Instagram Facebook

Digna Tri Rahayu

Sadarkah, bahwa kita hidup di zaman dimana orang-orang  menyerukan “BERANTAS KEKERASAN!” tapi mereka sendiri (baik secara sadar atau tidak sadar) telah melestarikan bentuk kekerasan lain. Ya, kekerasan verbal. Sungguh paradoks.
Kawan, perlu kita ketahui bahwa bentuk kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga non-fisik. Jangan bangga dengan meneriakkan "ANTI KEKERASAN" tapi ternyata sikap dan ucapan kita sendiri masih keras dan kasar. Perang-perang di media sosial adalah bukti nyata dari kekerasan non-fisik (mental dan verbal). Setiap hari, ratusan bahkan jutaan orang melakukan produksi dan reproduksi kekerasan verbal di media sosial, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram dan masih banyak yang lainnya. Bullying terjadi tanpa peduli waktu dan tempat. Hujatan dan protes keras dimana-mana. Kata-kata kotor seolah dilempar bebas ke udara.
Banyak yang berteriak-teriak: “MORAL BANGSA SUDAH HANCUR! SAATNYA EDUKASI EDUKASI EDUKASI! PENDIDIKAN ITU PENTING!”, tapi banyak pula dari mereka yang gagal mengedukasi dirinya sendiri. Mirisnya adalah kita ingin ada perubahan namun kita sendiri lah yang jurtru bebal tak mau berubah. Lalu, bagaimana kita bisa mengedukasi orang lain jika diri kita sendiri termasuk orang yang tidak well-educated?
Berkata atau berkomentar kasar tidak akan membuat kalian terlihat lebih benar atau lebih piintar. Alih-alih terlihat lebih benar atau pintar, kalian justru terlihat menggelikan. Kalau pun terdapat berita/informasi yang kurang menyenangkan dan memicu perang, berkata kasar juga bukan hal yang serta-merta dibenarkan. Yang dimaksud kasar disini adalah yang berasosiasi dengan kata-kata makian yang menyerang keadaan individu (ad hominem), bukan menyerang argumen yang dibawa.
“Lho, kan setiap orang punya kebebasan, lagian ini kaun juga akun gue, mau apa lu? Gue tampol nih!”. Tentu, semua juga tahu bahwa setiap orang punya kebebasan. Namun bukankah kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain? Bayangkan seandainya setiap orang berlaku sesuai apa yang diinginkan, sudah pasti dunia akan tidak karuan. Kebebasan yang mutlak hanya ada dalam teori, sementara dalam praktiknya kebebasan kita tetaplah dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Pembatasan kebebasan adalah sebuah wujud adanya kebebasan. Kalian bisa tidur tenang sebab ada batasan yang dipegang tetangga kalian untuk tidak menyetel musik keras-keras. Bayangkan jika kebebasan (dalam praktiknya) diterapkan secara mutlak, maka kalian tidak akan bisa tidur karena tetangga kalian setiap hari berisik tanpa kenal waktu. Menyetel musik sebenarnya boleh saja, hanya saja tempat dan waktunya perlu diperhatikan. Inilah kemudian yang disebut dengan kebebasan yang bertanggungjawab. Hal ini agaknya kelihatan sulit, namun hanya dengan begitu lingkungan sosial bisa hidup dengan damai.
Begitu pula dalam berkomunikasi secara verbal. Apabila kita tahu hakikat kebebasan, maka kekerasan verbal setidaknya bisa ditekan. Pada saat tertentu mungkin kita geregetan ingin berkomentar kasar terhadap fenomena yang memang menjengkelkan dan memicu kemarahan; kita seolah punya hak untuk menghujat dan mengata-ngatai. Tapi kemudian pertanyaannya, siapa yang mengizinkan? Siapa yang menyuruhmu berbuat demikian?
Menurut Freud, ini dinamakan id, yaitu dorong instingtual yang ada di alam bawah sadar untuk melakukan suatu hal. Id punya sifat liar (hewani) sehingga harus dijinakkan oleh unsur lain dalam diri manusia yang dinamakan superego. Superego ibarat “suara Tuhan”, ia bertugas sebagai polisi diri yang mengingatkan diri kita untuk tidak tunduk pada id. Sebab kepatuhan yang hakiki pada id akan menimbulkan kerusakan. Di antara dua komponen ekstrim ini, adalah komponen terakhir yang dinamakan ego. Ego adalah komponen sadar, yang tugasnya adalah menyesuaikan kebutuhan id dan superego. Ego berhadapan langsung dengan realita, itulah sebabnya ia mempunyai tugas untuk memutuskan. Apabila ego mengizinkan id berkeliaran dengan liar, maka yang terjadi adalah seperi sekarang ini: kekerasan verbal dimana-mana. Seimbangkan id, ego dan superego, dengan begitu akan tercipta iklim komunikasi yang sehat.
Banyak orang yang berargumen tanpa tau adab yang benar, alias semau gue. Sebagian kita mungkin tidak peduli, tapi sebagian lainnya ingin mencari solusi. Kekerasan verbal bukan permasalahan sederhana, ia bisa menyerang mental dan bahkan berujung pada kematian. Kelihatannya memang simpel, kita hanya berkomentar sebaris-dua baris saja. Tapi, sebaris-dua baris jika dikumpulkan lama-lama akan menjadi satu paragraf, lalu satu halaman, lalu satu chapter, hingga jadilah satu buku penuh yang isinya adalah hujatan-hujatan dan kata-kata yang menyakiti.
Pun, jangan dikira netizen adalah orang yang selamat jka dibandingkan dengan korban yang ter-bully. Karena apabila ditarik lebih jauh lagi, netizen yang suka marah-marah dan berkomentar kurang pantas sejatinya telah memberi makan sistem saraf yang ada di otak mereka sendiri dengan energi negatif, dimana hal tersebut tentu memberikan efek yang negatif pula dalam bersikap dan mengambil keputusan. Efek tersebut tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, tapi kemungkinan akan didapati pula pada orang-orang yang ada di lingkaran mereka. Jika energi ini terus menerus direproduksi, dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin tatanan sosial akan mengalami kerusakan.
Kemarahan yang dilontarkan dalam komunikasi secara langsung (face to face) cenderung lebih sulit untuk dikendalikan karena tidak bisa ditarik kembali (unrepeatable), beda halnya  dengan komunikasi yang terjadi melalui perantara. Di media sosial, kita masih punya pilihan untuk  mengedit kembali pernyataan kita sebelum dibagikan ke khalayak. Nah, apabila ada pilihan untuk meninjau kembali, seharusnya besar pula kemungkinan pernyataan-pernyataan negatif tersebut diminimalisir, bukan? Ini menjadi nilai plus bagi media sosial, jika dan hanya jika kita mengerti bahwa pilihan itu ada. Jika dan hanya jika.
Maka dari itu, bersosial media-lah dengan cerdas. Kalaupun ingin berargumen, berargumenlah dengan kepala dingin. Kemaslah pesan dengan bijaksana namun tetap tegas. Lebih bagus lagi apabila disertai dengan solusi. Jangan sampai kebebasan menjadi kebablasan. Lakukanlah refleksi terlebih dahulu, karena automatic thought (aksi yang cepat/otomatis) akan menjerumuskan kita pada lembah kebencian. Apabila tidak mampu berkomentar yang tepat, maka lebih baik diam/tinggalkan. Mau sampai kapan buang-buang tenaga?
The more you response to negative people, the less peaceful your life will become. Spread a good vibe or remain silent.

Senin - 14 Agustus 2017, 16:30 WIB.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Surabaya tak pernah mati. Ia hanya berpindah dari subuh ke subuh yang lain. Masih sama seperti hari sebelumnya, aku terperanjat melihat high-heelsku. Ia tergeletak di pojok pintu, kukira tikus. Aku fobia tikus, terutama tikus negara. Seseorang menggedor kamarku pelan, ternyata bukan siapa-siapa. Sudah sepagi ini tapi mabukku tak kunjung hilang. Sial.

Sebuah notifikasi muncul di layar hp mulusku, iPhone baru.
“Gimana hari ini? Dapet banyak?” Ah, taik! Kenapa wanita tua ini selalu menggodaku pagi-pagi dengan pertanyaan yang sama?
Kau diam saja, bego! Aku sedang mencarikanmu uang supaya namaku tak lagi sederet denganmu di Kartu Keluarga”, balasku, setiap hari seperti itu. Rasanya ingin kujadikan template saja supaya tak perlu mengetik panjang.

Kuhapus sisa makeup semalam dengan tangan lemas. Aku mengecek dompet. Makin tipis. Aku ragu memutuskan untuk membeli lingerie edisi terbaru di salah satu toko kesukaanku. “Pokoknya aku harus merogoh banyak tip, sayang sekali kalau pejabat seperti itu tidak dimanfaatkan.”

Hari ini kuputuskan untuk ke wisma agak pagi. Aku ingin mengobrol dengan Mbak Indri tentang lelaki yang mencariku kapan hari. Bukan, bukan tua bangka yang ingin kuporoti, ini lain lagi. Kata Mbak Indri perawakannya gagah, rambutnya cepak, hidungnya mancung dan kumis tipisnya kelihatan menggoda. Aku masih tak menemukan jawabannya meski sudah berpikir dari pagi hingga pagi lagi.

“Waduuuhh, itu belahan dada kamu apa-apaan, Sila? Makin berani aja”, sapa Mbak Indri sejenak setelah aku masuk ke ruangannya. “Gimana, Mbak? Udah tau belum siapa yang nyari aku kemarin?”, tanyaku.
“Tahu, kok. Dia kerja di bank depan ternyata, cuman emang nggak pernah liat, mungkin pegawai baru kali, ya? Tunggu aja, dia katanya mau ngobrol sama kamu ntar malem”.
Alis mataku sejenak berkerut. Memangnya ada yang berminat pada gadis sepertiku, yang tidak jago-jago amat di ranjang.
“Sil, jangan lupa jenguk ibumu. Sebelum lebih parah keada...”, ucap Mbak Indri, pelan.
“Bedebah! Awak tak peduli mbak”, aku memotong perkataannya.
“Sila... Jangan begitu, ndhuk. Beliau memohon, katanya kangen sekali sama kamu”.
Aku melenggang keluar, telingaku panas sekali.

Beberapa batang rokok habis sebelum akhirnya laki-laki yang mencariku datang. Benar kata Mbak Indri, perawakannya gagah dan mempesona, namun tak membuatku lebih tertarik dibanding uang. “Salman”, ucapnya sambil menjabat tanganku tegas. Tiba-tiba aku teringat momen beberapa tahun yang lalu ketika Pak Rektor secara simbolis menjabat tanganku di atas panggung Kompetisi Mawapres (mahasiswa berprestasi). Ah, mawapres. Tiba-tiba kepalaku dirundung ngilu. Suara-suara aneh mulai berkecamuk. Jutaan orang berteriak di telingaku tanpa ampun. Suaranya timbul-tenggelam, membuatku agak sempoyongan.

Kamu dulu pinter, kok sekarang melacur?
Kamu dulu alim, kok sekarang dzolim?
Kamu dulu...., kok sekarang......

“Susilawati. Sila.”, jawabku agak berteriak, mengalahkan ketakutanku pada suara-suara yang mengerumuni alam bawah sadarku. “Oh, langsung saja ke kamar”, ucapnya singkat dan dingin. Ia sudah tahu namaku. Bah!

Aku sempat tersandung beberapa kali sebelum bisa menyamai langkahnya. Dia berjalan begitu cepat. Sejurus kemudian dia sampai ke kamar. Ia tak memintaku membuka pintu, justru ialah yang membukakanku. Kutaksir, dia tak menyukaiku. Persetan dengan sikapnya, aku hanya butuh duitnya. Kalau dia tak kaya, mungkin aku akan pergi.

Ia duduk di pinggiran kasur, mukanya masih dingin. Aku mulai meraba pundaknya, ia diam. Kudekatkan kepalaku pada telinganya, ia mendesah kecil. Kulonggarkan dasinya, ia menanti.
Mulut kami hampir menempel sebelum ia akhirnya mengeluarkan kata, “Hei..” Aku berhenti sejenak. “Kau, suka politik?”, tanyanya. “Aku bosan bercinta, sudah sering”, lanjutnya.

“Kalau kau tidak ingin bersetubuh, kenapa kau kemari, bangsat?”, tanyaku sambil menekan jakunnya. Dia tertawa, manis sekali. “Hahaha.. Aku cuma memastikan apa masih ada pelacur yang punya otak. Tahu politik tidak kau, wanita jalang? Kalau tidak, lupakan saja. Batangku tak akan muat juga di lubangmu. Aku cuma butuh teman ngobrol saja, yang pandai”, tambahnya.

Aku bersumpah ia lelaki pertama yang menanyaiku demikian.
Aku bersumpah ia lelaki pertama yang menarik perhatianku.


Sejak saat itu, kami menghabiskan banyak malam di kamar wisma. Jadwal kami tak berubah, selalu setelah subuh, dan berakhir sebelum ia berangkat kerja. Kami tidak bercinta, hanya berdebat dan adu argumen. Kadang semi-curhat tentang kehidupan masing-masing. Aku mulai menceritakan kisah kelamku padanya, mulai pertengkaran orang tua yang membuat aku dan ibuku terpaksa merantau dari Palembang ke Surabaya, kemudian cerita tentang aku yang "dijual" secara paksa oleh ibu karena terlilit hutang, hingga aku terdampar sendirian di pinggir jalan tanpa busana. Dari situlah aku bertemu Mbak Indri, yang tanpa ragu mau merawatku. Salman sendiri ternyata juga bukan asli Surabaya, tapi campuran Jakarta-Medan. Ia tak lama di Surabaya, hanya beberapa bulan saja, katanya. Itu sebabnya ia ingin memuaskan diri dengan jalan-jalan dan bermalam denganku (dan mungkin wanita lainnya).



“Siapa yang menghabisi keperawananmu?”, ia bertanya sambil membelai kemaluannya sendiri.

“Tak ada, aku memang dilahirkan sudah tanpa selaput dara. Bolong. Hahaha”

“Kutanya lagi, siapa? Aku akan menghajarnya”.

“Pejabat. Pejabat sinting yang katanya mau melunasi hutang ibu ketika selesai menggagahiku. Tapi nihil. Hutang keluargaku tak kunjung dibayarnya, hingga ibuku mau mati sekarang. Kanker payudara...”, mataku mulai panas.


“Apa yang kau ingat dari pejabat itu?”, ia mulai serius.

“Aku ingat matanya. Matanya ibarat alat penyaring mana pihak yang menguntungkan dan mana pihak yang lebih menguntungkan. Cuma ada dua golongan mata, kalo nggak mata-mata ya mata duitan. Apa bedanya? Gak ada, semua sama-sama suka goda-lirik-rebut yang masih disegel.”

Ia terbahak. “Lanjutkan”.


“Aku juga ingat telinganya. Telinganya adalah piranti uhuy yang ketika rapat mendadak budeg, tapi langsung tune-in seribu persen kalau ada isu-isu mengenai kasus korupsi yang inisialnya mirip sama nama dirinya sendiri; sebagian besar lebih mudah terdistorsi oleh suara desahan kucing yang lagi ber-haha-hihi, daripada diskusi mengenai hal yang intelek dan berbobot tinggi.”, aku mendesah sejenak.

“Bangsat kau, cerdas!”


“Aku juga ingat mulutnya yang biasa digunakan sebagai modal utama kampanye, yang produksi janji-janjinya terlalu naik-naik-ke-puncak-gunung sampai nabrak pesawat. Hahaha. Aku juga ingat tangannya. Tangan pejabat seperti dia biasanya cuman dipakai buat corat-coret dan suka bubuh-bubuh tanda (tangan) seenaknya. Kadang juga digunakan sebagai alat buat  nampar oposisi-oposisi yang bacot dan kelakuannya keterlaluan; seringkali fungsi keempat jarinya ditekuk dan disederhanakan, jelas jari yang ukurannya paling panjang ditunjukkan kepada orang-orang yang merasa mengusik otoritasnya.”


Ia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. “Gila. Pernah sekolah kah kau dulu?”

“Sebentar, aku belum selesai. Aku juga ingat kakinya. Kaki pejabat tua itu selalu dilindungi sepatu mahal, yang bahkan debu pun tidak berani menempel. Kakinya adalah satu anggota tubuh yang paling giat kalau disuruh berangkat ambil gaji, tapi paling malas menemui rakyat yang sekarat mau mati. Pada pagi hari digunakan untuk berjalan ke gedung tempat kerja, pada malam hari digunakan untuk mengunjungi beberapa wisma.”


Ia mengelus dadaku. “Ada lagi? Aku masih mendengarkan.”

“Kau tau tidak, aku bisa menerawang otaknya juga. Otaknya, salah satu anggota tubuh yang paling encer di awal kampanye, tapi  bisa berbalik 180 derajat menjadi bebal ketika sudah resmi menjabat. Butuh sedikit pencerahan untuk dapat kembali normal, misal dengan menaikkan upah gaji, atau berilah sebuah Lamborghini warna merah hati.”


“Kau bukan wanita murah, aku tau sejak awal. Kau bagai mutiara yang terdampar di kubangan Pulau Karang.”, ia mendekat, hampir memelukku.

“Eh, stop. Sejak kapan kau jadi begini hahaha. Mau coba kau merayuku? Paling kau sama saja seperti para koruptor itu. Mereka itu golongan orang-orang  yang tak punya hati. Sekalinya disuruh hati-hati malah main hati.”


“Kutanya lagi, apa kau dulu pernah bersekolah?”

“Jangan tanya, aku dulu mawapres. Tapi ternyata semua tak berguna. Aku menyesal pernah sekolah”.

“Kalau kau tak sekolah kau tak akan bertemu denganku. Aku bosan dengan wanita bayaran di luar sana, yang cuma bisa desah tapi otaknya nol. Kau cerdas, aku gembira melihatnya.”


Aku hanya tersenyum.

“Tambahi aku tip saja, aku mau makan enak besok. Bisa?”

“Dengan senang hati.”, ucapnya sambil mengecup manis bibirku. Kepala bajing! Kenapa aku menikmatinya? Apakah ini yang namanya jatuh hati?

Aku yang duduk di pangkuannya hanya diam, kikuk.

“Omong-omong, kapan kau terakhir kali bercinta?”, ia melihat mataku dalam-dalam. Suasana tiba-tiba menjadi hangat dan menggairahkan.


Akhirnya, –kami melakukannya– setelah subuh yang kesekian.

---------------------------------


“Oh iya pekerjaanmu apa?”, tanyaku sebelum menindih tubuhnya.

“Pejabat”.

-----------------------------------

Fri, 14th Jul 2017:14.30 WIB
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Hari itu adalah hari yang spesial, bukan hanya karena hangat matahari pagi yang tersemai di langit Surabaya, tapi juga karena kami perwakilan dari LPM Mercusuar UNAIR Surabaya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Panjebar Semangat. Panjebar Semangat adalah satu-satunya majalah berbahasa Jawa yang masih eksis di Surabaya. Sekitar pukul 09.00 WIB, kami yang terdiri atas 5 personel wanita dan 2 personel pria berangkat bersama-sama dari kampus menuju daerah Bubutan-Surabaya, tempat Panjebar Semangat melakukan aktivitasnya.
Sekitar pukul 09.15 WIB kami telah sampai di depan kantor Panjebar Semangat. Usai meletakkan kendaraan, bergegaslah kami memasuki kantor. Kantor yang berada di Jl GNI No 2 (Jl Bubutan 87 Surabaya) ini posisinya memang agak nylempit dan terkesan seperti rumah biasa. Bangunannya juga tidak besar dan megah seperti kantor majalah pada umumnya, namun atmosfir kekeluargaan dan kenyamanan sangat terasa di sini. Pada bagian luarnya tertera plakat Panjebar Semangat yang disertai pula dengan huruf Jawa. Hati kami berdesir. Kami lalu melangkah mendekati pintu, membuka daun pintu dengan mengucap salam.


Gambar 1. Kantor Panjebar Semangat tampak dari luar 
Kunjungan yang dilaksanakan pada Rabu pagi 12 April 2017 tersebut mendapat sambutan hangat dari staff-staff yang ada di sana, salah satunya adalah Pak Wijotohardjo. Pak Wijotohardjo, atau yang biasa dipanggil dengan Pak Wijoto, adalah salah satu staff redaksi yang sudah mengabdi sejak lama. Bapak kelahiran 1944 ini menyapa dan mempersilahkan kami untuk duduk di sofa tamu, sementara staff lain menyiapkan minuman di atas meja.
Pak Wijoto memulai perbincangan dengan hangat. Beliau menanyakan dari mana asal kami dan bagaimana ketertarikan kami sejauh ini terhadap bahasa Jawa. Berbincang dengan Pak Wijoto seperti berbincang dengan guru sejarah. Kami banyak mengalami flashback terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dulu kami dapat sewaktu di bangku sekolah. Salah satu pertanyaan yang diajukan  beliau adalah mengenai Sumpah Pemuda. Kami ditantang untuk mengucapkan kembali isi dari Sumpah Pemuda. Kami menjawab pertanyaan tentang Sumpah Pemuda tersebut sesuai dengan ingatan-ingatan yang masih tersisa: bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu (Indonesia).  Ketika sampai pada bunyi ketiga Sumpah Pemuda, Pak Wijoto mengingatkan, “bukan berbahasa satu, tetapi menjunjung bahasa persatuan”, ucap beliau. “Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu, bukan satu-satunya bahasa di Indonesia. Kalau hanya berbahasa satu, berarti berbahasa Jawa tidak boleh, dong?”, lanjut beliau kali ini sambil tersenyum. Kami mengangguk, menyadari kekeliruan kami.
“Bahasa Jawa adalah salah satu dari bahasa yang paling banyak penuturnya tetapi sekaligus merupakan salah satu bahasa paling sulit di dunia. Bahasa Jawa itu ada unggah-ungguhnya. Jenisnya beda-beda, minimal ada tiga tingkatan: ngoko, krama madya dan krama inggil. Di Keraton beda lagi, tidak hanya ada tiga tetapi tujuh tingkatan”, terang bapak berkacamata ini mengenai Bahasa Jawa. Kami berdecak pelan, antara kagum mengenai keragaman bahasa Jawa tetapi juga sekaligus membayangkan betapa sulitnya mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut adalah salah satu alasan yang membuat bahasa Jawa tidak dijadikan bahasa persatuan. Bahasa yang dipilih sebagai bahasa persatuan sebagian besar berasal dari bahasa Melayu, karena bahasa Melayu cenderung lebih aplikatif dan mudah dipelajari. Penyebaran Bahasa Melayu juga lebih luas dan masif. Kami mengangguk mendengar penjelasan beliau. Pengetahuan kami bertambah satu. Kemudian muncul pertanyaan di benak kami, yaitu mengapa Panjebar Semangat menggunakan Bahasa Jawa, bukan bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia, atau bahasa lain? Usai mendengar pertanyaan kami, beliau membenarkan posisi duduk. Sepertinya akan ada cerita panjang yang dituturkan oleh beliau. Dan benar, bapak kelahiran Sabtu Pahing ini menjelaskan sejarah berdirinya Panjebar Semangat.
“Panjebar Semangat pertama kali didirikan oleh Pak Tom. Kalian tahu siapa itu Pak Tom?”, tanya beliau kepada kami. Kami beradu pandang antarteman, kemudian dengan serentak menggeleng. “Pak Tom itu Dr. Soetomo. Pernah dengar nama Dr. Soetomo?”, tanya beliau lagi. Dengan serempak kami mengangguk sambil bersuara “Ohhhhhh”, tanda bahwa kami tahu.


Gambar 2. Pak Wijoto ketika menceritakan tentang sejarah  Panjebar Semangat
Panjebar Semangat pertama kali didirikan oleh Pak Tom (Dr. Soetomo) pada tahun 1933. Semasa mudanya, Pak Tom memang sudah aktif berorganisasi. Ia adalah mahasiswa STOVIA yang  aktif dalam organisasi kepemudaan. Dipromotori oleh Dr. Wahidin Soedirohusodo sebagai dosen pembimbing, Soetomo yang saat itu masih berumur 20 tahun telah menjabat sebagai ketua Boedi Oetomo yang didirikan 20 Mei 1908. Kini, hari tersebut ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Perjuangan hidup Dr. Soetomo berakhir pada tahun 1938, beberapa tahun setelah Panjebar Semangat didirikan. Panjebar Semangat kemudian dilanjutkan di bawah pimpinan Pak Imam Supardi hingga tahun 1942.
“Kalian tahu peristiwa penting apa yang terjadi pada tahun 1942?”, Pak wijoto bertanya kepada kami. “Jepang masuk ke Indonesia kan, Pak?”, ucap salah satu dari kami meski dengan suara yang menggantung dan ragu. “Iya, benar sekali. Tahun ’42 Jepang masuk dan menjajah Indonesia”, ucap Pak Wijoto mengawali cerita menarik lainnya. Bapak keturunan Tionghoa yang lahir pada Sabtu Pahing ini memberi tahu kami bahwa Panjebar semangat sempat dibredel ketika itu, meski secara tidak langsung. “Kita memang tidak dibredel secara langsung, tapi dipersulit. Waktu itu beli kertas dan tinta sangat susah, sehingga panjebar semangat terpaksa mati karena tidak bisa melakukan kegiatan produksi. Bukan benar-benar mati tapi mati suri”, terang Pak Wijoto. Kami masih mendengarkan dengan hikmat ketika beliau kembali meneruskan ceritanya.


Gambar 3. Suasana Bincang Hangat LPM Mercusuar UNAIR dengan Panjebar Semangat 
Panjebar Semangat memang sempat mati, namun ia bangkit kembali. Kebangkitan Panjebar Semangat seharusnya dimulai tahun 1945, tepat pada tahun kemerdekaan Indonesia. Tapi pada tahun tersebut Indonesia sedang sibuk melakukan revolusi fisik. Revolusi fisik baru berakhir ketika Belanda meyakini kemerdekaan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Belanda tahun 1949. Semenjak itulah Panjebar Semangat mulai beroperasi kembali.
Pada awalnya, bahasa yang dipilih untuk dijadikan bahasa oleh Panjebar Semangat adalah Bahasa Belanda, namun Dr. Soetomo tidak setuju karena itu bertentangan dengan tujuan  Panjebar Semangat sebagai media dalam menyebarkan semangat dan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah (Belanda). Lalu usul lain yang muncul adalah Bahasa Indonesia. Tapi Bahasa indonesia juga tidak disepakati karena pada saat itu (tahun 1933) Bahasa indonesia belum merakyat. Kemudian Bahasa Jawalah yang akhirnya digunakan sebagai bahasa dalam majalah tersebut karena dirasa paling pas dibanding dengan opsi yang lain. Jenis bahasa Jawa yang dipakai adalah Jawa Ngoko, yaitu bahasa Jawa yang tingkatannya paling rendah dan hampir semua orang bisa. Pemilihan bahasa Jawa Ngoko ini adalah agar majalah tersebut tidak hanya dimiliki oleh kalangan tertentu saja, melainkan bisa dibaca oleh semua kalangan tanpa terkecuali.
Bentuk majalah Panjebar Semangat pada awal berdirinya hanya berbentuk lembaran. Penampakannya persis seperti koran namun tidak bolak-balik. Semua isinya adalah tulisan, tidak ada gambar-gambar penunjang seperti sekarang. Panjebar Semangat mengalami transisi dari lembaran-lembaran menjadi majalah utuh yang apik dan menarik. Tak hanya dari bentuk majalahnya saja yang mengalami transisi, tapi juga tujuannya. Seiring berjalannya waktu, tujuan Panjebar Semangat mengalami perubahan, khususnya setelah kemerdekaan Indonesia. Tujuan  yang awalnya adalah menyebarkan semangat merebut kemerdekaan dari tangan penjajah (Belanda) kini bergeser menjadi mempertahankan bahasa dan budaya Jawa sebagai benteng terakhir serta menjadi acuan guru Bahasa Jawa di sekolah-sekolah dalam menulis dan belajar budaya Jawa. Pak Wijoto mengaku bahwa kantor Panjebar Semangat sering menerima telepon untuk ditanyai mengenai tugas sekolah tentang Bahasa Jawa. Meski sibuk, beliau selalu meluangkan waktu untuk menjawab berbagai pertanyaan yang masuk. “Menurut saya itu kreasi yang bagus tapi kadang merepotkan, hahaha..”, seloroh Pak Wijoto menanggapi hal tersebut.
Sebenarnya Panjebar Semangat bukan satu-satunya majalah berbahasa Jawa yang ada. Selain Panjebar Semangat ada pula majalah Joyoboyo (Surabaya), Djaka Lodang (Yogyakarta) dan Jemparing (Tulungagung). “Tapi tidak semuanya aktif, ada yang kadang terbit kadang tidak. Panjebar Semangatlah satu-satunya yang masih rutin terbit setiap minggu”, ucap Pak Wijoto. Salah satu sebab majalah lainnya tidak dapat beroperasi adalah karena pembaca yang semakin langka. Hal ini juga sempat dirasakan oleh Panjebar Semangat. Meski sempat kesulitan mendapatkan pembaca, majalah yang mempunyai slogan Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti (setiap kebencian, kemarahan, keras hati akan luluh oleh kelembutan, bijaksana, dan sabar) ini mempunyai semangat yang tak pernah padam. Buktinya sampai kini majalah yang dipimpin oleh Kustono Jatmiko (sebagai pemimpin umum) dan Arkandi Sari (sebagai pemimpin redaksi) ini masih tetap beroperasi. Bahkan, Panjebar Semangat mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) atas prestasinya sebagai Majalah dalam Bahasa Jawa Tertua, 80 Tahun pada September 2013 lalu.

Gambar 4. Penghargaan dari MURI kepada Panjebar Semangat sebagai Majalah Berbahasa Jawa Tertua di Indonesia (80 Tahun)
Salah satu alasan mengapa Panjebar Semangat masih eksis adalah karena Panjebar Semangat tidak hanya membangun hubungan dagang melainkan hubungan emosional kepada pembacanya. Pembaca majalah Panjebar Semangat adalah orang yang bisa berbahasa Jawa, tidak hanya lokal tapi juga internasional. Pak wijoto mengaku bahwa penikmat majalah Panjebar Semangat tidak hanya warga Indonesia saja tetapi juga Malaysia, Brunei Darussalam, hingga Australia dan Suriname. Di manapun dan kapan pun, selama ada pendatang yang berminat pasti akan kami datangi, meski hanya seorang saja, itulah prinsip yang dianut oleh Panjebar Semangat.
Masing-masing dari pembaca pembawa cerita menarik, salah satunya adalah para pembaca dari Suriname. Suriname adalah salah satu negara di Eropa yang didominasi oleh suku Jawa, yaitu sebuah negara di Amerika Selatan dan merupakan bekas jajahan Belanda. “Orang Suriname itu seharusnya kalau sholat menghadap ke timur, tapi karena mereka masih mengilhami tempat di mana mereka tinggal dulu (yaitu di Jawa), masih banyak dari mereka yang sholat menghadap ke barat seperti orang Indonesia”, ucap Pak Wijoto sambil terkekeh. Kami yang mendengar juga ikut terkekeh. Hal ini menunjukkan bahwa internalisasi budaya Jawa begitu kuat dan masih lestari bagi mereka meski kini mereka secara geografis tak tinggal lagi di Jawa. “Tapi nggak papa, toh Tuhan ada di mana-mana, kan?”, ucap Pak Wijoto sembari menyeruput air minum dalam kemasan. Kami tersenyum.
Para pembaca menyenangi Panjebar Semangat karena dari majalah tersebut mereka merasa mempunyai ikatan batin dengan budaya Jawa dan kekhasan yang ada di dalamnya. Para penggemar majalah ini juga sering mengirimkan artikel-artikel menarik untuk dimuat di Panjebar Semangat (selain dari artikel yang ditulis oleh redaksi dan wartawan lepas). Pihak dari Panjebar Semangat memang terbuka terhadap artikel-artikel yang masuk, mulai dari artikel yang dikirim melalui pos hingga email, yang diketik dengan menggunakan komputer hingga yang tulis tangan, maupun yang ditulis dengan menggunakan huruf alfabet sampai huruf Jawa. Sikap terbuka inilah yang menjadikan Panjebar Semangat terus eksis, meski tentu saja tanpa melupakan aspek seleksi terhadap artike-artikel tersebut. Dari keseluruhan artikel yang disajikan oleh Panjebar Semangat, beberapa artikel yang menjadi favorit adalah Alaming Lelembut dan Astrologi. Alaming Lelembut berisi cerita-cerita mengenai manusia dan kehidupan mistis, sementara Astrologi secara singkat berisi ramalan bintang. Artikel lain seperti geguritan (puisi) juga mendapat apresiasi positif oleh pembacanya.
Tak puas hanya duduk di ruang tamu, kami kemudian diajak untuk berkeliling kantor. Kami melihat ruang redaksi dan ruang kerja karyawan. Yang menarik adalah bahwa pada setiap pintu selalu ditempel huruf aksara Jawa yang melengkapi sebuah perintah dengan Bahasa Indonesia, misalnya perintah “doronglah pintu ini” dan perintah-perintah lainnya. Selain mengunjungi kantor, kami juga berkeliling tempat percetakan. Tempat percetakan tersebut terletak di gedung yang berhadapan dengan gedung di mana kita melakukan perbincangan dengan Pak Wijoto. Alamatnya adalah di Jl Bubutan 85-B Surabaya. Di tempat percetakan kita bisa melihat bagaimana riuhnya para pekerja yang melakukan kegiatan cetak. Bau tinta menyebar di ruangan percetakan yang agak pengap. Ada mesin yang besar-besar, juga tumpukan kertas dengan bau khasnya. Pekerjanya melakukan kegiatan secara cepat dan cekatan. Sesekali mereka menyeka keringat yang ada di pelipis. Beruntunglah pada hari itu kami dapat melihat kondisi cetaknya, karena biasanya percetakan tidak dibuka setiap waktu. Namun pada hari itu hari cetak dimajukan sehari sebelumnya karena ada kepentingan tertentu.


Gambar 5 . Kami belajar bersama petugas Panjebar Semangat
Usai berjalan-jalan di ruang percetakan, kami naik ke ruang kantor administrasi. Suasana di ruang ini tentu berbeda dengan ruang percetakan yang riuh dan pengap. Di sini suasananya cenderung dingin dan hening. Semua bekerja dalam atmosfir yang tenang. Oleh salah satu petugas, kami diijinkan untuk melihat-lihat. Salah satu yang menarik bagi kami adalah salah satu alat yang bernama Graphotype, yaitu mesin yang digunakan untuk mencetak nama dan alamat pembaca pada besi persegi panjang berukuran sekitar (2 x 8) cm. Tujuan dari dicetaknya nama dan alamat pembaca adalah untuk mempermudah pengiriman majalah kepada pembaca yang berlangganan agar pengiriman majalah Panjebar Semangat tidak salah alamat.

Gambar 6. Graphotype, alat pencetak identitas pembaca untuk ditempel di amplop pengiriman majalah
Setelah itu identitas tersebut diberi tinta dan dicapkan pada amplop cokelat yang padanya sudah tercetak KOP Panjebar Semangat. Majalah kemudian dilipat dua dan dimasukkan pada amplop. Voila! Majalah siap dikirim. Sebelum keluar dari tempat tersebut, kami diberi beberapa majalah milik Panjebar Semangat. Wah, sangat menarik!

Gambar 7. Foto bersama dengan majalah Panjebar Semangat
Kami senang sekali mendapat banyak pengalaman dari perbincangan pagi ini, namun matahari yang semakin naik ke tengah menunjukkan bahwa sudah saatnya seluruh staff beristirahat, begitu pula kami. Sebelum pamit, kami tak lupa mengambil foto untuk dijadikan kenang-kenangan. Terima kasih, Panjebar Semangat. Tetaplah berkarya dan semakin jaya! (dig).

PS: Apabila ingin tahu lebih jauh, sila follow instagram Panjebar Semangat @majalahps.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
(Cr: Goodreads)

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Pramoedya Ananta Toer
Jakarta: Lentera Dipantara
2012 (Cet.9)
Hari ini aku mengetuk pintu rumah Karl Marx, katanya ia sedang tidak enak badan. Sebagai bahan bacaan, aku berikan buku karya Pramoedya ananta Toer yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini padanya. Ia bertanya, “buku apakah ini?”. “Baca saja, niscaya kamu akan semakin yakin tentang yang kau pikirkan”, jawabku. Aku bergegas pulang setelah kututup pintu rumahnya yang mulai reyot.

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels adalah buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berbicara mengenai tragedi kerja paksa terbesar sepanjang sejarah di Tanah Hindia. Meski bukan buku yang seratus persen akademis dan formal, Pram dengan segala kecerdasannya berhasil meramu data dan peristiwa dalam balutan sastra yang epik dan luar biasa. Ia menceritakan perjalanannya selama melihat sang penguasa menghardik pribumi (suatu “kasta” di mana Pram adalah bagian di dalamnya). Perjalanan tersebut dimulai dari tempat kelahirannya di Blora, Jawa Tengah.

Dalam bukunya, Pram berbicara mengenai genosida paling mengerikan yang dilakukan oleh penguasa kepada pribumi pada 1809. Jalan Raya Pos atau yang biasa dikenal dengan jalan Daendels adalah jalan yang membentang 1000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa mulai Anyer hingga Panarukan. Jalan tersebut adalah proyek besar yang digawangi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dibawah pendudukan Perancis, Wilhelm Daendels. Daendels dikenal sebagai orang yang berhati baja sekaligus berkepala angin, tak punya kekuatan untuk menghadapi argumentasi. Ia akan langsung mengancam dengan bentakan dan bahkan menembak mati lawan argumentasinya. Mengerikan, bukan?

Tak terhitung lagi banyaknya pekerja yang mati dalam pelaksanaan proyek pimpinan Daendels tersebut. Penyebabnya mulai dari malaria, kelaparan, hingga kelelahan. Jumlah korbannya sangat banyak tapi tidak pernah diusut secara tuntas. Menurut perkiraan, jumlah korban yang meninggal selama pembuatan jalan Raya Pos kira-kira 12.000. Singkat cerita, ini adalah penampakan dari kekuasaan penjajah yang penuh kesewenang-wenangan. Sangat tragis dan mengerikan.

Keesokan harinya Marx bertandang ke rumahku, ia menceritakan kembali tentang apa yang dipikirkannya mengenai buku yang kuberikan padanya untuk jadi bahan bacaan. Marx mengatakan bahwa yang terjadi pada buku tersebut adalah peristiwa dialektis dan hostoris. Pertarungan yang menewaskan puluhan ribu orang tersebut sejatinya disebabkan karena satu hal: materi. Materi membuat orang bisa gila dan saling berebut dan memperebutkannya. Segala sesuatu yang disebabkan karena materi mempunyai kata lain bahwa materi adalah struktur dasar (basic structure) dari segala yang terjadi dalam masyarakat, mulai dari sosial, politik, budaya, hukum, dsb.

Semua sejarah orang-orang besar diawali oleh materi. Materi membuat manusia secara sadar merasa bahwa ia mempunyai kebutuhan dan berusaha keras untuk mengejar keinginan tersebut. Inilah yang sebenarnya dilakukan oleh Daendels, ia ingin mencapai tujuannya dalam membangun jalan sepanjang 1000 km mulai Anyer-Panarukan. Untuk dapat mencapai hal tersebut tentu saja Daendels tak bisa sendirian, ia butuh bantuan dari orang lain untuk melancarkan misinya. Lalu Daendels menggunakan pribumi sebagai pembantunya. Ia menjadikan pribumi sebagai budak yang dibayar murah namun diperas tenaganya hingga mati. Hingga benar-benar mati.

“Wahai rakyat, kalian sesungguhnya hanyalah objek, sementara aku adalah subjeknya. Dan sejarah adalah milik penguasa”, mungkin itulah yang ingin dikatakan Daendels. Apabila Daendels meminta dikirimkan 1.000 pekerja setiap harinya sementara hanya sedikit dari mereka yang selamat, maka berapa jumlah pekerja yang dibutuhkan selama setahun? Orang yang berkuasa memang nyaris gila, ia tidak peduli berapa orang yang dikorbankan asal tujuannya tercapai. Semua pribumi lalu marah dan berontak, namun Daendels seolah mengatakan bahwa kematian rakyat kecil itu tak ada artinya karena masih banyak yang bisa menggantikan. Kematian mereka tak akan dipahami sebagai pengorbanan. Nama mereka juga tak akan masuk dalam buku sejarah, paling-paling hanya tubuhnya yang bergelantung di atas dahan rapuh sepanjang trotoar Anyer-Panarukan. Toh salah satu anugerah bumi nusantara ini, selain tanahnya yang subur, rakyatnya juga melimpah ruah. Tentu berbeda apabila yang tewas adalah penguasa, maka namanya akan tercatat dalam sejarah.

Marx menjelaskan panjang lebar sambil mengelus jenggot panjangnya. Aku mengangguk mendengarkan ceramahnya dengan hikmat. Tiba-tiba ada pertanyaan yang terlintas. Langsung saja kutanyakan padanya, “apakah mungkin masyarakat mampu melawan orang yang mempunyai kekuasaan, lalu menjadikan kedudukannya setara dengan mereka?”. Mark mulai memaparkan ramalannya. Mereka bisa melakukan revolusi dengan cara mengambil alih kuasa dari pemilik kuasa. Namun itu butuh waktu dan kesiapan, karena konsekuensinya adalah akan terjadi kekacauan yang luar biasa. Nanti kau akan lihat apakah penguasa akan terus menjadi penguasa, dan apakah budak akan terus menjadi budak. Mungkin suatu saat akan ada saat di mana budak dan penguasa setara, namun karena dunia bersifat dialektis-historis, maka penguasaan atas rakyat akan mungkin terulang kembali. Yang bisa kau lakukan saat ini adalah terus mengikuti arah perkembangan sejarah bangsamu. Dengan begitu kau akan dapat melihat mana kah dari ramalanku yang benar-benar terjadi.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kartini Jangan Kurang Baca, Kartini Jangan Kurang Tamasya

Kartini (Cr: resiprositi.com)
Maaf aku baru sempat mengirimkan balasan atas suratmu, Kartini. Meski sudah berabad jarak kita terpisah, aku berharap semoga kau masih setia menunggu jawabanku. Kau tidak marah, kan? Jujur saja aku terlalu sibuk mengamati “keajaiban-keajaiban” yang terjadi di dunia semenjak kepergianmu, mulai dari yang trivial hingga yang krusial. Sebentar lagi akan kuceriterakan padamu.

Tahukah kau, Kartini, bahwa tak ada yang lebih pedih ketimbang mengetahui fakta gadis-gadis sekarang yang kian hari kian bodoh. Mereka bertanya sebelum membaca, namun tak menggubris ketika diberikan penjelasan. Maka, jangan ajukan pertanyaan kepada mereka mengenai Minnebrieven atau Max Havelaar karya Multatuli. Bahkan aku pun tak yakin mereka tahu siapa itu “Multatuli”. Jika sudah begitu, tahanlah dirimu untuk menanyai mereka tentang karya-karya berharga lainnya yang pernah kau baca seperti  Moderne Vrouwen (Wanita Modern), Moderne Maagden (Gadis Modern), dan De Vrouwen en Sosialisme (Wanita dan Sosialisme). Mereka pasti akan saling tengok menengok, lalu menggeleng. Mereka tak akan paham.  Yang mereka pahami mungkin sosialita, bukan sosialisme.

Aku sangat sedih, Kartini, sebab gadis-gadis yang mengaku mengagumi dirimu bahkan tak mampu mengilhami siapa dirimu sesungguhnya. Ingin kuteriaki kuping mereka dengan perkataan Kartini jangan kurang baca, Kartini jangan kurang tamasya. Mereka nampaknya kurang menyadari bahwa membaca membuat diri mereka mampu berkelana sejauh-jauhnya, bahwa dalam perjalanan berkelana itu mereka mendapat gairah akan pengetahuan. Terlebih lagi, membaca mampu membuat diri mereka bermartabat sebab tak mudah dilacurkan oleh penguasa.

Tentu saja yang kumaksudkan dengan istilah membaca disini tak sekedar membaca gabungan alfabet-alfabet saja, tapi juga membaca kondisi sosial, merumuskan masalah, dan menentukan jalan keluarnya. Oleh sebab itu untuk menjadi Kartini sepertimu mereka harus cerdas dan sering-sering melakukan tamasya. Mereka yang kurang tamasya akan menjadi orang yang terpingit (dalam arti sesungguhnya) oleh pemikiran yang sempit. Sekali waktu mereka harus bepergian dan berkelana, mencari warta dan fakta, menemukan terang di antara gelap dan menembus zona nyaman demi mendapat esensi dari emansipasi.

Untuk bisa menembus kegelapan tersebut, mereka perlu meniru keberanian dan kegesitan yang ada padamu. Kalau aku tak salah ingat, kau pernah dipanggil dengan sebutan Trinil, bukan? Trinil, burung yang lincah. Aku tak heran ketika mengetahui perubahan apa saja yang kau ciptakan dari sikapmu yang lincah dan pemikiranmu yang gesit itu. Tapi sayang sekali, Kartini, kelincahanmu sedikit berbeda dengan kelincahan gadis-gadis zaman sekarang. Gadis-gadis sekarang hanya lincah di depan gawai. Mereka betah seharian berada di depan gawai, mengkonsumsi berita-berita trivial yang tak memberikan kebermanfaatan padanya.

Oops, maaf Trinil, aku lupa jika kau tak pernah mengenal tentang istilah gawai. Aku maklum. Kini akan kujelaskan padamu apa itu gawai. Singkat cerita, gawai adalah teknologi yang digunakan untuk mempermudah kehidupan manusia, bisa digunakan sebagai alat komunikasi, alat mencari informasi hingga menulis surat seperti yang kulakukan saat ini. Wah, aku membayangkan betapa kau akan kagum dengan kecanggihan teknologi saat ini. Kau bisa mengirim ratusan surat tiap harinya kepada sahabat-sahabatmu tanpa ragu dan takut. Kau bisa menjadi terkenal hanya dalam hitungan hari. Kau bisa mendobrak budaya Jawa yang mengekang. Kau bisa mengoyak pemerintahan Belanda dengan membumikan tulisan kritismu.

Kartini, kau mungkin akan sangat terkenal di Facebook dan Instagram, salah satu fitur yang bisa kau akses melalui gawai. Kau pasti akan menjadi public figure terkenal disana. Kutaksir pengikutmu sebelas dua belas dengan jumlah pengikut Kim Kadarshian, selebritis masa kini yang hanya bisa pamer paha dan dada. Sayang kau sudah pergi sebelum sempat mencicipi teknologi ini.

Tapi, Kartini, ada satu kesamaan antara masa kini dengan masamu dulu, yaitu efek dari teknologi. Sebenarnya itu semua tak jauh beda dengan pingitan. Tentu kau tak akan melupakan masa pingitan yang memenjarakanmu dulu, kan?  Aku masih ingat perkataanmu tentang masa pingitan, teringatlah aku, betapa aku oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga, lalu menghempaskan badanku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa tertutup itu, dan kepada dinding batu yang bengis itu, arah kemana juga aku pergi, setiap kali terhenti juga jalanku oleh tembok batu atau pintu yang terkunci. Ya, sama. Semenjak kedatangan gawai, orang-orang secara tidak langsung telah “dipingit” dalam bangunan-bangunan rumah mereka sendiri. Mereka tak ubahnya seperti calon pengantin Jawa yang tak diijinkan keluar dari bilik mereka, yang tak punya kuasa untuk mendobrak kebengisan dari kaum-kaum penguasa. Mereka tunduk dan menyerahkan segala kebebasan mereka. Mereka mau didominasi oleh konstruksi sosial tanpa berusaha melawan. Jika penjara yang mengurungmu membuatmu gelisah, maka mereka tak pernah gelisah. Mereka sangat menikmati dan hanyut dalam buaian gawai. Sangat berbeda seperti dirimu dahulu.

Dari gawai dan fitur-fitur yang dapat diakses di dalamnya, kini berkembang tren tentang kecantikan. Bagimu, kecantikan mungkin adalah faktor nomor kesekian, namun kini kecantikan adalah prioritas tingkat dewa, yang pada titik tertentu mengabaikan keutamaan-keutamaan lain seperti pengetahuan dan kebajikan. Menurut orang-orang pada masa kini, kecantikan ditandai dengan bibir tebal (yang menurutku lebih mirip seperti bibir yang tersengat lebah), alis tebal sempurna bak bulan yang terbelah, hidung mancung menonjol dengan highlight emas, kontur yang membuat wajah menjadi tirus (yang menurutku tak lebih menyeramkan seperti topeng tari Didik Nini Thowok), pipi merah dengan taburan blush on (yang kadang ditaburkan terlalu banyak hingga pipi nampak seperti TKW usai ditampar oleh majikan Arab), dan sebagainya.

Masih banyak keanehan-keanehan lain di abad 21 ini yang tentu saja kau tidak mengenal  itu semua. Buatmu, emansipasi dan feminisme lebih menarik ketimbang mascara dan bulu mata (palsu). Aku mulai merefleksikan fenomena ini padamu, Kartini, sebagai wanita cantik yang tak perlu makeup tebal dan baju mahal bermerk. Kau juga tak perlu nongkrong di kafe mahal untuk bisa diterima secara sosial.

Konsep tentang “kecantikan” adalah konstruksi sosial, yang menciptakan tren baru yaitu diet dan selfie (swafoto). Sebab selain dari penampakan wajah, kecantikan juga dilihat dari berat badan, tinggi badan yang proporsional dan artefak yang menempel di tubuh mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seorang kawan yang sebelumnya tidak pernah berdandan kini sesekali harus memoles wajah mereka dengan makeup. Tujuannya selain untuk menarik perhatian juga agar tak dikucilkan oleh masyarakat. Aku juga ingin menceritakan padamu tentang selfie, yaitu suatu kegiatan memotret diri sendiri, yang biasanya diunggah melalui media sosial yang mereka punya. Fenomena selfie membuat mereka sibuk meningkatkan aktualisasi diri, yang disisi lain menurunkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang krusial, misalnya membaca buku dan membuat kampanye-kampanye sosial yang berkesinambungan.

Salah satu figur yang dikejar sebagai panutan kecantikan adalah tokoh rekaan yang bernama Barbie. Barbie adalah boneka dengan kulit kaukasian dan rambut pirang, punya dandanan modis dan independen (meskipun pada perkembangannya mulai ada Barbie dengan rambut hitam dan kulit legam). Visualisasi Barbie mungkin mirip dengan sahabat-sahabatmu dari negeri Belanda. Ya, berkulit putih, berambut pirang serta bergaun mewah. Gadis-gadis sekarang berlomba-lomba menjadi seperti nona-nona Belanda. Jelaskan padaku, Kartini, apa mungkin ini adalah hasil dari internalisasi budaya kolonial, dimana pribumi hanya akan naik derajat jika bisa setara dan seperti penjajah, oleh karena itu mereka berlomba-lomba untuk membuat penampilan mereka sama seperti gadis-gadis Belanda? Aku tidak percaya bahwa ideologi ini begitu mengekang hingga saat ini, seperti sabuk yang melilit pada pinggang sebab celana kebesaran.

Fenomena cantik memang menyakitkan, tak hanya pada pasangan muda tapi bahkan pada pasangan yang sudah menikah. Kawanku yang lain harus menanggung beban sebab orang tuanya terpaksa bercerai karena sang Ayah kurang puas dengan istrinya. Tak ayal, penyebabnya tak jauh dari gambaran “kecantikan ideal” dan peran wanita dalam rumah tangga. Si Ibu tak hanya dianggap kurang cantik, namun juga kurang pintar memasak. Sialnya, perceraian tak hanya tentang dua insan yang saling beradu cinta kemudian terpisah, tapi juga mencerai-beraikan harapan dan impian sang anak tentang konsep keluarga harmonis. Melihat pertengkaran orang tua membuat anak jadi minder dan memilih untuk hidup pada dunianya sendiri. Tak jarang mereka mencari kebahagiaan bersama sekelompok orang dengan pemikiran yang tak jauh dari materi dan kesenangan duniawi.

Kartini, dengan kejujuran pada level paling tinggi aku ingin mengatakan bahwa aku merindukanmu. Sudah lama sekali kau menghilang dari hadapanku padahal biasanya aku tak pernah absen mengikuti perkembangan ide-idemu. Aku ingin bergaul lagi denganmu, juga dengan sahabat-sahabatmu seperti Nyonya Ovink Soer, Nona Estele Zechandelaar dan Nyonya Abendanon yang begitu menginspirasi. Kini aku sedang mengumpulkan gadis-gadis untuk mendukung pemikiranmu, membuat suatu ruang inkubasi untuk menciptakan tentara-tentara Kartini baru, yang nantinya akan melestarikan pemikiranmu tentang wanita, tentang perjuangan dalam mencapai kesetaraan, tentang bagaimana melindungi martabat wanita sebagai manusia yang tak hanya punya rasa tapi juga punya kuasa.

Bukan tanpa sengaja aku berpemikiran demikian melainkan aku teringat oleh tuturanmu “akan datang juga kiranya keadaan baru dalam dunia Bumiputera, kalau bukan oleh karena kami tentu oleh karena orang lain”. Masih kuingat juga kalimat syahdu yang kau ucapkan, “habislah malam datanglah terang, habis topan datanglah reda, habis perang datanglah menang, habis duka datanglah suka”. Aku berharap suatu saat akan muncul Kartini-kartini baru yang mungkin lebih hebat darimu. Semoga itu tak hanya harapan semu, tapi bisa terlaksana meski harus melewati jalan bebatuan yang berliku.

Melalui sosokmu aku mengambil suatu pelajaran bahwa gadis-gadis sekarang harus pandai membaca, kritis terhadap segala hal. Ia harus bisa menjadi seperti dirimu yang mampu mendekonstruksi kesenjangan budaya, bukan malah terhanyut dalam penjara yang dibuatnya sendiri. Kartini masa kini memang tidak harus berkebaya, tapi harus berbudaya. Kartini masa kini hendaknya bersikap sederhana tapi punya pemikiran yang gemilang luar biasa, bukan malah menjadi sosialita minim idea.

Salam hangat,
Dari sahabat ideologismu yang menyayangi dan merinduimu.

                               (PS: surat ini ditulis dalam rangka UTS mata kuliah Penulisan Kreatif 2017, ehe).
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Her aura is made of poetry, roses and sarcasm.

Follow Us

  • LinkedIn
  • Instagram
  • Facebook

Handcrafting

Go follow @bukakreasi on Instagram. Thx!

Blog Archive

  • ►  2018 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ▼  2017 (8)
    • ▼  Agustus (1)
      • Spread A Good Vibe or Remain Silent
    • ►  Juli (1)
      • Akhirnya, Setelah Subuh yang Kesekian
    • ►  Juni (1)
      • Bincang Hangat Bersama Panjebar Semangat
    • ►  Mei (2)
      • KETIKA MARX MEMBACA “JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS”
      • Surat Balasan Untuk Kartini
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2016 (15)
    • ►  Desember (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (5)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates