Bincang Hangat Bersama Panjebar Semangat
Hari itu adalah hari yang spesial, bukan hanya karena hangat
matahari pagi yang tersemai di langit Surabaya, tapi juga karena kami
perwakilan dari LPM Mercusuar UNAIR Surabaya mendapatkan kesempatan untuk
berkunjung ke Panjebar Semangat. Panjebar Semangat adalah satu-satunya majalah
berbahasa Jawa yang masih eksis di Surabaya. Sekitar pukul 09.00 WIB, kami yang
terdiri atas 5 personel wanita dan 2 personel pria berangkat bersama-sama dari
kampus menuju daerah Bubutan-Surabaya, tempat Panjebar Semangat melakukan
aktivitasnya.
Sekitar pukul 09.15 WIB kami telah sampai di depan kantor Panjebar
Semangat. Usai meletakkan kendaraan, bergegaslah kami memasuki kantor. Kantor
yang berada di Jl GNI No 2 (Jl Bubutan 87 Surabaya) ini posisinya memang
agak nylempit dan terkesan seperti rumah biasa. Bangunannya
juga tidak besar dan megah seperti kantor majalah pada umumnya, namun atmosfir
kekeluargaan dan kenyamanan sangat terasa di sini. Pada bagian luarnya tertera
plakat Panjebar Semangat yang disertai pula dengan huruf Jawa.
Hati kami berdesir. Kami lalu melangkah mendekati pintu, membuka daun pintu
dengan mengucap salam.
Gambar 1. Kantor Panjebar Semangat tampak dari luar
|
Kunjungan yang dilaksanakan pada Rabu pagi 12 April 2017
tersebut mendapat sambutan hangat dari staff-staff yang ada di sana, salah
satunya adalah Pak Wijotohardjo. Pak Wijotohardjo, atau yang biasa dipanggil
dengan Pak Wijoto, adalah salah satu staff redaksi yang sudah mengabdi sejak
lama. Bapak kelahiran 1944 ini menyapa dan mempersilahkan kami untuk duduk di
sofa tamu, sementara staff lain menyiapkan minuman di atas meja.
Pak Wijoto memulai perbincangan dengan hangat. Beliau
menanyakan dari mana asal kami dan bagaimana ketertarikan kami sejauh ini
terhadap bahasa Jawa. Berbincang dengan Pak Wijoto seperti berbincang dengan
guru sejarah. Kami banyak mengalami flashback terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang dulu kami dapat sewaktu di bangku sekolah. Salah
satu pertanyaan yang diajukan beliau adalah mengenai Sumpah Pemuda. Kami
ditantang untuk mengucapkan kembali isi dari Sumpah Pemuda. Kami menjawab
pertanyaan tentang Sumpah Pemuda tersebut sesuai dengan ingatan-ingatan yang
masih tersisa: bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu
(Indonesia). Ketika sampai pada bunyi ketiga Sumpah Pemuda, Pak Wijoto
mengingatkan, “bukan berbahasa satu, tetapi menjunjung bahasa persatuan”, ucap
beliau. “Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu, bukan satu-satunya bahasa di
Indonesia. Kalau hanya berbahasa satu, berarti berbahasa Jawa tidak boleh, dong?”,
lanjut beliau kali ini sambil tersenyum. Kami mengangguk, menyadari kekeliruan
kami.
“Bahasa Jawa adalah salah satu dari bahasa yang paling
banyak penuturnya tetapi sekaligus merupakan salah satu bahasa paling sulit di
dunia. Bahasa Jawa itu ada unggah-ungguhnya. Jenisnya beda-beda, minimal ada
tiga tingkatan: ngoko, krama madya dan krama inggil. Di
Keraton beda lagi, tidak hanya ada tiga tetapi tujuh tingkatan”, terang bapak
berkacamata ini mengenai Bahasa Jawa. Kami berdecak pelan, antara kagum
mengenai keragaman bahasa Jawa tetapi juga sekaligus membayangkan betapa
sulitnya mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut adalah salah satu alasan yang membuat bahasa
Jawa tidak dijadikan bahasa persatuan. Bahasa yang dipilih sebagai bahasa
persatuan sebagian besar berasal dari bahasa Melayu, karena bahasa Melayu
cenderung lebih aplikatif dan mudah dipelajari. Penyebaran Bahasa Melayu juga
lebih luas dan masif. Kami mengangguk mendengar penjelasan beliau. Pengetahuan
kami bertambah satu. Kemudian muncul pertanyaan di benak kami, yaitu mengapa
Panjebar Semangat menggunakan Bahasa Jawa, bukan bahasa Melayu atau Bahasa
Indonesia, atau bahasa lain? Usai mendengar pertanyaan kami, beliau membenarkan
posisi duduk. Sepertinya akan ada cerita panjang yang dituturkan oleh beliau.
Dan benar, bapak kelahiran Sabtu Pahing ini menjelaskan sejarah berdirinya
Panjebar Semangat.
“Panjebar Semangat pertama kali didirikan oleh Pak Tom.
Kalian tahu siapa itu Pak Tom?”, tanya beliau kepada kami. Kami beradu pandang
antarteman, kemudian dengan serentak menggeleng. “Pak Tom itu Dr. Soetomo.
Pernah dengar nama Dr. Soetomo?”, tanya beliau lagi. Dengan serempak kami
mengangguk sambil bersuara “Ohhhhhh”, tanda bahwa kami tahu.
Gambar 2. Pak Wijoto ketika menceritakan tentang
sejarah Panjebar Semangat
|
Panjebar Semangat pertama kali didirikan oleh Pak Tom
(Dr. Soetomo) pada tahun 1933. Semasa mudanya, Pak Tom memang sudah aktif
berorganisasi. Ia adalah mahasiswa STOVIA yang aktif dalam organisasi
kepemudaan. Dipromotori oleh Dr. Wahidin Soedirohusodo sebagai dosen
pembimbing, Soetomo yang saat itu masih berumur 20 tahun telah menjabat sebagai
ketua Boedi Oetomo yang didirikan 20 Mei 1908. Kini, hari tersebut ditetapkan
sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Perjuangan hidup Dr. Soetomo berakhir pada
tahun 1938, beberapa tahun setelah Panjebar Semangat didirikan. Panjebar
Semangat kemudian dilanjutkan di bawah pimpinan Pak Imam Supardi hingga tahun
1942.
“Kalian tahu peristiwa penting apa yang terjadi pada
tahun 1942?”, Pak wijoto bertanya kepada kami. “Jepang masuk ke Indonesia kan,
Pak?”, ucap salah satu dari kami meski dengan suara yang menggantung dan ragu.
“Iya, benar sekali. Tahun ’42 Jepang masuk dan menjajah Indonesia”, ucap Pak
Wijoto mengawali cerita menarik lainnya. Bapak keturunan Tionghoa yang lahir
pada Sabtu Pahing ini memberi tahu kami bahwa Panjebar semangat sempat dibredel
ketika itu, meski secara tidak langsung. “Kita memang tidak dibredel secara
langsung, tapi dipersulit. Waktu itu beli kertas dan tinta sangat susah,
sehingga panjebar semangat terpaksa mati karena tidak bisa melakukan kegiatan
produksi. Bukan benar-benar mati tapi mati suri”, terang Pak Wijoto. Kami masih
mendengarkan dengan hikmat ketika beliau kembali meneruskan ceritanya.
Gambar 3. Suasana Bincang Hangat LPM Mercusuar UNAIR dengan Panjebar Semangat |
Panjebar Semangat memang sempat mati, namun ia bangkit
kembali. Kebangkitan Panjebar Semangat seharusnya dimulai tahun 1945, tepat
pada tahun kemerdekaan Indonesia. Tapi pada tahun tersebut Indonesia sedang
sibuk melakukan revolusi fisik. Revolusi fisik baru berakhir ketika Belanda
meyakini kemerdekaan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Belanda tahun
1949. Semenjak itulah Panjebar Semangat mulai beroperasi kembali.
Pada awalnya, bahasa yang dipilih untuk dijadikan bahasa
oleh Panjebar Semangat adalah Bahasa Belanda, namun Dr. Soetomo tidak setuju
karena itu bertentangan dengan tujuan Panjebar Semangat sebagai media
dalam menyebarkan semangat dan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah
(Belanda). Lalu usul lain yang muncul adalah Bahasa Indonesia. Tapi Bahasa
indonesia juga tidak disepakati karena pada saat itu (tahun 1933) Bahasa
indonesia belum merakyat. Kemudian Bahasa Jawalah yang akhirnya digunakan
sebagai bahasa dalam majalah tersebut karena dirasa paling pas dibanding dengan
opsi yang lain. Jenis bahasa Jawa yang dipakai adalah Jawa Ngoko, yaitu bahasa
Jawa yang tingkatannya paling rendah dan hampir semua orang bisa. Pemilihan
bahasa Jawa Ngoko ini adalah agar majalah tersebut tidak hanya dimiliki oleh
kalangan tertentu saja, melainkan bisa dibaca oleh semua kalangan tanpa
terkecuali.
Bentuk majalah Panjebar Semangat pada awal berdirinya
hanya berbentuk lembaran. Penampakannya persis seperti koran namun tidak bolak-balik.
Semua isinya adalah tulisan, tidak ada gambar-gambar penunjang seperti
sekarang. Panjebar Semangat mengalami transisi dari lembaran-lembaran menjadi
majalah utuh yang apik dan menarik. Tak hanya dari bentuk majalahnya saja yang
mengalami transisi, tapi juga tujuannya. Seiring berjalannya waktu, tujuan
Panjebar Semangat mengalami perubahan, khususnya setelah kemerdekaan Indonesia.
Tujuan yang awalnya adalah menyebarkan semangat merebut kemerdekaan dari
tangan penjajah (Belanda) kini bergeser menjadi mempertahankan bahasa dan
budaya Jawa sebagai benteng terakhir serta menjadi acuan guru Bahasa Jawa di
sekolah-sekolah dalam menulis dan belajar budaya Jawa. Pak Wijoto mengaku bahwa
kantor Panjebar Semangat sering menerima telepon untuk ditanyai mengenai tugas
sekolah tentang Bahasa Jawa. Meski sibuk, beliau selalu meluangkan waktu untuk
menjawab berbagai pertanyaan yang masuk. “Menurut saya itu kreasi yang bagus
tapi kadang merepotkan, hahaha..”, seloroh Pak Wijoto menanggapi hal tersebut.
Sebenarnya Panjebar Semangat bukan satu-satunya majalah
berbahasa Jawa yang ada. Selain Panjebar Semangat ada pula majalah Joyoboyo
(Surabaya), Djaka Lodang (Yogyakarta) dan Jemparing (Tulungagung). “Tapi tidak
semuanya aktif, ada yang kadang terbit kadang tidak. Panjebar Semangatlah
satu-satunya yang masih rutin terbit setiap minggu”, ucap Pak Wijoto. Salah
satu sebab majalah lainnya tidak dapat beroperasi adalah karena pembaca yang
semakin langka. Hal ini juga sempat dirasakan oleh Panjebar Semangat. Meski
sempat kesulitan mendapatkan pembaca, majalah yang mempunyai slogan Suradira
Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti (setiap kebencian, kemarahan,
keras hati akan luluh oleh kelembutan, bijaksana, dan sabar) ini mempunyai
semangat yang tak pernah padam. Buktinya sampai kini majalah yang dipimpin oleh
Kustono Jatmiko (sebagai pemimpin umum) dan Arkandi Sari (sebagai pemimpin
redaksi) ini masih tetap beroperasi. Bahkan, Panjebar Semangat mendapatkan
penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) atas prestasinya sebagai Majalah
dalam Bahasa Jawa Tertua, 80 Tahun pada September 2013 lalu.
Gambar 4. Penghargaan dari MURI kepada Panjebar
Semangat sebagai Majalah Berbahasa Jawa Tertua di Indonesia
(80 Tahun)
|
Salah satu alasan mengapa Panjebar Semangat masih eksis
adalah karena Panjebar Semangat tidak hanya membangun hubungan dagang melainkan
hubungan emosional kepada pembacanya. Pembaca majalah Panjebar Semangat adalah
orang yang bisa berbahasa Jawa, tidak hanya lokal tapi juga internasional. Pak
wijoto mengaku bahwa penikmat majalah Panjebar Semangat tidak hanya warga
Indonesia saja tetapi juga Malaysia, Brunei Darussalam, hingga Australia dan
Suriname. Di manapun dan kapan pun, selama ada pendatang yang berminat
pasti akan kami datangi, meski hanya seorang saja, itulah prinsip yang
dianut oleh Panjebar Semangat.
Masing-masing dari pembaca pembawa cerita menarik, salah
satunya adalah para pembaca dari Suriname. Suriname adalah salah satu negara di
Eropa yang didominasi oleh suku Jawa, yaitu sebuah negara di Amerika
Selatan dan merupakan bekas jajahan Belanda.
“Orang Suriname itu seharusnya kalau sholat menghadap ke timur, tapi karena
mereka masih mengilhami tempat di mana mereka tinggal dulu (yaitu di Jawa),
masih banyak dari mereka yang sholat menghadap ke barat seperti orang
Indonesia”, ucap Pak Wijoto sambil terkekeh. Kami yang mendengar juga ikut
terkekeh. Hal ini menunjukkan bahwa internalisasi budaya Jawa begitu kuat dan
masih lestari bagi mereka meski kini mereka secara geografis tak tinggal lagi
di Jawa. “Tapi nggak papa, toh Tuhan ada di mana-mana, kan?”,
ucap Pak Wijoto sembari menyeruput air minum dalam kemasan. Kami tersenyum.
Para pembaca menyenangi Panjebar Semangat karena dari
majalah tersebut mereka merasa mempunyai ikatan batin dengan budaya Jawa dan
kekhasan yang ada di dalamnya. Para penggemar majalah ini juga sering
mengirimkan artikel-artikel menarik untuk dimuat di Panjebar Semangat (selain
dari artikel yang ditulis oleh redaksi dan wartawan lepas). Pihak dari Panjebar
Semangat memang terbuka terhadap artikel-artikel yang masuk, mulai dari artikel
yang dikirim melalui pos hingga email, yang diketik dengan menggunakan komputer
hingga yang tulis tangan, maupun yang ditulis dengan menggunakan huruf alfabet
sampai huruf Jawa. Sikap terbuka inilah yang menjadikan Panjebar Semangat terus
eksis, meski tentu saja tanpa melupakan aspek seleksi terhadap artike-artikel
tersebut. Dari keseluruhan artikel yang disajikan oleh Panjebar Semangat,
beberapa artikel yang menjadi favorit adalah Alaming Lelembut dan Astrologi.
Alaming Lelembut berisi cerita-cerita mengenai manusia dan kehidupan mistis,
sementara Astrologi secara singkat berisi ramalan bintang. Artikel
lain seperti geguritan (puisi) juga mendapat apresiasi positif oleh pembacanya.
Tak puas hanya duduk di ruang tamu, kami kemudian diajak
untuk berkeliling kantor. Kami melihat ruang redaksi dan ruang kerja karyawan.
Yang menarik adalah bahwa pada setiap pintu selalu ditempel huruf aksara Jawa
yang melengkapi sebuah perintah dengan Bahasa Indonesia, misalnya perintah
“doronglah pintu ini” dan perintah-perintah lainnya. Selain mengunjungi kantor,
kami juga berkeliling tempat percetakan. Tempat percetakan tersebut terletak di
gedung yang berhadapan dengan gedung di mana kita melakukan perbincangan dengan
Pak Wijoto. Alamatnya adalah di Jl Bubutan 85-B Surabaya. Di tempat percetakan
kita bisa melihat bagaimana riuhnya para pekerja yang melakukan kegiatan cetak.
Bau tinta menyebar di ruangan percetakan yang agak pengap. Ada mesin yang
besar-besar, juga tumpukan kertas dengan bau khasnya. Pekerjanya melakukan
kegiatan secara cepat dan cekatan. Sesekali mereka menyeka keringat yang ada di
pelipis. Beruntunglah pada hari itu kami dapat melihat kondisi cetaknya, karena
biasanya percetakan tidak dibuka setiap waktu. Namun pada hari itu hari cetak
dimajukan sehari sebelumnya karena ada kepentingan tertentu.
Gambar 5 . Kami belajar bersama petugas Panjebar
Semangat
|
Usai berjalan-jalan di ruang percetakan, kami naik ke
ruang kantor administrasi. Suasana di ruang ini tentu berbeda dengan ruang
percetakan yang riuh dan pengap. Di sini suasananya cenderung dingin dan
hening. Semua bekerja dalam atmosfir yang tenang. Oleh salah satu petugas, kami
diijinkan untuk melihat-lihat. Salah satu yang menarik bagi kami adalah salah
satu alat yang bernama Graphotype, yaitu mesin yang digunakan untuk
mencetak nama dan alamat pembaca pada besi persegi panjang berukuran sekitar (2
x 8) cm. Tujuan dari dicetaknya nama dan alamat pembaca adalah untuk
mempermudah pengiriman majalah kepada pembaca yang berlangganan agar pengiriman
majalah Panjebar Semangat tidak salah alamat.
Gambar 6. Graphotype, alat
pencetak identitas pembaca untuk ditempel di amplop pengiriman majalah
|
Setelah itu identitas tersebut diberi tinta dan dicapkan
pada amplop cokelat yang padanya sudah tercetak KOP Panjebar Semangat. Majalah
kemudian dilipat dua dan dimasukkan pada amplop. Voila! Majalah siap dikirim.
Sebelum keluar dari tempat tersebut, kami diberi beberapa majalah milik
Panjebar Semangat. Wah, sangat menarik!
Gambar 7. Foto bersama dengan majalah Panjebar
Semangat
|
Kami senang sekali mendapat banyak pengalaman dari
perbincangan pagi ini, namun matahari yang semakin naik ke tengah menunjukkan
bahwa sudah saatnya seluruh staff beristirahat, begitu pula kami. Sebelum
pamit, kami tak lupa mengambil foto untuk dijadikan kenang-kenangan. Terima
kasih, Panjebar Semangat. Tetaplah berkarya dan semakin jaya! (dig).
PS:
Apabila ingin tahu lebih jauh, sila follow instagram Panjebar Semangat
@majalahps.
0 komentar