Akhirnya, Setelah Subuh yang Kesekian

by - Juli 14, 2017

Surabaya tak pernah mati. Ia hanya berpindah dari subuh ke subuh yang lain. Masih sama seperti hari sebelumnya, aku terperanjat melihat high-heelsku. Ia tergeletak di pojok pintu, kukira tikus. Aku fobia tikus, terutama tikus negara. Seseorang menggedor kamarku pelan, ternyata bukan siapa-siapa. Sudah sepagi ini tapi mabukku tak kunjung hilang. Sial.

Sebuah notifikasi muncul di layar hp mulusku, iPhone baru.
“Gimana hari ini? Dapet banyak?” Ah, taik! Kenapa wanita tua ini selalu menggodaku pagi-pagi dengan pertanyaan yang sama?
Kau diam saja, bego! Aku sedang mencarikanmu uang supaya namaku tak lagi sederet denganmu di Kartu Keluarga”, balasku, setiap hari seperti itu. Rasanya ingin kujadikan template saja supaya tak perlu mengetik panjang.

Kuhapus sisa makeup semalam dengan tangan lemas. Aku mengecek dompet. Makin tipis. Aku ragu memutuskan untuk membeli lingerie edisi terbaru di salah satu toko kesukaanku. “Pokoknya aku harus merogoh banyak tip, sayang sekali kalau pejabat seperti itu tidak dimanfaatkan.”

Hari ini kuputuskan untuk ke wisma agak pagi. Aku ingin mengobrol dengan Mbak Indri tentang lelaki yang mencariku kapan hari. Bukan, bukan tua bangka yang ingin kuporoti, ini lain lagi. Kata Mbak Indri perawakannya gagah, rambutnya cepak, hidungnya mancung dan kumis tipisnya kelihatan menggoda. Aku masih tak menemukan jawabannya meski sudah berpikir dari pagi hingga pagi lagi.

“Waduuuhh, itu belahan dada kamu apa-apaan, Sila? Makin berani aja”, sapa Mbak Indri sejenak setelah aku masuk ke ruangannya. “Gimana, Mbak? Udah tau belum siapa yang nyari aku kemarin?”, tanyaku.
“Tahu, kok. Dia kerja di bank depan ternyata, cuman emang nggak pernah liat, mungkin pegawai baru kali, ya? Tunggu aja, dia katanya mau ngobrol sama kamu ntar malem”.
Alis mataku sejenak berkerut. Memangnya ada yang berminat pada gadis sepertiku, yang tidak jago-jago amat di ranjang.
“Sil, jangan lupa jenguk ibumu. Sebelum lebih parah keada...”, ucap Mbak Indri, pelan.
“Bedebah! Awak tak peduli mbak”, aku memotong perkataannya.
“Sila... Jangan begitu, ndhuk. Beliau memohon, katanya kangen sekali sama kamu”.
Aku melenggang keluar, telingaku panas sekali.

Beberapa batang rokok habis sebelum akhirnya laki-laki yang mencariku datang. Benar kata Mbak Indri, perawakannya gagah dan mempesona, namun tak membuatku lebih tertarik dibanding uang. “Salman”, ucapnya sambil menjabat tanganku tegas. Tiba-tiba aku teringat momen beberapa tahun yang lalu ketika Pak Rektor secara simbolis menjabat tanganku di atas panggung Kompetisi Mawapres (mahasiswa berprestasi). Ah, mawapres. Tiba-tiba kepalaku dirundung ngilu. Suara-suara aneh mulai berkecamuk. Jutaan orang berteriak di telingaku tanpa ampun. Suaranya timbul-tenggelam, membuatku agak sempoyongan.

Kamu dulu pinter, kok sekarang melacur?
Kamu dulu alim, kok sekarang dzolim?
Kamu dulu...., kok sekarang......

“Susilawati. Sila.”, jawabku agak berteriak, mengalahkan ketakutanku pada suara-suara yang mengerumuni alam bawah sadarku. “Oh, langsung saja ke kamar”, ucapnya singkat dan dingin. Ia sudah tahu namaku. Bah!

Aku sempat tersandung beberapa kali sebelum bisa menyamai langkahnya. Dia berjalan begitu cepat. Sejurus kemudian dia sampai ke kamar. Ia tak memintaku membuka pintu, justru ialah yang membukakanku. Kutaksir, dia tak menyukaiku. Persetan dengan sikapnya, aku hanya butuh duitnya. Kalau dia tak kaya, mungkin aku akan pergi.

Ia duduk di pinggiran kasur, mukanya masih dingin. Aku mulai meraba pundaknya, ia diam. Kudekatkan kepalaku pada telinganya, ia mendesah kecil. Kulonggarkan dasinya, ia menanti.
Mulut kami hampir menempel sebelum ia akhirnya mengeluarkan kata, “Hei..” Aku berhenti sejenak. “Kau, suka politik?”, tanyanya. “Aku bosan bercinta, sudah sering”, lanjutnya.

“Kalau kau tidak ingin bersetubuh, kenapa kau kemari, bangsat?”, tanyaku sambil menekan jakunnya. Dia tertawa, manis sekali. “Hahaha.. Aku cuma memastikan apa masih ada pelacur yang punya otak. Tahu politik tidak kau, wanita jalang? Kalau tidak, lupakan saja. Batangku tak akan muat juga di lubangmu. Aku cuma butuh teman ngobrol saja, yang pandai”, tambahnya.

Aku bersumpah ia lelaki pertama yang menanyaiku demikian.
Aku bersumpah ia lelaki pertama yang menarik perhatianku.


Sejak saat itu, kami menghabiskan banyak malam di kamar wisma. Jadwal kami tak berubah, selalu setelah subuh, dan berakhir sebelum ia berangkat kerja. Kami tidak bercinta, hanya berdebat dan adu argumen. Kadang semi-curhat tentang kehidupan masing-masing. Aku mulai menceritakan kisah kelamku padanya, mulai pertengkaran orang tua yang membuat aku dan ibuku terpaksa merantau dari Palembang ke Surabaya, kemudian cerita tentang aku yang "dijual" secara paksa oleh ibu karena terlilit hutang, hingga aku terdampar sendirian di pinggir jalan tanpa busana. Dari situlah aku bertemu Mbak Indri, yang tanpa ragu mau merawatku. Salman sendiri ternyata juga bukan asli Surabaya, tapi campuran Jakarta-Medan. Ia tak lama di Surabaya, hanya beberapa bulan saja, katanya. Itu sebabnya ia ingin memuaskan diri dengan jalan-jalan dan bermalam denganku (dan mungkin wanita lainnya).



“Siapa yang menghabisi keperawananmu?”, ia bertanya sambil membelai kemaluannya sendiri.

“Tak ada, aku memang dilahirkan sudah tanpa selaput dara. Bolong. Hahaha”

“Kutanya lagi, siapa? Aku akan menghajarnya”.

“Pejabat. Pejabat sinting yang katanya mau melunasi hutang ibu ketika selesai menggagahiku. Tapi nihil. Hutang keluargaku tak kunjung dibayarnya, hingga ibuku mau mati sekarang. Kanker payudara...”, mataku mulai panas.


“Apa yang kau ingat dari pejabat itu?”, ia mulai serius.

“Aku ingat matanya. Matanya ibarat alat penyaring mana pihak yang menguntungkan dan mana pihak yang lebih menguntungkan. Cuma ada dua golongan mata, kalo nggak mata-mata ya mata duitan. Apa bedanya? Gak ada, semua sama-sama suka goda-lirik-rebut yang masih disegel.”

Ia terbahak. “Lanjutkan”.


“Aku juga ingat telinganya. Telinganya adalah piranti uhuy yang ketika rapat mendadak budeg, tapi langsung tune-in seribu persen kalau ada isu-isu mengenai kasus korupsi yang inisialnya mirip sama nama dirinya sendiri; sebagian besar lebih mudah terdistorsi oleh suara desahan kucing yang lagi ber-haha-hihi, daripada diskusi mengenai hal yang intelek dan berbobot tinggi.”, aku mendesah sejenak.

“Bangsat kau, cerdas!”


“Aku juga ingat mulutnya yang biasa digunakan sebagai modal utama kampanye, yang produksi janji-janjinya terlalu naik-naik-ke-puncak-gunung sampai nabrak pesawat. Hahaha. Aku juga ingat tangannya. Tangan pejabat seperti dia biasanya cuman dipakai buat corat-coret dan suka bubuh-bubuh tanda (tangan) seenaknya. Kadang juga digunakan sebagai alat buat  nampar oposisi-oposisi yang bacot dan kelakuannya keterlaluan; seringkali fungsi keempat jarinya ditekuk dan disederhanakan, jelas jari yang ukurannya paling panjang ditunjukkan kepada orang-orang yang merasa mengusik otoritasnya.”


Ia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. “Gila. Pernah sekolah kah kau dulu?”

“Sebentar, aku belum selesai. Aku juga ingat kakinya. Kaki pejabat tua itu selalu dilindungi sepatu mahal, yang bahkan debu pun tidak berani menempel. Kakinya adalah satu anggota tubuh yang paling giat kalau disuruh berangkat ambil gaji, tapi paling malas menemui rakyat yang sekarat mau mati. Pada pagi hari digunakan untuk berjalan ke gedung tempat kerja, pada malam hari digunakan untuk mengunjungi beberapa wisma.”


Ia mengelus dadaku. “Ada lagi? Aku masih mendengarkan.”

“Kau tau tidak, aku bisa menerawang otaknya juga. Otaknya, salah satu anggota tubuh yang paling encer di awal kampanye, tapi  bisa berbalik 180 derajat menjadi bebal ketika sudah resmi menjabat. Butuh sedikit pencerahan untuk dapat kembali normal, misal dengan menaikkan upah gaji, atau berilah sebuah Lamborghini warna merah hati.”


“Kau bukan wanita murah, aku tau sejak awal. Kau bagai mutiara yang terdampar di kubangan Pulau Karang.”, ia mendekat, hampir memelukku.

“Eh, stop. Sejak kapan kau jadi begini hahaha. Mau coba kau merayuku? Paling kau sama saja seperti para koruptor itu. Mereka itu golongan orang-orang  yang tak punya hati. Sekalinya disuruh hati-hati malah main hati.”


“Kutanya lagi, apa kau dulu pernah bersekolah?”

“Jangan tanya, aku dulu mawapres. Tapi ternyata semua tak berguna. Aku menyesal pernah sekolah”.

“Kalau kau tak sekolah kau tak akan bertemu denganku. Aku bosan dengan wanita bayaran di luar sana, yang cuma bisa desah tapi otaknya nol. Kau cerdas, aku gembira melihatnya.”


Aku hanya tersenyum.

“Tambahi aku tip saja, aku mau makan enak besok. Bisa?”

“Dengan senang hati.”, ucapnya sambil mengecup manis bibirku. Kepala bajing! Kenapa aku menikmatinya? Apakah ini yang namanya jatuh hati?

Aku yang duduk di pangkuannya hanya diam, kikuk.

“Omong-omong, kapan kau terakhir kali bercinta?”, ia melihat mataku dalam-dalam. Suasana tiba-tiba menjadi hangat dan menggairahkan.


Akhirnya, –kami melakukannya– setelah subuh yang kesekian.

---------------------------------


“Oh iya pekerjaanmu apa?”, tanyaku sebelum menindih tubuhnya.

“Pejabat”.

-----------------------------------

Fri, 14th Jul 2017:14.30 WIB

You May Also Like

1 komentar

  1. Ringan, menggelitik, semacam Eka Kurniawan, dibubuhi Putu Wijaya.

    BalasHapus