The Allegiant; Sebuah Tautan Kesetiaan

by - April 03, 2016

Photo cr: Fissabila.

Dengan sangat berat, ini adalah pengakuan dari diri yang merasa inferior. Ketika kau menghadapkan diri pada sosok yang luar biasa indah, yang akan sangat sayang ketika kau tolak entitasnya. Karena sungguh bagaimanapun, ia memanjakanmu, memanjakan mata kecilmu yang tiap hari hanya kau isi untuk berlelah-lelah melihat rangkaian paragraf tanpa makna. Terhadapnya kau menjadi kecil, seolah ia yang lebih leluasa melingkupi. Dan kenyataannya adalah kau menghendaki dirimu untuk didominasi.
                                 
Betapa kau sudah mengumbar senyum, dengan sesumbar  kau pamerkan seolah  lebih manis dari madu. Kau membangun keutuhan, berharap akan ada hasil maksimal. Tanpa perlu banyak usaha untuk mereduksi, menerka-nerka informasi, menguarkan ketar-ketir dalam hati.

Sekali lagi, balasan senyum yang begitu indah melupakan sejenak kenyataan bahwa ia hanyalah orang baru, orang lewat, seorang figuran yang mungkin nyata secara materi. Tapi dalam satu spasi, ada kekosongan yang begitu padat. Kekosongan itu bagai teka-teki yang tak memungkinkan orang sepertiku untuk menjawab.

Taruhlah fakta bahwa kami berada pada jarak privat, secara kasat mata. Pada batasan secara rasional, bukan emosional. Ada yang mencoba begitu kuat, menemukan unsur yang diperlukan agar reaksi ini berjalan. Reaksi kimia ini kau sebut chemistry, sesaat kemudian.

Lunak, hati ini sampai yang terdalam pun melunak. Pandangannya begitu teduh, namun hanya seperempat dari sekian detik. Alisnya tidak begitu tebal, tapi meneduhkan. Kala mulutnya komat-kamit berbicara, aku tidak melihat kepura-puraan. Hanya beberapa sisi terlihat bahwa setiap orang tidak sama dalam mengungkapkan, tapi setidaknya ada usaha yang besar telah dilakukan.

Kalau kau tahu bagaimana caranya berpikir, lihatlah dari caranya berjalan. Ia berjalan dengan cepat, tapi langkah kakinya kuyu sendu. Bukan main ingin ku topang, tapi aku kalah cepat darinya. Sehingga daya yang kupunya hanya ku habiskan untuk melihat dari jauh. Sampai pada masa dimana aku dengan tergesa menyanding langkahnya, dengan kembali mengulas senyum tak bernyawa.

Ini pertemuan pertama, bukan yang paling sempurna. Setidaknya ia bercerita tentang keluarganya, juga tentang selayang pandang keinginan untuk melanjutkan studi ke Eropa. Ia yang baru rapi kumis tipisnya, meluapkan energi yang membuatku berdebar rasa. Sengaja stopwatch kubiarkan menyala, menghitung mundur sampai dimana kegilaanku sanggup bersua. Pun kompas menerawang, mencari-cari arah darimanakah kegilaan ini bermula.

Aku harus bijak, meski sedikit demi sedikit. Memahami bahwa kau tidak sesempurna seperti yang ada dalam bayangannya, memerlukan banyak tenaga. Meski kau gagal secara visual, tapi setidaknya kau tampil maksimal. Bibirmu kau olesi gincu, telapakmu kau usapi harum-harum parfum. Bersaing dengan wangi tubuhnya ketika angin degan lembut menerpa.

Ketika kau mulai memikirkannya sepanjang perjalanan, maka eksistensinya dalam pikiranmu cukup ada. Kau tarik kembali memori bahwa ia melempar kemauan untuk duduk berdampingan, menikmati tayangan dari negeri entah, dalam bangunan bertingkat yang pada hari itu tak terlalu ramai. Selama tayangan itu ditampilkan, ia bungkam. Tak mengatakan sepatah katapun menjadi petunjuk bahwa ia menikmati, atau justru perilakunya menghianati. Ia lalu melihat jam tangan, mengingat bahwa ada kewajiban menyembah Tuhan.

Sejurus pandangan menyapu, hanya ada beberapa kursi yang tak kosong dalam bangunan itu. Kita membuatnya menjadi lebih sepi sejenak. Saat beberapa sujud menepi dalam ruangan sempit yang tempat bersucinya tak terhijabi.

Bahwa aku melihatnya menyingkap rambut sesaat setelah dahinya menyentuh tanah, adalah suatu keberkahan. Aku hanya melihat sekali, dan mungkin tak akan pernah lagi. Karena beberapa masa kemudian, kami terpisah jarak di ujung gang malam ini. Meski pada akhirnya tidak bisa dimiliki, setidaknya bisa menjadi pelengkap mimpi. Kesediaan menghadirkan pecahan memori, sedalam-dalamnya ingin kembali ku nikmati, lamat-lamat lagi.

Aku menemukan diriku berbeda dalam memandang ia. Satu yang dapat kugarisbawahi adalah bahwa kau tidak perlu menjadi sempurna, karena ketika kau menjadi sempurna maka hanya keinginan menghancurkan yang mengapung di atasnya. Kau tidak perlu mengobrak-abrik hukum keseimbangan yang sudah diciptakan sesuai porsi. Kau hanya perlu mengatur pikiranmu agar tidak menjadi pribadi yang terobsesi menguasai ini-itu di segala lini.

Akhirnya berbahagialah, wahai kau jiwa yang ku banggai untuk menemukan pendamping sejati. Raga dan jiwaku mungkin tak akan pernah menjadi hitungan yang bernilai tinggi. Sebaliknya, aku hanya punya ucapan yang secara berkala kupanjatkan, agar kita dipertemukan pada yang paling tepat atas waktu dan kesempatan. Kelak, dalam ridho Yang Maha Mengabulkan.

You May Also Like

4 komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Betapa tulisan ini selalu membuatku bertanya tanya.. ada apa? Dengan siapa? sampai seperti apa? Mengapa? betapa beberapa bagiannya terasa serupa, namun sebagian lagi terasa asing. Aku harap suatu masa kita bisa bersua atau bahkan di takdirkan oleh sang Kuasa dengan tak sengaja.. bertemu, bercerita.. dengan berlapang dada.. #puitisdikitefekdengerinradio

    BalasHapus