Instagram Facebook

Digna Tri Rahayu


Tahukah kau hal apa yang paling berharga dalam hidup? Ia bukan harta, bukan tahta, bukan pula wanita/pria. Yang paling berharga dalam hidup adalah ruang dan waktu. Sebab segala yang kau cintai pasti bermuara pada itu.

Pada saat-saat seperti ini yang aku inginkan adalah memetik gitar dengan syahdu, mendendangkan lagu sendu, serta menitikkan air mata rindu. Dalam jangkauan yang paling luar biasa, terkadang ruang dan waktu terasa semu. Tidak jarang ia membuat kita jenuh dalam menunggu. Meski pada akhirnya kita tahu bahwa kita memang diciptakan untuk mampu menguasai itu.

Mungkin kau tidak perlu hadir secara vis-a-vis di depan mata. Selama media penyampai masih ada, itu semua bukan problematika. Namun ingatlah, bahwa dibalik ruang dan waktu ada seseorang yang menunggumu, selalu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
(Baca dulu entri sebelumnya yang berjudul Pada Mulanya Saya Ateis)

Life is about to reveal something. Dalam hidup, kita berusaha menyingkap fakta-fakta dan mencari kebenaran. Namun, itu semua tidak dapat dicapai kecuali kita menggunakan akal kita untuk berpikir dan menemukan relasi atasnya. Hal ini juga berlaku ketika kita mencari keberadaan Tuhan dan kebenaran ajaran agama-Nya. Tanpa akal, kita tidak akan dapat menyingkap sesuatu yang luar biasa. Tanpa akal, kita tidak dapat mendekati kebajikan. Dan paling parahnya, tanpa akal kita tak ubahnya seperti hewan. Sehingga, untuk menemukan Tuhan, kita harus menggunakan akal.

Kepada para ateis, semi-ateis, dan kader-kader ateis (yang dalam hal ini saya sasar secara langsung), dengan hormat saya tidak bermaksud mengatakan bahwa panjenengan semua tidak mempunyai akal hanya karena tidak mempercayai Tuhan dan tidak beragama. Whoaaa, tentu saja salah. Yang ingin saya sampaikan adalah Anda memperlakukan akal Anda dengan kurang tepat. Potensi akal yang Anda miliki seharusnya mampu menjangkau pemikiran mengenai sesuatu yang tidak hanya bersifat material, tapi juga imaterial. Namun Anda kepalang gengsi untuk sekadar mengakui keberadaan Tuhan, apalagi menyembahnya.  Kecerdasan dan kejeniusan Anda membuat Anda terlihat naif, sebab Anda tidak mampu mengalahkan ego pribadi Anda untuk mengakui bahwa ada entitas yang menciptakan dunia (ya, termasuk Anda sebagai salah satu ciptaannya). Kalau kepada Tuhan saja Anda tidak percaya, bagaimana mungkin Anda mau repot-repot beragama? Yhaaaa, boro-boro agama, Tuhannya aja dianggap tidak ada kok.

Memang begitulah keyakinan mereka (para panjenengan  yang saya sebutkan di atas). Saya bisa memahami mengapa mereka bersikap demikian. Saya tidak berusaha memaksa mereka untuk mempercayai Tuhan. Saya hanya mengetes mereka, apakah pendapat saya cukup logis atau tidak, sebab mereka sangat menjunjung tinggi kelogisan. Dengan demikian, satu-satunya yang mereka percayai adalah hukum alam, bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan mekanismenya. Lhooo, saya ini tidak bilang bahwa mekanisme alam itu tidak berjalan. Saya setuju bahwa segala sesuatu berjalan sistemik dan sesuai dengan ketetapan-ketetapan alam. Mulai segala sesuatu yang berhubungan dengan penciptaan, perjalanan hingga kemusnahan dunia, itu semua sudah merupakan konsekuensi logis dari berjalannya alam semesta. Namun, kalau ditarik lebih jauh lagi pastilah ketetapan-ketetapan itu ada yang menciptakan. Bukankah tiap segala sesuatu ada yang menciptakan, dude? Poin penting inilah yang seolah luput (atau mungkin sengaja diluputkan) dari pandangan mereka, bahwa keberadaan entitas pengatur segala hukum alam itu tidak diperhitungkan.

