Instagram Facebook

Digna Tri Rahayu

(Cr: Goodreads)

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Pramoedya Ananta Toer
Jakarta: Lentera Dipantara
2012 (Cet.9)
Hari ini aku mengetuk pintu rumah Karl Marx, katanya ia sedang tidak enak badan. Sebagai bahan bacaan, aku berikan buku karya Pramoedya ananta Toer yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini padanya. Ia bertanya, “buku apakah ini?”. “Baca saja, niscaya kamu akan semakin yakin tentang yang kau pikirkan”, jawabku. Aku bergegas pulang setelah kututup pintu rumahnya yang mulai reyot.

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels adalah buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berbicara mengenai tragedi kerja paksa terbesar sepanjang sejarah di Tanah Hindia. Meski bukan buku yang seratus persen akademis dan formal, Pram dengan segala kecerdasannya berhasil meramu data dan peristiwa dalam balutan sastra yang epik dan luar biasa. Ia menceritakan perjalanannya selama melihat sang penguasa menghardik pribumi (suatu “kasta” di mana Pram adalah bagian di dalamnya). Perjalanan tersebut dimulai dari tempat kelahirannya di Blora, Jawa Tengah.

Dalam bukunya, Pram berbicara mengenai genosida paling mengerikan yang dilakukan oleh penguasa kepada pribumi pada 1809. Jalan Raya Pos atau yang biasa dikenal dengan jalan Daendels adalah jalan yang membentang 1000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa mulai Anyer hingga Panarukan. Jalan tersebut adalah proyek besar yang digawangi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dibawah pendudukan Perancis, Wilhelm Daendels. Daendels dikenal sebagai orang yang berhati baja sekaligus berkepala angin, tak punya kekuatan untuk menghadapi argumentasi. Ia akan langsung mengancam dengan bentakan dan bahkan menembak mati lawan argumentasinya. Mengerikan, bukan?

Tak terhitung lagi banyaknya pekerja yang mati dalam pelaksanaan proyek pimpinan Daendels tersebut. Penyebabnya mulai dari malaria, kelaparan, hingga kelelahan. Jumlah korbannya sangat banyak tapi tidak pernah diusut secara tuntas. Menurut perkiraan, jumlah korban yang meninggal selama pembuatan jalan Raya Pos kira-kira 12.000. Singkat cerita, ini adalah penampakan dari kekuasaan penjajah yang penuh kesewenang-wenangan. Sangat tragis dan mengerikan.

Keesokan harinya Marx bertandang ke rumahku, ia menceritakan kembali tentang apa yang dipikirkannya mengenai buku yang kuberikan padanya untuk jadi bahan bacaan. Marx mengatakan bahwa yang terjadi pada buku tersebut adalah peristiwa dialektis dan hostoris. Pertarungan yang menewaskan puluhan ribu orang tersebut sejatinya disebabkan karena satu hal: materi. Materi membuat orang bisa gila dan saling berebut dan memperebutkannya. Segala sesuatu yang disebabkan karena materi mempunyai kata lain bahwa materi adalah struktur dasar (basic structure) dari segala yang terjadi dalam masyarakat, mulai dari sosial, politik, budaya, hukum, dsb.

Semua sejarah orang-orang besar diawali oleh materi. Materi membuat manusia secara sadar merasa bahwa ia mempunyai kebutuhan dan berusaha keras untuk mengejar keinginan tersebut. Inilah yang sebenarnya dilakukan oleh Daendels, ia ingin mencapai tujuannya dalam membangun jalan sepanjang 1000 km mulai Anyer-Panarukan. Untuk dapat mencapai hal tersebut tentu saja Daendels tak bisa sendirian, ia butuh bantuan dari orang lain untuk melancarkan misinya. Lalu Daendels menggunakan pribumi sebagai pembantunya. Ia menjadikan pribumi sebagai budak yang dibayar murah namun diperas tenaganya hingga mati. Hingga benar-benar mati.

“Wahai rakyat, kalian sesungguhnya hanyalah objek, sementara aku adalah subjeknya. Dan sejarah adalah milik penguasa”, mungkin itulah yang ingin dikatakan Daendels. Apabila Daendels meminta dikirimkan 1.000 pekerja setiap harinya sementara hanya sedikit dari mereka yang selamat, maka berapa jumlah pekerja yang dibutuhkan selama setahun? Orang yang berkuasa memang nyaris gila, ia tidak peduli berapa orang yang dikorbankan asal tujuannya tercapai. Semua pribumi lalu marah dan berontak, namun Daendels seolah mengatakan bahwa kematian rakyat kecil itu tak ada artinya karena masih banyak yang bisa menggantikan. Kematian mereka tak akan dipahami sebagai pengorbanan. Nama mereka juga tak akan masuk dalam buku sejarah, paling-paling hanya tubuhnya yang bergelantung di atas dahan rapuh sepanjang trotoar Anyer-Panarukan. Toh salah satu anugerah bumi nusantara ini, selain tanahnya yang subur, rakyatnya juga melimpah ruah. Tentu berbeda apabila yang tewas adalah penguasa, maka namanya akan tercatat dalam sejarah.

Marx menjelaskan panjang lebar sambil mengelus jenggot panjangnya. Aku mengangguk mendengarkan ceramahnya dengan hikmat. Tiba-tiba ada pertanyaan yang terlintas. Langsung saja kutanyakan padanya, “apakah mungkin masyarakat mampu melawan orang yang mempunyai kekuasaan, lalu menjadikan kedudukannya setara dengan mereka?”. Mark mulai memaparkan ramalannya. Mereka bisa melakukan revolusi dengan cara mengambil alih kuasa dari pemilik kuasa. Namun itu butuh waktu dan kesiapan, karena konsekuensinya adalah akan terjadi kekacauan yang luar biasa. Nanti kau akan lihat apakah penguasa akan terus menjadi penguasa, dan apakah budak akan terus menjadi budak. Mungkin suatu saat akan ada saat di mana budak dan penguasa setara, namun karena dunia bersifat dialektis-historis, maka penguasaan atas rakyat akan mungkin terulang kembali. Yang bisa kau lakukan saat ini adalah terus mengikuti arah perkembangan sejarah bangsamu. Dengan begitu kau akan dapat melihat mana kah dari ramalanku yang benar-benar terjadi.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kartini Jangan Kurang Baca, Kartini Jangan Kurang Tamasya

Kartini (Cr: resiprositi.com)
Maaf aku baru sempat mengirimkan balasan atas suratmu, Kartini. Meski sudah berabad jarak kita terpisah, aku berharap semoga kau masih setia menunggu jawabanku. Kau tidak marah, kan? Jujur saja aku terlalu sibuk mengamati “keajaiban-keajaiban” yang terjadi di dunia semenjak kepergianmu, mulai dari yang trivial hingga yang krusial. Sebentar lagi akan kuceriterakan padamu.

Tahukah kau, Kartini, bahwa tak ada yang lebih pedih ketimbang mengetahui fakta gadis-gadis sekarang yang kian hari kian bodoh. Mereka bertanya sebelum membaca, namun tak menggubris ketika diberikan penjelasan. Maka, jangan ajukan pertanyaan kepada mereka mengenai Minnebrieven atau Max Havelaar karya Multatuli. Bahkan aku pun tak yakin mereka tahu siapa itu “Multatuli”. Jika sudah begitu, tahanlah dirimu untuk menanyai mereka tentang karya-karya berharga lainnya yang pernah kau baca seperti  Moderne Vrouwen (Wanita Modern), Moderne Maagden (Gadis Modern), dan De Vrouwen en Sosialisme (Wanita dan Sosialisme). Mereka pasti akan saling tengok menengok, lalu menggeleng. Mereka tak akan paham.  Yang mereka pahami mungkin sosialita, bukan sosialisme.

Aku sangat sedih, Kartini, sebab gadis-gadis yang mengaku mengagumi dirimu bahkan tak mampu mengilhami siapa dirimu sesungguhnya. Ingin kuteriaki kuping mereka dengan perkataan Kartini jangan kurang baca, Kartini jangan kurang tamasya. Mereka nampaknya kurang menyadari bahwa membaca membuat diri mereka mampu berkelana sejauh-jauhnya, bahwa dalam perjalanan berkelana itu mereka mendapat gairah akan pengetahuan. Terlebih lagi, membaca mampu membuat diri mereka bermartabat sebab tak mudah dilacurkan oleh penguasa.

Tentu saja yang kumaksudkan dengan istilah membaca disini tak sekedar membaca gabungan alfabet-alfabet saja, tapi juga membaca kondisi sosial, merumuskan masalah, dan menentukan jalan keluarnya. Oleh sebab itu untuk menjadi Kartini sepertimu mereka harus cerdas dan sering-sering melakukan tamasya. Mereka yang kurang tamasya akan menjadi orang yang terpingit (dalam arti sesungguhnya) oleh pemikiran yang sempit. Sekali waktu mereka harus bepergian dan berkelana, mencari warta dan fakta, menemukan terang di antara gelap dan menembus zona nyaman demi mendapat esensi dari emansipasi.

Untuk bisa menembus kegelapan tersebut, mereka perlu meniru keberanian dan kegesitan yang ada padamu. Kalau aku tak salah ingat, kau pernah dipanggil dengan sebutan Trinil, bukan? Trinil, burung yang lincah. Aku tak heran ketika mengetahui perubahan apa saja yang kau ciptakan dari sikapmu yang lincah dan pemikiranmu yang gesit itu. Tapi sayang sekali, Kartini, kelincahanmu sedikit berbeda dengan kelincahan gadis-gadis zaman sekarang. Gadis-gadis sekarang hanya lincah di depan gawai. Mereka betah seharian berada di depan gawai, mengkonsumsi berita-berita trivial yang tak memberikan kebermanfaatan padanya.

Oops, maaf Trinil, aku lupa jika kau tak pernah mengenal tentang istilah gawai. Aku maklum. Kini akan kujelaskan padamu apa itu gawai. Singkat cerita, gawai adalah teknologi yang digunakan untuk mempermudah kehidupan manusia, bisa digunakan sebagai alat komunikasi, alat mencari informasi hingga menulis surat seperti yang kulakukan saat ini. Wah, aku membayangkan betapa kau akan kagum dengan kecanggihan teknologi saat ini. Kau bisa mengirim ratusan surat tiap harinya kepada sahabat-sahabatmu tanpa ragu dan takut. Kau bisa menjadi terkenal hanya dalam hitungan hari. Kau bisa mendobrak budaya Jawa yang mengekang. Kau bisa mengoyak pemerintahan Belanda dengan membumikan tulisan kritismu.

Kartini, kau mungkin akan sangat terkenal di Facebook dan Instagram, salah satu fitur yang bisa kau akses melalui gawai. Kau pasti akan menjadi public figure terkenal disana. Kutaksir pengikutmu sebelas dua belas dengan jumlah pengikut Kim Kadarshian, selebritis masa kini yang hanya bisa pamer paha dan dada. Sayang kau sudah pergi sebelum sempat mencicipi teknologi ini.

Tapi, Kartini, ada satu kesamaan antara masa kini dengan masamu dulu, yaitu efek dari teknologi. Sebenarnya itu semua tak jauh beda dengan pingitan. Tentu kau tak akan melupakan masa pingitan yang memenjarakanmu dulu, kan?  Aku masih ingat perkataanmu tentang masa pingitan, teringatlah aku, betapa aku oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga, lalu menghempaskan badanku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa tertutup itu, dan kepada dinding batu yang bengis itu, arah kemana juga aku pergi, setiap kali terhenti juga jalanku oleh tembok batu atau pintu yang terkunci. Ya, sama. Semenjak kedatangan gawai, orang-orang secara tidak langsung telah “dipingit” dalam bangunan-bangunan rumah mereka sendiri. Mereka tak ubahnya seperti calon pengantin Jawa yang tak diijinkan keluar dari bilik mereka, yang tak punya kuasa untuk mendobrak kebengisan dari kaum-kaum penguasa. Mereka tunduk dan menyerahkan segala kebebasan mereka. Mereka mau didominasi oleh konstruksi sosial tanpa berusaha melawan. Jika penjara yang mengurungmu membuatmu gelisah, maka mereka tak pernah gelisah. Mereka sangat menikmati dan hanyut dalam buaian gawai. Sangat berbeda seperti dirimu dahulu.

Dari gawai dan fitur-fitur yang dapat diakses di dalamnya, kini berkembang tren tentang kecantikan. Bagimu, kecantikan mungkin adalah faktor nomor kesekian, namun kini kecantikan adalah prioritas tingkat dewa, yang pada titik tertentu mengabaikan keutamaan-keutamaan lain seperti pengetahuan dan kebajikan. Menurut orang-orang pada masa kini, kecantikan ditandai dengan bibir tebal (yang menurutku lebih mirip seperti bibir yang tersengat lebah), alis tebal sempurna bak bulan yang terbelah, hidung mancung menonjol dengan highlight emas, kontur yang membuat wajah menjadi tirus (yang menurutku tak lebih menyeramkan seperti topeng tari Didik Nini Thowok), pipi merah dengan taburan blush on (yang kadang ditaburkan terlalu banyak hingga pipi nampak seperti TKW usai ditampar oleh majikan Arab), dan sebagainya.

Masih banyak keanehan-keanehan lain di abad 21 ini yang tentu saja kau tidak mengenal  itu semua. Buatmu, emansipasi dan feminisme lebih menarik ketimbang mascara dan bulu mata (palsu). Aku mulai merefleksikan fenomena ini padamu, Kartini, sebagai wanita cantik yang tak perlu makeup tebal dan baju mahal bermerk. Kau juga tak perlu nongkrong di kafe mahal untuk bisa diterima secara sosial.

Konsep tentang “kecantikan” adalah konstruksi sosial, yang menciptakan tren baru yaitu diet dan selfie (swafoto). Sebab selain dari penampakan wajah, kecantikan juga dilihat dari berat badan, tinggi badan yang proporsional dan artefak yang menempel di tubuh mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seorang kawan yang sebelumnya tidak pernah berdandan kini sesekali harus memoles wajah mereka dengan makeup. Tujuannya selain untuk menarik perhatian juga agar tak dikucilkan oleh masyarakat. Aku juga ingin menceritakan padamu tentang selfie, yaitu suatu kegiatan memotret diri sendiri, yang biasanya diunggah melalui media sosial yang mereka punya. Fenomena selfie membuat mereka sibuk meningkatkan aktualisasi diri, yang disisi lain menurunkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang krusial, misalnya membaca buku dan membuat kampanye-kampanye sosial yang berkesinambungan.

Salah satu figur yang dikejar sebagai panutan kecantikan adalah tokoh rekaan yang bernama Barbie. Barbie adalah boneka dengan kulit kaukasian dan rambut pirang, punya dandanan modis dan independen (meskipun pada perkembangannya mulai ada Barbie dengan rambut hitam dan kulit legam). Visualisasi Barbie mungkin mirip dengan sahabat-sahabatmu dari negeri Belanda. Ya, berkulit putih, berambut pirang serta bergaun mewah. Gadis-gadis sekarang berlomba-lomba menjadi seperti nona-nona Belanda. Jelaskan padaku, Kartini, apa mungkin ini adalah hasil dari internalisasi budaya kolonial, dimana pribumi hanya akan naik derajat jika bisa setara dan seperti penjajah, oleh karena itu mereka berlomba-lomba untuk membuat penampilan mereka sama seperti gadis-gadis Belanda? Aku tidak percaya bahwa ideologi ini begitu mengekang hingga saat ini, seperti sabuk yang melilit pada pinggang sebab celana kebesaran.

Fenomena cantik memang menyakitkan, tak hanya pada pasangan muda tapi bahkan pada pasangan yang sudah menikah. Kawanku yang lain harus menanggung beban sebab orang tuanya terpaksa bercerai karena sang Ayah kurang puas dengan istrinya. Tak ayal, penyebabnya tak jauh dari gambaran “kecantikan ideal” dan peran wanita dalam rumah tangga. Si Ibu tak hanya dianggap kurang cantik, namun juga kurang pintar memasak. Sialnya, perceraian tak hanya tentang dua insan yang saling beradu cinta kemudian terpisah, tapi juga mencerai-beraikan harapan dan impian sang anak tentang konsep keluarga harmonis. Melihat pertengkaran orang tua membuat anak jadi minder dan memilih untuk hidup pada dunianya sendiri. Tak jarang mereka mencari kebahagiaan bersama sekelompok orang dengan pemikiran yang tak jauh dari materi dan kesenangan duniawi.

Kartini, dengan kejujuran pada level paling tinggi aku ingin mengatakan bahwa aku merindukanmu. Sudah lama sekali kau menghilang dari hadapanku padahal biasanya aku tak pernah absen mengikuti perkembangan ide-idemu. Aku ingin bergaul lagi denganmu, juga dengan sahabat-sahabatmu seperti Nyonya Ovink Soer, Nona Estele Zechandelaar dan Nyonya Abendanon yang begitu menginspirasi. Kini aku sedang mengumpulkan gadis-gadis untuk mendukung pemikiranmu, membuat suatu ruang inkubasi untuk menciptakan tentara-tentara Kartini baru, yang nantinya akan melestarikan pemikiranmu tentang wanita, tentang perjuangan dalam mencapai kesetaraan, tentang bagaimana melindungi martabat wanita sebagai manusia yang tak hanya punya rasa tapi juga punya kuasa.

Bukan tanpa sengaja aku berpemikiran demikian melainkan aku teringat oleh tuturanmu “akan datang juga kiranya keadaan baru dalam dunia Bumiputera, kalau bukan oleh karena kami tentu oleh karena orang lain”. Masih kuingat juga kalimat syahdu yang kau ucapkan, “habislah malam datanglah terang, habis topan datanglah reda, habis perang datanglah menang, habis duka datanglah suka”. Aku berharap suatu saat akan muncul Kartini-kartini baru yang mungkin lebih hebat darimu. Semoga itu tak hanya harapan semu, tapi bisa terlaksana meski harus melewati jalan bebatuan yang berliku.

Melalui sosokmu aku mengambil suatu pelajaran bahwa gadis-gadis sekarang harus pandai membaca, kritis terhadap segala hal. Ia harus bisa menjadi seperti dirimu yang mampu mendekonstruksi kesenjangan budaya, bukan malah terhanyut dalam penjara yang dibuatnya sendiri. Kartini masa kini memang tidak harus berkebaya, tapi harus berbudaya. Kartini masa kini hendaknya bersikap sederhana tapi punya pemikiran yang gemilang luar biasa, bukan malah menjadi sosialita minim idea.

Salam hangat,
Dari sahabat ideologismu yang menyayangi dan merinduimu.

                               (PS: surat ini ditulis dalam rangka UTS mata kuliah Penulisan Kreatif 2017, ehe).
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Her aura is made of poetry, roses and sarcasm.

Follow Us

  • LinkedIn
  • Instagram
  • Facebook

Handcrafting

Go follow @bukakreasi on Instagram. Thx!

Blog Archive

  • ►  2018 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ▼  2017 (8)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ▼  Mei (2)
      • KETIKA MARX MEMBACA “JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS”
      • Surat Balasan Untuk Kartini
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2016 (15)
    • ►  Desember (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (5)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates