Spread A Good Vibe or Remain Silent

by - Agustus 14, 2017

Sadarkah, bahwa kita hidup di zaman dimana orang-orang  menyerukan “BERANTAS KEKERASAN!” tapi mereka sendiri (baik secara sadar atau tidak sadar) telah melestarikan bentuk kekerasan lain. Ya, kekerasan verbal. Sungguh paradoks.
Kawan, perlu kita ketahui bahwa bentuk kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga non-fisik. Jangan bangga dengan meneriakkan "ANTI KEKERASAN" tapi ternyata sikap dan ucapan kita sendiri masih keras dan kasar. Perang-perang di media sosial adalah bukti nyata dari kekerasan non-fisik (mental dan verbal). Setiap hari, ratusan bahkan jutaan orang melakukan produksi dan reproduksi kekerasan verbal di media sosial, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram dan masih banyak yang lainnya. Bullying terjadi tanpa peduli waktu dan tempat. Hujatan dan protes keras dimana-mana. Kata-kata kotor seolah dilempar bebas ke udara.
Banyak yang berteriak-teriak: “MORAL BANGSA SUDAH HANCUR! SAATNYA EDUKASI EDUKASI EDUKASI! PENDIDIKAN ITU PENTING!”, tapi banyak pula dari mereka yang gagal mengedukasi dirinya sendiri. Mirisnya adalah kita ingin ada perubahan namun kita sendiri lah yang jurtru bebal tak mau berubah. Lalu, bagaimana kita bisa mengedukasi orang lain jika diri kita sendiri termasuk orang yang tidak well-educated?
Berkata atau berkomentar kasar tidak akan membuat kalian terlihat lebih benar atau lebih piintar. Alih-alih terlihat lebih benar atau pintar, kalian justru terlihat menggelikan. Kalau pun terdapat berita/informasi yang kurang menyenangkan dan memicu perang, berkata kasar juga bukan hal yang serta-merta dibenarkan. Yang dimaksud kasar disini adalah yang berasosiasi dengan kata-kata makian yang menyerang keadaan individu (ad hominem), bukan menyerang argumen yang dibawa.
“Lho, kan setiap orang punya kebebasan, lagian ini kaun juga akun gue, mau apa lu? Gue tampol nih!”. Tentu, semua juga tahu bahwa setiap orang punya kebebasan. Namun bukankah kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain? Bayangkan seandainya setiap orang berlaku sesuai apa yang diinginkan, sudah pasti dunia akan tidak karuan. Kebebasan yang mutlak hanya ada dalam teori, sementara dalam praktiknya kebebasan kita tetaplah dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Pembatasan kebebasan adalah sebuah wujud adanya kebebasan. Kalian bisa tidur tenang sebab ada batasan yang dipegang tetangga kalian untuk tidak menyetel musik keras-keras. Bayangkan jika kebebasan (dalam praktiknya) diterapkan secara mutlak, maka kalian tidak akan bisa tidur karena tetangga kalian setiap hari berisik tanpa kenal waktu. Menyetel musik sebenarnya boleh saja, hanya saja tempat dan waktunya perlu diperhatikan. Inilah kemudian yang disebut dengan kebebasan yang bertanggungjawab. Hal ini agaknya kelihatan sulit, namun hanya dengan begitu lingkungan sosial bisa hidup dengan damai.
Begitu pula dalam berkomunikasi secara verbal. Apabila kita tahu hakikat kebebasan, maka kekerasan verbal setidaknya bisa ditekan. Pada saat tertentu mungkin kita geregetan ingin berkomentar kasar terhadap fenomena yang memang menjengkelkan dan memicu kemarahan; kita seolah punya hak untuk menghujat dan mengata-ngatai. Tapi kemudian pertanyaannya, siapa yang mengizinkan? Siapa yang menyuruhmu berbuat demikian?
Menurut Freud, ini dinamakan id, yaitu dorong instingtual yang ada di alam bawah sadar untuk melakukan suatu hal. Id punya sifat liar (hewani) sehingga harus dijinakkan oleh unsur lain dalam diri manusia yang dinamakan superego. Superego ibarat “suara Tuhan”, ia bertugas sebagai polisi diri yang mengingatkan diri kita untuk tidak tunduk pada id. Sebab kepatuhan yang hakiki pada id akan menimbulkan kerusakan. Di antara dua komponen ekstrim ini, adalah komponen terakhir yang dinamakan ego. Ego adalah komponen sadar, yang tugasnya adalah menyesuaikan kebutuhan id dan superego. Ego berhadapan langsung dengan realita, itulah sebabnya ia mempunyai tugas untuk memutuskan. Apabila ego mengizinkan id berkeliaran dengan liar, maka yang terjadi adalah seperi sekarang ini: kekerasan verbal dimana-mana. Seimbangkan id, ego dan superego, dengan begitu akan tercipta iklim komunikasi yang sehat.
Banyak orang yang berargumen tanpa tau adab yang benar, alias semau gue. Sebagian kita mungkin tidak peduli, tapi sebagian lainnya ingin mencari solusi. Kekerasan verbal bukan permasalahan sederhana, ia bisa menyerang mental dan bahkan berujung pada kematian. Kelihatannya memang simpel, kita hanya berkomentar sebaris-dua baris saja. Tapi, sebaris-dua baris jika dikumpulkan lama-lama akan menjadi satu paragraf, lalu satu halaman, lalu satu chapter, hingga jadilah satu buku penuh yang isinya adalah hujatan-hujatan dan kata-kata yang menyakiti.
Pun, jangan dikira netizen adalah orang yang selamat jka dibandingkan dengan korban yang ter-bully. Karena apabila ditarik lebih jauh lagi, netizen yang suka marah-marah dan berkomentar kurang pantas sejatinya telah memberi makan sistem saraf yang ada di otak mereka sendiri dengan energi negatif, dimana hal tersebut tentu memberikan efek yang negatif pula dalam bersikap dan mengambil keputusan. Efek tersebut tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, tapi kemungkinan akan didapati pula pada orang-orang yang ada di lingkaran mereka. Jika energi ini terus menerus direproduksi, dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin tatanan sosial akan mengalami kerusakan.
Kemarahan yang dilontarkan dalam komunikasi secara langsung (face to face) cenderung lebih sulit untuk dikendalikan karena tidak bisa ditarik kembali (unrepeatable), beda halnya  dengan komunikasi yang terjadi melalui perantara. Di media sosial, kita masih punya pilihan untuk  mengedit kembali pernyataan kita sebelum dibagikan ke khalayak. Nah, apabila ada pilihan untuk meninjau kembali, seharusnya besar pula kemungkinan pernyataan-pernyataan negatif tersebut diminimalisir, bukan? Ini menjadi nilai plus bagi media sosial, jika dan hanya jika kita mengerti bahwa pilihan itu ada. Jika dan hanya jika.
Maka dari itu, bersosial media-lah dengan cerdas. Kalaupun ingin berargumen, berargumenlah dengan kepala dingin. Kemaslah pesan dengan bijaksana namun tetap tegas. Lebih bagus lagi apabila disertai dengan solusi. Jangan sampai kebebasan menjadi kebablasan. Lakukanlah refleksi terlebih dahulu, karena automatic thought (aksi yang cepat/otomatis) akan menjerumuskan kita pada lembah kebencian. Apabila tidak mampu berkomentar yang tepat, maka lebih baik diam/tinggalkan. Mau sampai kapan buang-buang tenaga?
The more you response to negative people, the less peaceful your life will become. Spread a good vibe or remain silent.

Senin - 14 Agustus 2017, 16:30 WIB.

You May Also Like

1 komentar

  1. Waaah bagus sekali cantik.. tp ada yang kurang .. mungkin teknis dalam menyeimbangkan id ego dan superego bisa d jelaskan jg lbh detil dsni. Jd bukan claim claim arahan aja yg sifatnya mengambang ngambang.. atau lbh baik tdk perlu mengeluarkan statement itu kalau teknisnya tdk atau blm tau.. tidak tau atau belum tau.. atau bahkan lelah memberi tau...

    Dan sepertinya itu kalimat englishnya mbulet . The more u respone to negative people, the most peacefull ur life will become.

    "Kudunya kan the less u respone to negative people, the most peacefull ur life will become"

    Keep writing cantiiik... keep spred a good respone and comments, stay in touch. Miss ya! :**

    BalasHapus