“SAYA MASIH TIDAK PERCAYA DENGAN TUHAN!” (ya biasa aja keleus gausah pake caps). Kan, ya mustahil kalau ada sesuatu yang berdiri sendiri tanpa diciptakan? Kayak gimana ya, ya kayak gak logis aja gitu.”

Ya itulah mengapa ia disebut Tuhan. Kalau seandainya masih ada yang menciptakannya, tentu ia bukan Tuhan. Kalau seandainya ada yang kekuatannya lebih besar darinya tentu ia belum dapat disebut Tuhan. Kalian hanya dapat menyebutnya Tuhan ketika ia sudah berada pada tataran final. Final dalam arti bagaimana? Final dalam arti Maha Segalanya. Maha Menciptakan, Maha Berkuasa, Maha Berkehendak, dan maha-maha lainnya. Kalau ia masih belum maha, maka ia bukan Tuhan.

“Tapi, Tuhan itu nggak kelihatan. Tidak bisa dilihat secara empiris. Terus kamu beranggapan bahwa saya harus menyembah sesuatu yang bahkan gak keliatan? Jangan-jangan kamu yang sesat karena nyuruh-nyuruh saya menyembah barang ghoib!”

Waduh, pengen melihat wujud Tuhan secara empiris? Tsadeest gilsss! Tuhan itu berada di luar ruang dan waktu, sementara kita selalu berada dalam konteks ruang dan waktu. Sama seperti yang diucapkan Goenawan Muhammad, bahwa Tuhan berada di luar konsepsi manusia. Intinya, ya mustahil, neng. Selain mustahil, ini merupakan bentuk kesombongan. Keinginan manusia untuk melihat Tuhan secara empiris, secara tidak langsung juga menunjukkan kebodohan mereka. Logikanya gini, kalau kalian tidak mampu melihat matahari, bagaimana kalian bisa melihat pencipta matahari? Sumpah, tak jamin awakmu durung-durung wes mati dhisikan.

Sampai sejauh ini, pasti masih ada yang tidak percaya dan seolah bisa hidup tanpa Tuhan. Hanya karena Tuhan tidak nampak, kemudian ia bersikap semena-mena, sombong, merasa bahwa dia akan berhasil dengan usahanya sendiri, dengan kerja keras, dan hanya percaya pada hukum-hukum alam. (kerja keras memang harus, tapi ga boleh sombong. Poinnya ada pada kata “sombong”. Oke?). Lagipula, seberapa besar kalian mampu berkuasa atas diri kalian? Fir’aun yang notabene raja saja di akhir hayatnya sadar kalau ia hanya makhluk lemah (bahkan sampe ampun-ampun). Nah, kalian? Bayar UKT aja masih minta orang tua, gitu mau sombong? Ya maksud saya, tetaplah menundukkan kepala. Bagaimanapun, keberadaan kalian sangat kecil. Kalian tak ubahnya seperti seupil rinso dibanding Laut China Selatan (sorry, maksudnya sekecil atom dibanding alam semesta). Kalau masih mau sombong dan berbangga hati tanpa mengakui Tuhan, hmmmm edyaaan. You wanna be Fir’aun 2.0? Hayati lelah melihat kalian.

“Aku gak perlu Tuhan dan ajaran-ajarannya, kan sudah ada norma-norma sosial? Selama aku mematuhi itu, hidupku aman”.

Benar, norma-norma sosial memang perlu dipatuhi. Tapi, yang namanya buatan manusia kan pasti ada kelemahannya. Bagaimanapun, kemampuan manusia itu terbatas. Belum lagi tercampur-campur dengan ideologi-ideologi manusia yang ujung-ujungnya berpihak kepada......(sudahlah, lagi nggak mau ghibah, takut baper). Manusia memang boleh bikin teori dan norma-norma dengan menggunakan akal, memang harus menggunakan akal malah. Tapi yang perlu diingat, manusia mempunyai limit atau batasan terhadap kemampuannya. Artinya, ada sesuatu yang tidak dapat kita tentukan secara adil, sehingga, kalian tetap butuh pedoman yang kompleks dan komprehensif, yang bersumber dari Tuhan. Sebab, Tuhan Maha Tau, Maha Pintar, Maha Cerdas, Maha Sophisticated, dan Maha Jenius. Make sense?

Pada intinya, Tuhan itu ada dan dapat dibuktikan dengan akal. Keberadaan Tuhan memang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, oleh sebab itulah Tuhan memberikan kita petunjuk-petunjuk yang dapat dijangkau dengan akal manusia. Karena melalui akal, manusia dapat menemukan kebenaran. Maka, apakah kau tidak menggunakan akalmu?

Saya nulis begini bukan karena saya benci orang ateis in person. Nooo! Saya tidak mengecam orangnya, saya hanya tidak setuju dengan pemikirannya. Secara sosial, saya akan tetap baik dengan mereka. Kalau mereka mencret, saya siapkan entrostop; kalau mereka minta beliin bensin premium, saya kasih pertamax; kalau mereka fakir kuota, saya kasih tathering wi-fi;. Kurang baik apa coba? Asal jangan minta jodoh ke saya, karena saya sendiri juga belum nemu. Sekian.


To be continued – Tulisan ini dibuat dan diposting pada 20:50 WIB, dalam kondisi perut koleps akibat terlambat sarapan.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

Pada mulanya saya ateis. Sebab kata orang-orang, Tuhan itu tidak ada. Dan saya percaya itu. Keberadaan Tuhan terlalu abstrak, tidak logis, tidak empiris (setidaknya menurut saya). Saya hanya percaya pada hukum alam, bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan mekanismenya.

Lagipula, siapa peduli dengan keberadaan Tuhan? Saya tidak mau pusing-pusing memikirkan hal-hal ruwet seperti itu. Cukuplah saya hari ini bisa makan, tugas kuliah selesai, dan tidak ada masalah dengan pacar (eh, btw saya tidak belum punya pacar). Itu.

Kalaupun saya percaya Tuhan, saya masih bingung. Sebab Tuhan hobi menyelinap di berbagai agama. Saya masih harus dipusingkan dengan perihal memilih agama mana yang tepat. Belum lagi ritual-ritual menjemukan yang harus dijalankan. Sungguh, saya tidak mau keriput dan terkena penuaan diri hanya karena terlalu banyak mikir. Masalahnya, biaya pengobatan salon (beserta krim-krimnya) semakin mahal dari hari ke hari. Tekor, gengss.

Kalaupun saya percaya Tuhan dan saya beragama, percayalah bahwa itu semua sekedar doktrin. Itu semua semata-mata hanya untuk mengisi kolom agama pada kartu identitas, juga agar dipandang normal di kalangan masyarakat. Ya, saya tinggal di Indonesia, sebuah negara yang “mewajibkan” warga negaranya beradab dengan cara beragama. Tolol. Bukankah urusan agama adalah urusan saya dengan Tuhan? Tolong pisahkan!

Toh tanpa beragama, saya tetap baik-baik saja dengan kehidupan saya. Sebab saya mengikuti norma-norma sosial yang berlaku. Selama saya tidak mematuhi itu, saya tidak akan bermasalah. Sudahlah, hidup itu yang praktis-praktis saja. Yang gampang tidak usah dibikin ribet.

Kalian boleh marah dan memaki-maki saya. Saya tidak peduli. Lagipula, apakah kalian benar-benar bertuhan dan beragama? Kalian boleh kebakaran jenggot karena merasa bahwa Tuhan memang ada, dan agama kalian yang paling benar. Tapi, bagaimana tanggungjawab kalian terhadap Tuhan kalian, terhadap agama kalian? Sejauh mana kalian bisa membuktikan itu? Bukankah kalian semua hanya orang yang terdoktrin oleh dogma-dogma yang mengatasanamakan Tuhan dan agama? Hati-hati loh. Itu bahkan lebih berbahaya daripada ateis. Belum lagi kalau kalian tidak bisa konsisten dengan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Ujung-ujungnya, kalian hanya akan mempermalukan ajaran Tuhan yang suci. Eakkkk.

Nah, gimana? Masih yakin mendaku diri sebagai yang bertuhan dan beragama? Atau pilih jadi ateis saja seperti saya? ^____^

Mungkin banyak orang yang dongkol dengan ilustrasi diatas. Jangankan kalian, saya saja yang bikin juga merasa jengkel, kok. Ilustrasi diatas memang sengaja diciptakan sebagai bahan refleksi, bahwa ternyata selama ini hidup kita terlalu praktis. Kebanyakan dari kita mungkin menempuh sesuatu yang kita anggap enak, bukannya mencari sesuatu yang hakiki, yang benar dan yang seharusnya.

Begitu juga masalah tentang ketuhanan dan keagamaan. Bagi kita yang tinggal di Indonesia, adalah sesuatu yang tabu jika kita tidak memeluk suatu agama, ya minimal di KTP lah. Apalagi pemerintah juga seolah “menyiratkan” pesan bahwa Indonesia adalah negara yang bertuhan dan beragama. Salah satunya jelas terlihat pada pancasila sila pertama yang berbunyi blablabla.... (semoga masih ingat).

Selain sila pertama yang saya ucapkan dengan lafadz blablabla tadi, ketersiratan pemerintah juga terlihat melalui cacat pikir seperti “di Indonesia, ada 5 agama yang diakui. Yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha (baru-baru ini ditambah dengan Kong Hu Chu)”. Padahal faktanya, harusnya tidak ada pembatasan agama, kan? Indonesia tidak hanya mengakui beberapa agama saja, namun mungkin sejauh ini memang hanya dapat mengakomodasi lima-enam agama saja. Tapi celakanya, propaganda seperti ini sudah saya dengar semenjak Sekolah Dasar dan sampai saat ini saya masih berusaha move on dari propaganda tersebut. Bagaimana bisa terjadi hegemoni semacam itu tidak akan dijelaskan disini.

Nah, dari beberapa agama tersebut diatas, terlihat ada satu agama yang menjadi primadona, sebab paling banyak pengikutnya. Ya, islam. Akhir-akhir ini jumlah manusia-manusia yang mengaku beragama islam semakin meningkat. Berapa jumlah para pemeluk agama islam di Indonesia? Tanpa perlu menyebutkan jumlahnya secara pasti, saya dengan lantang meneriakkan: BANYAK DAN MAYORITAS!! (Anda bisa googling sendiri, deh).

Namun, selayak apa kebanggaan kita terhadap ke-banyak-an dan ke-mayoritas-an atas kuantitas tersebut? Bukankah seharusnya quality over quantity? Yang berarti bahwa seharusnya kualitas haruslah mengungguli kuantitas. Tapi nyatanya? Banyak kita lihat muslim kekinian yang tidak menunjukkan keislamannya, atau menunjukkannya dengan cara yang kurang tepat.

Akar permasalahannya (menurut saya) ada dua: mereka belum paham dan atau mereka tidak berusaha memahami (secara komprehensif). Buntut-buntutnya, mereka akan dengan mudah tergolek lemah ketika dihadapkan dengan premis-premis dari kelompok yang tidak beragama dan tidak mempercayai Tuhan. Atau barangkali para muslim kekinian Indonesia, (tidak termasuk saya), sudah benar-benar meninggalkan kepercayaannya atas Tuhan? Kalau tidak, syukurlah. Tapi kalau iya, siaga satu!

Hmmm kira-kira apa penyebabnya? Bagaimana dengan mudah keyakinan tersebut tanggal?



To be continued. – dibuat dan diposting pada Rabu, 11 Mei 2016 pukul 20:30 WIB (Waktu Indonesia Berak).
Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar
Ini adalah visualisasi, ketika proletar termarjinalkan secara hakiki, oleh borjuis yang tak punya hati. Barangkali mati tak akan terjadi, karena sang penguasa selalu meyakini, bahwa ia adalah pembuat histori, juga pengatur segala-gala tentang materi. Lantas, yang terinjak bisa apa? Kalau tidak memperjuangkan harga diri, siap-siap saja mati berdiri!


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kemarin dan hari ini sama-sama nikmat. Meski tidur tak pernah tamat, juga kurang istirahat. Sungguh segalanya terasa penat. Namun ku percaya, bahwa ini akan membawa hikmat. Sebab Tuhan tak kan terlambat, dalam memberi berkat.

Tertanda, hambaMu yang kurang tirakat, jarang tobat, tapi sering maksiat.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Photo cr: islamicartdb on pinterest
Aku lagi-lagi mengulangi. Barangkali dalam penghayatan inderawi, ada yang luput dipercayai.
Sungguh yang kudapati, tak lain adalah segala yang menentramkan hati. Bahwa tak ada keraguan, bagi yang yakin pada Yang Maha Merajai.
Hanya bagi yang gengsi dan picik hati, yang sampai mati tak mau mengakui. Kemudian mereka menyesali, padahal sebelumnya mereka menertawai.
Bukankah sejak zaman azali mereka diberi rizki, dengan berlimpah tanpa perlu membeli? Namun, ketika hidup di bumi, mengapa ia mendustai?
Pikirkan dengan jeli, dengan cita rasa tanpa manipulasi, wahai orang-orang yang (katanya) berakal dan berserah diri.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Photo cr: Telekainetic.

Aku terjerembab pada gravitasi ranjang. Ribuan titik terang yang seharusnya bisa kutemukan kini mendadak hilang. Fungsi neuronku benar-benar mandek, tidak cukup sanggup untuk menemukan solusi bagi pemecahan mata kuliah ini. Bukan, ini bukan tugas mendebat-kusirkan pemikiran Hegel atau Heidegger. Maksudku, ini lebih dari itu. Bagaimana bisa aku menemukan tempat percetakan yang melayani penjilidan hard cover dalam waktu 6 jam sebelum deadline pengumpulan. Ini gila.

Tapi ada yang lebih parah dari (sekedar) membahas tugas kuliah. Aspek hidupku lebih luas daripada itu. Banyak yang kupikirkan, bahkan termasuk yang tidak harus. Sungguh konyol. Aku mengeruk guling dengan damai, memeluknya barangkali ada kenyamanan yang ku dapat.

Ketika sedang berkutat dalam segala permasalahan semu yang tak jelas ini, lampu kamar padam. Aku tidak mengutuk pegawai kelistrikan. Yang aku sesalkan adalah mengapa segalanya menjadi gelap dalam waktu yang bersamaan, tak hanya otakku tapi juga ruangan ini.

Sejalan dengan padamnya lampu kamar yang pada mulanya memang remang-remang, otakku menerawang. Bulu kuduk pun mulai meremang. Bukan, ini bukan kode munculnya hantu atau sejenisnya. Maksudku, ini lebih dari itu. Yang datang kali ini adalah ingatan, atas seseorang yang mungkin pernah menjadi pagi bagi matahari, atau malam bagi bulan.

Pikiranku mengais memori lampau. Yang kemudian muncul sebuah adegan dimana perasaan lega bergelayut manja. Tapi itu hanya sejenak, sebab kutahu bahwa kelegaan itu meninggalkan kerapuhan yang sulit hancur. Ia menggantung, bagai peribahasa hidup segan, mati tak mau.

Sial. Aku kembali merutuki nasib. Kali ini aku sedikit menyalahkan petugas kelistrikan, sebab sudah satu jam lampu ini tak kunjung menyala. Sementara, deadline tugas kuliah tinggal 5 jam lagi. Aku harus berbuat sesuatu.

“Ra, tempat penjilidan hard cover yang masih buka jam segini dimana ya?”
Aku menelepon seorang kawan.

“Lu pikir pekerjanya mesin yang ga butuh istirahat? Ya kali anak ITS kaga ada istirahatnya. Gue tidur. Lu gila bangunin gue jam segini. Besok gue presentasi pemasaran.”
Klik! Telepon terputus.

Geez... bahkan sahabat bisa menjadi galak disaat seperti ini. But, wait... ITS! Bukankah di dekat ITS ada penjilidan 24 jam? Astagaaaaa! Aku bahkan tak mampu mengingat hal ini. Aku melompat dari ranjang. Tangan kiriku meraih flashdisk dan dompet, sedang tangan kananku memasukkan telepon genggam ke kantong celana. Segeralah aku bergegas menuju tempat penjilidan. Niatku sempat melemah, mengingat ini adalah dini hari. Tapi, ah persetan. Aku percaya esok justru akan jadi neraka yang nyata kalau hari ini aku tidak bergegas. Karena dosen tak pernah tanggung-tanggung memberi diskon pada yang terlambat mengumpulkan tugas.

Suasana dini hari benar-benar sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Untungnya lampu jalan tidak turut padam. Aku menengok ke layar smartphone, hmmm lima derajat celcius. Tak hanya sepi, tapi juga dingin. Sambil merapatkan jaket, aku mengambil langkah sedikit berlari. Suara-suara aneh sempat melewati gendang telinga, namun aku berusaha fokus pada tempat yang ku tuju. Menjadi indigo di saat-saat seperti ini sungguh tidak mengenakkan.

Beberapa langkah lagi aku memasuki gerbang ITS. Tulisan “Instutute Technology of Seoul” terpampang jelas. Bangunannya begitu megah. Namun aku tidak pernah berniat untuk menimba ilmu disini. Semenjak awal aku sengaja menghindari bertemu dengan rumus-rumus rumit. Hidup manusia sudah rumit, mengapa harus ditambah-tambah lagi? Tidak masuk akal, bagiku.

Dari jarak beberapa meter aku mendengar suara orang berbincang. Mungkin mahasiswa atau semacamnya. Oh, tapi tidak. Mereka berasal dari dunia lain, dan aku tidak akan menjelaskannya. Aku tidak akan mengganggunya. Semoga mereka tidak melihat ke arahku. Aku lantas berlari, berlari sungguhan. Bukan takut pada mereka, namun takut kalau-kalau tempat penjilidan sudah tutup. Cerobohnya, aku terantuk batu yang cukup besar hingga terperosok dalam kubangan. Untungnya tak berair.

Aku sempat kehilangan fokus sejenak. Hingga suara gesekan sepatu dengan tanah berumput lamat-lamat terdengar semakin jelas. Ada yang mendekat, dari arah punggungku. Sial, makhluk dari dunia mana lagi ini, pikirku. Ia mendehem, membuatku kepalang tanggung untuk tidak menoleh. Tapi belum sempat aku menoleh, ia telah menunjukkan identitasnya.

“Gadis macam mana yang berkeliaran malam-malam begini hingga terperosok masuk kubangan?”

Aku menoleh. Tidak salah lagi, ia memang manusia. Tapi, dari sekian banyak wajah, mengapa harus wajah ini yang kulihat? God, can I just escape from this situation?

To be continued..
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Her aura is made of poetry, roses and sarcasm.

Follow Us

  • LinkedIn
  • Instagram
  • Facebook

Handcrafting

Go follow @bukakreasi on Instagram. Thx!

Blog Archive

  • ►  2018 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ►  2017 (8)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2016 (15)
    • ►  Desember (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ▼  Mei (7)
      • Teori Ruang dan Waktu
      • Life is About to Reveal Something
      • Pada Mulanya Saya Ateis
      • Revolusi Milik Bersama
      • Renungan Setengah Malam
      • Renungan Sepertiga Malam
      • Recall 2016
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (5)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates