Sadarkah, bahwa kita hidup di zaman dimana orang-orang
menyerukan “BERANTAS KEKERASAN!” tapi mereka sendiri (baik secara sadar
atau tidak sadar) telah melestarikan bentuk kekerasan lain. Ya, kekerasan
verbal. Sungguh paradoks.
Kawan, perlu kita ketahui bahwa bentuk kekerasan tidak hanya
fisik, tetapi juga non-fisik. Jangan bangga dengan meneriakkan "ANTI
KEKERASAN" tapi ternyata sikap dan ucapan kita sendiri masih keras dan kasar.
Perang-perang di media sosial adalah bukti nyata dari kekerasan non-fisik (mental
dan verbal). Setiap hari, ratusan bahkan jutaan orang melakukan produksi dan
reproduksi kekerasan verbal di media sosial, mulai dari Facebook, Twitter,
Instagram dan masih banyak yang lainnya. Bullying terjadi
tanpa peduli waktu dan tempat. Hujatan dan protes keras dimana-mana. Kata-kata
kotor seolah dilempar bebas ke udara.
Banyak yang berteriak-teriak: “MORAL BANGSA SUDAH HANCUR! SAATNYA EDUKASI
EDUKASI EDUKASI! PENDIDIKAN ITU PENTING!”, tapi banyak pula dari mereka yang
gagal mengedukasi dirinya sendiri. Mirisnya adalah kita ingin ada perubahan
namun kita sendiri lah yang jurtru bebal tak mau berubah. Lalu, bagaimana kita
bisa mengedukasi orang lain jika diri kita sendiri termasuk orang yang
tidak well-educated?
Berkata atau berkomentar kasar tidak akan membuat kalian terlihat
lebih benar atau lebih piintar. Alih-alih terlihat lebih benar atau pintar,
kalian justru terlihat menggelikan. Kalau pun terdapat berita/informasi yang
kurang menyenangkan dan memicu perang, berkata kasar juga bukan hal yang
serta-merta dibenarkan. Yang dimaksud kasar disini adalah yang berasosiasi
dengan kata-kata makian yang menyerang keadaan individu (ad hominem), bukan
menyerang argumen yang dibawa.
“Lho, kan setiap orang punya kebebasan, lagian ini kaun juga akun
gue, mau apa lu? Gue tampol nih!”. Tentu, semua juga tahu bahwa setiap orang
punya kebebasan. Namun bukankah kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang
lain? Bayangkan seandainya setiap orang berlaku sesuai apa yang diinginkan,
sudah pasti dunia akan tidak karuan. Kebebasan yang mutlak hanya ada dalam teori,
sementara dalam praktiknya kebebasan kita tetaplah dibatasi oleh kebebasan
orang lain.
Pembatasan kebebasan adalah sebuah wujud adanya kebebasan. Kalian
bisa tidur tenang sebab ada batasan yang dipegang tetangga kalian untuk tidak
menyetel musik keras-keras. Bayangkan jika kebebasan (dalam praktiknya)
diterapkan secara mutlak, maka kalian tidak akan bisa tidur karena tetangga
kalian setiap hari berisik tanpa kenal waktu. Menyetel musik sebenarnya boleh
saja, hanya saja tempat dan waktunya perlu diperhatikan. Inilah kemudian yang
disebut dengan kebebasan yang bertanggungjawab. Hal ini agaknya kelihatan
sulit, namun hanya dengan begitu lingkungan sosial bisa hidup dengan damai.
Begitu pula dalam berkomunikasi secara verbal. Apabila kita tahu
hakikat kebebasan, maka kekerasan verbal setidaknya bisa ditekan. Pada saat
tertentu mungkin kita geregetan ingin berkomentar kasar terhadap fenomena yang
memang menjengkelkan dan memicu kemarahan; kita seolah punya hak untuk
menghujat dan mengata-ngatai. Tapi kemudian pertanyaannya, siapa yang
mengizinkan? Siapa yang menyuruhmu berbuat demikian?
Menurut Freud, ini dinamakan id, yaitu dorong
instingtual yang ada di alam bawah sadar untuk melakukan suatu hal. Id punya
sifat liar (hewani) sehingga harus dijinakkan oleh unsur lain dalam diri
manusia yang dinamakan superego. Superego ibarat “suara
Tuhan”, ia bertugas sebagai polisi diri yang mengingatkan diri kita untuk tidak
tunduk pada id. Sebab kepatuhan yang hakiki pada id akan menimbulkan kerusakan.
Di antara dua komponen ekstrim ini, adalah komponen terakhir yang
dinamakan ego. Ego adalah komponen sadar, yang tugasnya adalah
menyesuaikan kebutuhan id dan superego. Ego berhadapan langsung dengan realita,
itulah sebabnya ia mempunyai tugas untuk memutuskan. Apabila ego mengizinkan id
berkeliaran dengan liar, maka yang terjadi adalah seperi sekarang ini:
kekerasan verbal dimana-mana. Seimbangkan id, ego dan superego, dengan begitu
akan tercipta iklim komunikasi yang sehat.
Banyak orang yang berargumen tanpa tau adab yang benar,
alias semau gue. Sebagian kita mungkin tidak peduli, tapi
sebagian lainnya ingin mencari solusi. Kekerasan verbal bukan
permasalahan sederhana, ia bisa menyerang mental dan bahkan berujung pada
kematian. Kelihatannya memang simpel, kita hanya berkomentar sebaris-dua baris
saja. Tapi, sebaris-dua baris jika dikumpulkan lama-lama akan menjadi satu
paragraf, lalu satu halaman, lalu satu chapter, hingga jadilah satu buku penuh yang
isinya adalah hujatan-hujatan dan kata-kata yang menyakiti.
Pun, jangan dikira netizen adalah orang yang selamat
jka dibandingkan dengan korban yang ter-bully. Karena apabila ditarik lebih jauh
lagi, netizen yang suka marah-marah dan berkomentar kurang pantas sejatinya telah memberi makan sistem saraf
yang ada di otak mereka sendiri dengan energi negatif, dimana hal tersebut tentu
memberikan efek yang negatif pula dalam bersikap dan mengambil keputusan. Efek
tersebut tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, tapi kemungkinan akan
didapati pula pada orang-orang yang ada di lingkaran mereka. Jika energi ini
terus menerus direproduksi, dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin tatanan
sosial akan mengalami kerusakan.
Kemarahan yang dilontarkan dalam komunikasi secara
langsung (face
to face) cenderung lebih sulit untuk dikendalikan karena tidak bisa
ditarik kembali (unrepeatable), beda
halnya dengan komunikasi yang terjadi melalui perantara. Di media sosial, kita masih punya pilihan untuk mengedit kembali
pernyataan kita sebelum dibagikan ke khalayak. Nah, apabila ada pilihan untuk
meninjau kembali, seharusnya besar pula kemungkinan pernyataan-pernyataan
negatif tersebut diminimalisir, bukan? Ini menjadi nilai plus bagi media sosial, jika
dan hanya jika kita mengerti bahwa pilihan itu ada. Jika dan hanya jika.
Maka dari itu, bersosial media-lah dengan cerdas. Kalaupun ingin
berargumen, berargumenlah dengan kepala dingin. Kemaslah pesan dengan bijaksana namun tetap tegas. Lebih bagus lagi apabila disertai dengan solusi. Jangan
sampai kebebasan menjadi kebablasan. Lakukanlah refleksi terlebih dahulu,
karena automatic thought (aksi yang cepat/otomatis) akan
menjerumuskan kita pada lembah kebencian. Apabila tidak mampu berkomentar yang tepat, maka lebih baik diam/tinggalkan. Mau sampai kapan buang-buang tenaga?
The more
you response to negative people, the less peaceful your life will become. Spread
a good vibe or remain silent.
Senin - 14 Agustus 2017, 16:30 WIB.