalaupun saya percaya Tuhan dan saya beragama, percayalah bahwa itu semua sekedar doktrin. Itu semua semata-mata hanya untuk mengisi kolom agama pada kartu identitas, juga agar dipandang normal di kalangan masyarakat. Ya, saya tinggal di Indonesia, sebuah negara yang “mewajibkan” warga negaranya beradab dengan cara beragama. Tolol. Bukankah urusan agama adalah urusan saya dengan Tuhan? Tolong pisahkan!

Toh tanpa beragama, saya tetap baik-baik saja dengan kehidupan saya. Sebab saya mengikuti norma-norma sosial yang berlaku. Selama saya tidak mematuhi itu, saya tidak akan bermasalah. Sudahlah, hidup itu yang praktis-praktis saja. Yang gampang tidak usah dibikin ribet.

Kalian boleh marah dan memaki-maki saya. Saya tidak peduli. Lagipula, apakah kalian benar-benar bertuhan dan beragama? Kalian boleh kebakaran jenggot karena merasa bahwa Tuhan memang ada, dan agama kalian yang paling benar. Tapi, bagaimana tanggungjawab kalian terhadap Tuhan kalian, terhadap agama kalian? Sejauh mana kalian bisa membuktikan itu? Bukankah kalian semua hanya orang yang terdoktrin oleh dogma-dogma yang mengatasanamakan Tuhan dan agama? Hati-hati loh. Itu bahkan lebih berbahaya daripada ateis. Belum lagi kalau kalian tidak bisa konsisten dengan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Ujung-ujungnya, kalian hanya akan mempermalukan ajaran Tuhan yang suci. Eakkkk.

Nah, gimana? Masih yakin mendaku diri sebagai yang bertuhan dan beragama? Atau pilih jadi ateis saja seperti saya? ^____^

Mungkin banyak orang yang dongkol dengan ilustrasi diatas. Jangankan kalian, saya saja yang bikin juga merasa jengkel, kok. Ilustrasi diatas memang sengaja diciptakan sebagai bahan refleksi, bahwa ternyata selama ini hidup kita terlalu praktis. Kebanyakan dari kita mungkin menempuh sesuatu yang kita anggap enak, bukannya mencari sesuatu yang hakiki, yang benar dan yang seharusnya.

Begitu juga masalah tentang ketuhanan dan keagamaan. Bagi kita yang tinggal di Indonesia, adalah sesuatu yang tabu jika kita tidak memeluk suatu agama, ya minimal di KTP lah. Apalagi pemerintah juga seolah “menyiratkan” pesan bahwa Indonesia adalah negara yang bertuhan dan beragama. Salah satunya jelas terlihat pada pancasila sila pertama yang berbunyi blablabla.... (semoga masih ingat).

Selain sila pertama yang saya ucapkan dengan lafadz blablabla tadi, ketersiratan pemerintah juga terlihat melalui cacat pikir seperti “di Indonesia, ada 5 agama yang diakui. Yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha (baru-baru ini ditambah dengan Kong Hu Chu)”. Padahal faktanya, harusnya tidak ada pembatasan agama, kan? Indonesia tidak hanya mengakui beberapa agama saja, namun mungkin sejauh ini memang hanya dapat mengakomodasi lima-enam agama saja. Tapi celakanya, propaganda seperti ini sudah saya dengar semenjak Sekolah Dasar dan sampai saat ini saya masih berusaha move on dari propaganda tersebut. Bagaimana bisa terjadi hegemoni semacam itu tidak akan dijelaskan disini.

Nah, dari beberapa agama tersebut diatas, terlihat ada satu agama yang menjadi primadona, sebab paling banyak pengikutnya. Ya, islam. Akhir-akhir ini jumlah manusia-manusia yang mengaku beragama islam semakin meningkat. Berapa jumlah para pemeluk agama islam di Indonesia? Tanpa perlu menyebutkan jumlahnya secara pasti, saya dengan lantang meneriakkan: BANYAK DAN MAYORITAS!! (Anda bisa googling sendiri, deh).

Namun, selayak apa kebanggaan kita terhadap ke-banyak-an dan ke-mayoritas-an atas kuantitas tersebut? Bukankah seharusnya quality over quantity? Yang berarti bahwa seharusnya kualitas haruslah mengungguli kuantitas. Tapi nyatanya? Banyak kita lihat muslim kekinian yang tidak menunjukkan keislamannya, atau menunjukkannya dengan cara yang kurang tepat.

Akar permasalahannya (menurut saya) ada dua: mereka belum paham dan atau mereka tidak berusaha memahami (secara komprehensif). Buntut-buntutnya, mereka akan dengan mudah tergolek lemah ketika dihadapkan dengan premis-premis dari kelompok yang tidak beragama dan tidak mempercayai Tuhan. Atau barangkali para muslim kekinian Indonesia, (tidak termasuk saya), sudah benar-benar meninggalkan kepercayaannya atas Tuhan? Kalau tidak, syukurlah. Tapi kalau iya, siaga satu!

Hmmm kira-kira apa penyebabnya? Bagaimana dengan mudah keyakinan tersebut tanggal?



To be continued. – dibuat dan diposting pada Rabu, 11 Mei 2016 pukul 20:30 WIB (Waktu Indonesia Berak).

You May Also Like

5 komentar