Bincang Hangat Bersama Panjebar Semangat

by - Juni 03, 2017

Hari itu adalah hari yang spesial, bukan hanya karena hangat matahari pagi yang tersemai di langit Surabaya, tapi juga karena kami perwakilan dari LPM Mercusuar UNAIR Surabaya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Panjebar Semangat. Panjebar Semangat adalah satu-satunya majalah berbahasa Jawa yang masih eksis di Surabaya. Sekitar pukul 09.00 WIB, kami yang terdiri atas 5 personel wanita dan 2 personel pria berangkat bersama-sama dari kampus menuju daerah Bubutan-Surabaya, tempat Panjebar Semangat melakukan aktivitasnya.
Sekitar pukul 09.15 WIB kami telah sampai di depan kantor Panjebar Semangat. Usai meletakkan kendaraan, bergegaslah kami memasuki kantor. Kantor yang berada di Jl GNI No 2 (Jl Bubutan 87 Surabaya) ini posisinya memang agak nylempit dan terkesan seperti rumah biasa. Bangunannya juga tidak besar dan megah seperti kantor majalah pada umumnya, namun atmosfir kekeluargaan dan kenyamanan sangat terasa di sini. Pada bagian luarnya tertera plakat Panjebar Semangat yang disertai pula dengan huruf Jawa. Hati kami berdesir. Kami lalu melangkah mendekati pintu, membuka daun pintu dengan mengucap salam.


Gambar 1. Kantor Panjebar Semangat tampak dari luar 
Kunjungan yang dilaksanakan pada Rabu pagi 12 April 2017 tersebut mendapat sambutan hangat dari staff-staff yang ada di sana, salah satunya adalah Pak Wijotohardjo. Pak Wijotohardjo, atau yang biasa dipanggil dengan Pak Wijoto, adalah salah satu staff redaksi yang sudah mengabdi sejak lama. Bapak kelahiran 1944 ini menyapa dan mempersilahkan kami untuk duduk di sofa tamu, sementara staff lain menyiapkan minuman di atas meja.
Pak Wijoto memulai perbincangan dengan hangat. Beliau menanyakan dari mana asal kami dan bagaimana ketertarikan kami sejauh ini terhadap bahasa Jawa. Berbincang dengan Pak Wijoto seperti berbincang dengan guru sejarah. Kami banyak mengalami flashback terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dulu kami dapat sewaktu di bangku sekolah. Salah satu pertanyaan yang diajukan  beliau adalah mengenai Sumpah Pemuda. Kami ditantang untuk mengucapkan kembali isi dari Sumpah Pemuda. Kami menjawab pertanyaan tentang Sumpah Pemuda tersebut sesuai dengan ingatan-ingatan yang masih tersisa: bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu (Indonesia).  Ketika sampai pada bunyi ketiga Sumpah Pemuda, Pak Wijoto mengingatkan, “bukan berbahasa satu, tetapi menjunjung bahasa persatuan”, ucap beliau. “Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu, bukan satu-satunya bahasa di Indonesia. Kalau hanya berbahasa satu, berarti berbahasa Jawa tidak boleh, dong?”, lanjut beliau kali ini sambil tersenyum. Kami mengangguk, menyadari kekeliruan kami.
“Bahasa Jawa adalah salah satu dari bahasa yang paling banyak penuturnya tetapi sekaligus merupakan salah satu bahasa paling sulit di dunia. Bahasa Jawa itu ada unggah-ungguhnya. Jenisnya beda-beda, minimal ada tiga tingkatan: ngoko, krama madya dan krama inggil. Di Keraton beda lagi, tidak hanya ada tiga tetapi tujuh tingkatan”, terang bapak berkacamata ini mengenai Bahasa Jawa. Kami berdecak pelan, antara kagum mengenai keragaman bahasa Jawa tetapi juga sekaligus membayangkan betapa sulitnya mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut adalah salah satu alasan yang membuat bahasa Jawa tidak dijadikan bahasa persatuan. Bahasa yang dipilih sebagai bahasa persatuan sebagian besar berasal dari bahasa Melayu, karena bahasa Melayu cenderung lebih aplikatif dan mudah dipelajari. Penyebaran Bahasa Melayu juga lebih luas dan masif. Kami mengangguk mendengar penjelasan beliau. Pengetahuan kami bertambah satu. Kemudian muncul pertanyaan di benak kami, yaitu mengapa Panjebar Semangat menggunakan Bahasa Jawa, bukan bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia, atau bahasa lain? Usai mendengar pertanyaan kami, beliau membenarkan posisi duduk. Sepertinya akan ada cerita panjang yang dituturkan oleh beliau. Dan benar, bapak kelahiran Sabtu Pahing ini menjelaskan sejarah berdirinya Panjebar Semangat.
“Panjebar Semangat pertama kali didirikan oleh Pak Tom. Kalian tahu siapa itu Pak Tom?”, tanya beliau kepada kami. Kami beradu pandang antarteman, kemudian dengan serentak menggeleng. “Pak Tom itu Dr. Soetomo. Pernah dengar nama Dr. Soetomo?”, tanya beliau lagi. Dengan serempak kami mengangguk sambil bersuara “Ohhhhhh”, tanda bahwa kami tahu.


Gambar 2. Pak Wijoto ketika menceritakan tentang sejarah  Panjebar Semangat
Panjebar Semangat pertama kali didirikan oleh Pak Tom (Dr. Soetomo) pada tahun 1933. Semasa mudanya, Pak Tom memang sudah aktif berorganisasi. Ia adalah mahasiswa STOVIA yang  aktif dalam organisasi kepemudaan. Dipromotori oleh Dr. Wahidin Soedirohusodo sebagai dosen pembimbing, Soetomo yang saat itu masih berumur 20 tahun telah menjabat sebagai ketua Boedi Oetomo yang didirikan 20 Mei 1908. Kini, hari tersebut ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Perjuangan hidup Dr. Soetomo berakhir pada tahun 1938, beberapa tahun setelah Panjebar Semangat didirikan. Panjebar Semangat kemudian dilanjutkan di bawah pimpinan Pak Imam Supardi hingga tahun 1942.
“Kalian tahu peristiwa penting apa yang terjadi pada tahun 1942?”, Pak wijoto bertanya kepada kami. “Jepang masuk ke Indonesia kan, Pak?”, ucap salah satu dari kami meski dengan suara yang menggantung dan ragu. “Iya, benar sekali. Tahun ’42 Jepang masuk dan menjajah Indonesia”, ucap Pak Wijoto mengawali cerita menarik lainnya. Bapak keturunan Tionghoa yang lahir pada Sabtu Pahing ini memberi tahu kami bahwa Panjebar semangat sempat dibredel ketika itu, meski secara tidak langsung. “Kita memang tidak dibredel secara langsung, tapi dipersulit. Waktu itu beli kertas dan tinta sangat susah, sehingga panjebar semangat terpaksa mati karena tidak bisa melakukan kegiatan produksi. Bukan benar-benar mati tapi mati suri”, terang Pak Wijoto. Kami masih mendengarkan dengan hikmat ketika beliau kembali meneruskan ceritanya.


Gambar 3. Suasana Bincang Hangat LPM Mercusuar UNAIR dengan Panjebar Semangat 
Panjebar Semangat memang sempat mati, namun ia bangkit kembali. Kebangkitan Panjebar Semangat seharusnya dimulai tahun 1945, tepat pada tahun kemerdekaan Indonesia. Tapi pada tahun tersebut Indonesia sedang sibuk melakukan revolusi fisik. Revolusi fisik baru berakhir ketika Belanda meyakini kemerdekaan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Belanda tahun 1949. Semenjak itulah Panjebar Semangat mulai beroperasi kembali.
Pada awalnya, bahasa yang dipilih untuk dijadikan bahasa oleh Panjebar Semangat adalah Bahasa Belanda, namun Dr. Soetomo tidak setuju karena itu bertentangan dengan tujuan  Panjebar Semangat sebagai media dalam menyebarkan semangat dan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah (Belanda). Lalu usul lain yang muncul adalah Bahasa Indonesia. Tapi Bahasa indonesia juga tidak disepakati karena pada saat itu (tahun 1933) Bahasa indonesia belum merakyat. Kemudian Bahasa Jawalah yang akhirnya digunakan sebagai bahasa dalam majalah tersebut karena dirasa paling pas dibanding dengan opsi yang lain. Jenis bahasa Jawa yang dipakai adalah Jawa Ngoko, yaitu bahasa Jawa yang tingkatannya paling rendah dan hampir semua orang bisa. Pemilihan bahasa Jawa Ngoko ini adalah agar majalah tersebut tidak hanya dimiliki oleh kalangan tertentu saja, melainkan bisa dibaca oleh semua kalangan tanpa terkecuali.
Bentuk majalah Panjebar Semangat pada awal berdirinya hanya berbentuk lembaran. Penampakannya persis seperti koran namun tidak bolak-balik. Semua isinya adalah tulisan, tidak ada gambar-gambar penunjang seperti sekarang. Panjebar Semangat mengalami transisi dari lembaran-lembaran menjadi majalah utuh yang apik dan menarik. Tak hanya dari bentuk majalahnya saja yang mengalami transisi, tapi juga tujuannya. Seiring berjalannya waktu, tujuan Panjebar Semangat mengalami perubahan, khususnya setelah kemerdekaan Indonesia. Tujuan  yang awalnya adalah menyebarkan semangat merebut kemerdekaan dari tangan penjajah (Belanda) kini bergeser menjadi mempertahankan bahasa dan budaya Jawa sebagai benteng terakhir serta menjadi acuan guru Bahasa Jawa di sekolah-sekolah dalam menulis dan belajar budaya Jawa. Pak Wijoto mengaku bahwa kantor Panjebar Semangat sering menerima telepon untuk ditanyai mengenai tugas sekolah tentang Bahasa Jawa. Meski sibuk, beliau selalu meluangkan waktu untuk menjawab berbagai pertanyaan yang masuk. “Menurut saya itu kreasi yang bagus tapi kadang merepotkan, hahaha..”, seloroh Pak Wijoto menanggapi hal tersebut.
Sebenarnya Panjebar Semangat bukan satu-satunya majalah berbahasa Jawa yang ada. Selain Panjebar Semangat ada pula majalah Joyoboyo (Surabaya), Djaka Lodang (Yogyakarta) dan Jemparing (Tulungagung). “Tapi tidak semuanya aktif, ada yang kadang terbit kadang tidak. Panjebar Semangatlah satu-satunya yang masih rutin terbit setiap minggu”, ucap Pak Wijoto. Salah satu sebab majalah lainnya tidak dapat beroperasi adalah karena pembaca yang semakin langka. Hal ini juga sempat dirasakan oleh Panjebar Semangat. Meski sempat kesulitan mendapatkan pembaca, majalah yang mempunyai slogan Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti (setiap kebencian, kemarahan, keras hati akan luluh oleh kelembutan, bijaksana, dan sabar) ini mempunyai semangat yang tak pernah padam. Buktinya sampai kini majalah yang dipimpin oleh Kustono Jatmiko (sebagai pemimpin umum) dan Arkandi Sari (sebagai pemimpin redaksi) ini masih tetap beroperasi. Bahkan, Panjebar Semangat mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) atas prestasinya sebagai Majalah dalam Bahasa Jawa Tertua, 80 Tahun pada September 2013 lalu.

Gambar 4. Penghargaan dari MURI kepada Panjebar Semangat sebagai Majalah Berbahasa Jawa Tertua di Indonesia (80 Tahun)
Salah satu alasan mengapa Panjebar Semangat masih eksis adalah karena Panjebar Semangat tidak hanya membangun hubungan dagang melainkan hubungan emosional kepada pembacanya. Pembaca majalah Panjebar Semangat adalah orang yang bisa berbahasa Jawa, tidak hanya lokal tapi juga internasional. Pak wijoto mengaku bahwa penikmat majalah Panjebar Semangat tidak hanya warga Indonesia saja tetapi juga Malaysia, Brunei Darussalam, hingga Australia dan Suriname. Di manapun dan kapan pun, selama ada pendatang yang berminat pasti akan kami datangi, meski hanya seorang saja, itulah prinsip yang dianut oleh Panjebar Semangat.
Masing-masing dari pembaca pembawa cerita menarik, salah satunya adalah para pembaca dari Suriname. Suriname adalah salah satu negara di Eropa yang didominasi oleh suku Jawa, yaitu sebuah negara di Amerika Selatan dan merupakan bekas jajahan Belanda. “Orang Suriname itu seharusnya kalau sholat menghadap ke timur, tapi karena mereka masih mengilhami tempat di mana mereka tinggal dulu (yaitu di Jawa), masih banyak dari mereka yang sholat menghadap ke barat seperti orang Indonesia”, ucap Pak Wijoto sambil terkekeh. Kami yang mendengar juga ikut terkekeh. Hal ini menunjukkan bahwa internalisasi budaya Jawa begitu kuat dan masih lestari bagi mereka meski kini mereka secara geografis tak tinggal lagi di Jawa. “Tapi nggak papa, toh Tuhan ada di mana-mana, kan?”, ucap Pak Wijoto sembari menyeruput air minum dalam kemasan. Kami tersenyum.
Para pembaca menyenangi Panjebar Semangat karena dari majalah tersebut mereka merasa mempunyai ikatan batin dengan budaya Jawa dan kekhasan yang ada di dalamnya. Para penggemar majalah ini juga sering mengirimkan artikel-artikel menarik untuk dimuat di Panjebar Semangat (selain dari artikel yang ditulis oleh redaksi dan wartawan lepas). Pihak dari Panjebar Semangat memang terbuka terhadap artikel-artikel yang masuk, mulai dari artikel yang dikirim melalui pos hingga email, yang diketik dengan menggunakan komputer hingga yang tulis tangan, maupun yang ditulis dengan menggunakan huruf alfabet sampai huruf Jawa. Sikap terbuka inilah yang menjadikan Panjebar Semangat terus eksis, meski tentu saja tanpa melupakan aspek seleksi terhadap artike-artikel tersebut. Dari keseluruhan artikel yang disajikan oleh Panjebar Semangat, beberapa artikel yang menjadi favorit adalah Alaming Lelembut dan Astrologi. Alaming Lelembut berisi cerita-cerita mengenai manusia dan kehidupan mistis, sementara Astrologi secara singkat berisi ramalan bintang. Artikel lain seperti geguritan (puisi) juga mendapat apresiasi positif oleh pembacanya.
Tak puas hanya duduk di ruang tamu, kami kemudian diajak untuk berkeliling kantor. Kami melihat ruang redaksi dan ruang kerja karyawan. Yang menarik adalah bahwa pada setiap pintu selalu ditempel huruf aksara Jawa yang melengkapi sebuah perintah dengan Bahasa Indonesia, misalnya perintah “doronglah pintu ini” dan perintah-perintah lainnya. Selain mengunjungi kantor, kami juga berkeliling tempat percetakan. Tempat percetakan tersebut terletak di gedung yang berhadapan dengan gedung di mana kita melakukan perbincangan dengan Pak Wijoto. Alamatnya adalah di Jl Bubutan 85-B Surabaya. Di tempat percetakan kita bisa melihat bagaimana riuhnya para pekerja yang melakukan kegiatan cetak. Bau tinta menyebar di ruangan percetakan yang agak pengap. Ada mesin yang besar-besar, juga tumpukan kertas dengan bau khasnya. Pekerjanya melakukan kegiatan secara cepat dan cekatan. Sesekali mereka menyeka keringat yang ada di pelipis. Beruntunglah pada hari itu kami dapat melihat kondisi cetaknya, karena biasanya percetakan tidak dibuka setiap waktu. Namun pada hari itu hari cetak dimajukan sehari sebelumnya karena ada kepentingan tertentu.


Gambar 5 . Kami belajar bersama petugas Panjebar Semangat
Usai berjalan-jalan di ruang percetakan, kami naik ke ruang kantor administrasi. Suasana di ruang ini tentu berbeda dengan ruang percetakan yang riuh dan pengap. Di sini suasananya cenderung dingin dan hening. Semua bekerja dalam atmosfir yang tenang. Oleh salah satu petugas, kami diijinkan untuk melihat-lihat. Salah satu yang menarik bagi kami adalah salah satu alat yang bernama Graphotype, yaitu mesin yang digunakan untuk mencetak nama dan alamat pembaca pada besi persegi panjang berukuran sekitar (2 x 8) cm. Tujuan dari dicetaknya nama dan alamat pembaca adalah untuk mempermudah pengiriman majalah kepada pembaca yang berlangganan agar pengiriman majalah Panjebar Semangat tidak salah alamat.

Gambar 6. Graphotype, alat pencetak identitas pembaca untuk ditempel di amplop pengiriman majalah
Setelah itu identitas tersebut diberi tinta dan dicapkan pada amplop cokelat yang padanya sudah tercetak KOP Panjebar Semangat. Majalah kemudian dilipat dua dan dimasukkan pada amplop. Voila! Majalah siap dikirim. Sebelum keluar dari tempat tersebut, kami diberi beberapa majalah milik Panjebar Semangat. Wah, sangat menarik!

Gambar 7. Foto bersama dengan majalah Panjebar Semangat
Kami senang sekali mendapat banyak pengalaman dari perbincangan pagi ini, namun matahari yang semakin naik ke tengah menunjukkan bahwa sudah saatnya seluruh staff beristirahat, begitu pula kami. Sebelum pamit, kami tak lupa mengambil foto untuk dijadikan kenang-kenangan. Terima kasih, Panjebar Semangat. Tetaplah berkarya dan semakin jaya! (dig).

PS: Apabila ingin tahu lebih jauh, sila follow instagram Panjebar Semangat @majalahps.

You May Also Like

0 komentar