Life is About to Reveal Something

by - Mei 14, 2016

(Baca dulu entri sebelumnya yang berjudul Pada Mulanya Saya Ateis)

Life is about to reveal something. Dalam hidup, kita berusaha menyingkap fakta-fakta dan mencari kebenaran. Namun, itu semua tidak dapat dicapai kecuali kita menggunakan akal kita untuk berpikir dan menemukan relasi atasnya. Hal ini juga berlaku ketika kita mencari keberadaan Tuhan dan kebenaran ajaran agama-Nya. Tanpa akal, kita tidak akan dapat menyingkap sesuatu yang luar biasa. Tanpa akal, kita tidak dapat mendekati kebajikan. Dan paling parahnya, tanpa akal kita tak ubahnya seperti hewan. Sehingga, untuk menemukan Tuhan, kita harus menggunakan akal.

Kepada para ateis, semi-ateis, dan kader-kader ateis (yang dalam hal ini saya sasar secara langsung), dengan hormat saya tidak bermaksud mengatakan bahwa panjenengan semua tidak mempunyai akal hanya karena tidak mempercayai Tuhan dan tidak beragama. Whoaaa, tentu saja salah. Yang ingin saya sampaikan adalah Anda memperlakukan akal Anda dengan kurang tepat. Potensi akal yang Anda miliki seharusnya mampu menjangkau pemikiran mengenai sesuatu yang tidak hanya bersifat material, tapi juga imaterial. Namun Anda kepalang gengsi untuk sekadar mengakui keberadaan Tuhan, apalagi menyembahnya.  Kecerdasan dan kejeniusan Anda membuat Anda terlihat naif, sebab Anda tidak mampu mengalahkan ego pribadi Anda untuk mengakui bahwa ada entitas yang menciptakan dunia (ya, termasuk Anda sebagai salah satu ciptaannya). Kalau kepada Tuhan saja Anda tidak percaya, bagaimana mungkin Anda mau repot-repot beragama? Yhaaaa, boro-boro agama, Tuhannya aja dianggap tidak ada kok.

Memang begitulah keyakinan mereka (para panjenengan  yang saya sebutkan di atas). Saya bisa memahami mengapa mereka bersikap demikian. Saya tidak berusaha memaksa mereka untuk mempercayai Tuhan. Saya hanya mengetes mereka, apakah pendapat saya cukup logis atau tidak, sebab mereka sangat menjunjung tinggi kelogisan. Dengan demikian, satu-satunya yang mereka percayai adalah hukum alam, bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan mekanismenya. Lhooo, saya ini tidak bilang bahwa mekanisme alam itu tidak berjalan. Saya setuju bahwa segala sesuatu berjalan sistemik dan sesuai dengan ketetapan-ketetapan alam. Mulai segala sesuatu yang berhubungan dengan penciptaan, perjalanan hingga kemusnahan dunia, itu semua sudah merupakan konsekuensi logis dari berjalannya alam semesta. Namun, kalau ditarik lebih jauh lagi pastilah ketetapan-ketetapan itu ada yang menciptakan. Bukankah tiap segala sesuatu ada yang menciptakan, dude? Poin penting inilah yang seolah luput (atau mungkin sengaja diluputkan) dari pandangan mereka, bahwa keberadaan entitas pengatur segala hukum alam itu tidak diperhitungkan.

“SAYA MASIH TIDAK PERCAYA DENGAN TUHAN!” (ya biasa aja keleus gausah pake caps). Kan, ya mustahil kalau ada sesuatu yang berdiri sendiri tanpa diciptakan? Kayak gimana ya, ya kayak gak logis aja gitu.”

Ya itulah mengapa ia disebut Tuhan. Kalau seandainya masih ada yang menciptakannya, tentu ia bukan Tuhan. Kalau seandainya ada yang kekuatannya lebih besar darinya tentu ia belum dapat disebut Tuhan. Kalian hanya dapat menyebutnya Tuhan ketika ia sudah berada pada tataran final. Final dalam arti bagaimana? Final dalam arti Maha Segalanya. Maha Menciptakan, Maha Berkuasa, Maha Berkehendak, dan maha-maha lainnya. Kalau ia masih belum maha, maka ia bukan Tuhan.

“Tapi, Tuhan itu nggak kelihatan. Tidak bisa dilihat secara empiris. Terus kamu beranggapan bahwa saya harus menyembah sesuatu yang bahkan gak keliatan? Jangan-jangan kamu yang sesat karena nyuruh-nyuruh saya menyembah barang ghoib!”

Waduh, pengen melihat wujud Tuhan secara empiris? Tsadeest gilsss! Tuhan itu berada di luar ruang dan waktu, sementara kita selalu berada dalam konteks ruang dan waktu. Sama seperti yang diucapkan Goenawan Muhammad, bahwa Tuhan berada di luar konsepsi manusia. Intinya, ya mustahil, neng. Selain mustahil, ini merupakan bentuk kesombongan. Keinginan manusia untuk melihat Tuhan secara empiris, secara tidak langsung juga menunjukkan kebodohan mereka. Logikanya gini, kalau kalian tidak mampu melihat matahari, bagaimana kalian bisa melihat pencipta matahari? Sumpah, tak jamin awakmu durung-durung wes mati dhisikan.

Sampai sejauh ini, pasti masih ada yang tidak percaya dan seolah bisa hidup tanpa Tuhan. Hanya karena Tuhan tidak nampak, kemudian ia bersikap semena-mena, sombong, merasa bahwa dia akan berhasil dengan usahanya sendiri, dengan kerja keras, dan hanya percaya pada hukum-hukum alam. (kerja keras memang harus, tapi ga boleh sombong. Poinnya ada pada kata “sombong”. Oke?). Lagipula, seberapa besar kalian mampu berkuasa atas diri kalian? Fir’aun yang notabene raja saja di akhir hayatnya sadar kalau ia hanya makhluk lemah (bahkan sampe ampun-ampun). Nah, kalian? Bayar UKT aja masih minta orang tua, gitu mau sombong? Ya maksud saya, tetaplah menundukkan kepala. Bagaimanapun, keberadaan kalian sangat kecil. Kalian tak ubahnya seperti seupil rinso dibanding Laut China Selatan (sorry, maksudnya sekecil atom dibanding alam semesta). Kalau masih mau sombong dan berbangga hati tanpa mengakui Tuhan, hmmmm edyaaan. You wanna be Fir’aun 2.0? Hayati lelah melihat kalian.

“Aku gak perlu Tuhan dan ajaran-ajarannya, kan sudah ada norma-norma sosial? Selama aku mematuhi itu, hidupku aman”.

Benar, norma-norma sosial memang perlu dipatuhi. Tapi, yang namanya buatan manusia kan pasti ada kelemahannya. Bagaimanapun, kemampuan manusia itu terbatas. Belum lagi tercampur-campur dengan ideologi-ideologi manusia yang ujung-ujungnya berpihak kepada......(sudahlah, lagi nggak mau ghibah, takut baper). Manusia memang boleh bikin teori dan norma-norma dengan menggunakan akal, memang harus menggunakan akal malah. Tapi yang perlu diingat, manusia mempunyai limit atau batasan terhadap kemampuannya. Artinya, ada sesuatu yang tidak dapat kita tentukan secara adil, sehingga, kalian tetap butuh pedoman yang kompleks dan komprehensif, yang bersumber dari Tuhan. Sebab, Tuhan Maha Tau, Maha Pintar, Maha Cerdas, Maha Sophisticated, dan Maha Jenius. Make sense?

Pada intinya, Tuhan itu ada dan dapat dibuktikan dengan akal. Keberadaan Tuhan memang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, oleh sebab itulah Tuhan memberikan kita petunjuk-petunjuk yang dapat dijangkau dengan akal manusia. Karena melalui akal, manusia dapat menemukan kebenaran. Maka, apakah kau tidak menggunakan akalmu?

Saya nulis begini bukan karena saya benci orang ateis in person. Nooo! Saya tidak mengecam orangnya, saya hanya tidak setuju dengan pemikirannya. Secara sosial, saya akan tetap baik dengan mereka. Kalau mereka mencret, saya siapkan entrostop; kalau mereka minta beliin bensin premium, saya kasih pertamax; kalau mereka fakir kuota, saya kasih tathering wi-fi;. Kurang baik apa coba? Asal jangan minta jodoh ke saya, karena saya sendiri juga belum nemu. Sekian.


To be continued – Tulisan ini dibuat dan diposting pada 20:50 WIB, dalam kondisi perut koleps akibat terlambat sarapan.

You May Also Like

2 komentar