KETIKA MARX MEMBACA “JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS”

by - Mei 18, 2017

(Cr: Goodreads)

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Pramoedya Ananta Toer
Jakarta: Lentera Dipantara
2012 (Cet.9)
Hari ini aku mengetuk pintu rumah Karl Marx, katanya ia sedang tidak enak badan. Sebagai bahan bacaan, aku berikan buku karya Pramoedya ananta Toer yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini padanya. Ia bertanya, “buku apakah ini?”. “Baca saja, niscaya kamu akan semakin yakin tentang yang kau pikirkan”, jawabku. Aku bergegas pulang setelah kututup pintu rumahnya yang mulai reyot.

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels adalah buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berbicara mengenai tragedi kerja paksa terbesar sepanjang sejarah di Tanah Hindia. Meski bukan buku yang seratus persen akademis dan formal, Pram dengan segala kecerdasannya berhasil meramu data dan peristiwa dalam balutan sastra yang epik dan luar biasa. Ia menceritakan perjalanannya selama melihat sang penguasa menghardik pribumi (suatu “kasta” di mana Pram adalah bagian di dalamnya). Perjalanan tersebut dimulai dari tempat kelahirannya di Blora, Jawa Tengah.

Dalam bukunya, Pram berbicara mengenai genosida paling mengerikan yang dilakukan oleh penguasa kepada pribumi pada 1809. Jalan Raya Pos atau yang biasa dikenal dengan jalan Daendels adalah jalan yang membentang 1000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa mulai Anyer hingga Panarukan. Jalan tersebut adalah proyek besar yang digawangi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dibawah pendudukan Perancis, Wilhelm Daendels. Daendels dikenal sebagai orang yang berhati baja sekaligus berkepala angin, tak punya kekuatan untuk menghadapi argumentasi. Ia akan langsung mengancam dengan bentakan dan bahkan menembak mati lawan argumentasinya. Mengerikan, bukan?

Tak terhitung lagi banyaknya pekerja yang mati dalam pelaksanaan proyek pimpinan Daendels tersebut. Penyebabnya mulai dari malaria, kelaparan, hingga kelelahan. Jumlah korbannya sangat banyak tapi tidak pernah diusut secara tuntas. Menurut perkiraan, jumlah korban yang meninggal selama pembuatan jalan Raya Pos kira-kira 12.000. Singkat cerita, ini adalah penampakan dari kekuasaan penjajah yang penuh kesewenang-wenangan. Sangat tragis dan mengerikan.

Keesokan harinya Marx bertandang ke rumahku, ia menceritakan kembali tentang apa yang dipikirkannya mengenai buku yang kuberikan padanya untuk jadi bahan bacaan. Marx mengatakan bahwa yang terjadi pada buku tersebut adalah peristiwa dialektis dan hostoris. Pertarungan yang menewaskan puluhan ribu orang tersebut sejatinya disebabkan karena satu hal: materi. Materi membuat orang bisa gila dan saling berebut dan memperebutkannya. Segala sesuatu yang disebabkan karena materi mempunyai kata lain bahwa materi adalah struktur dasar (basic structure) dari segala yang terjadi dalam masyarakat, mulai dari sosial, politik, budaya, hukum, dsb.

Semua sejarah orang-orang besar diawali oleh materi. Materi membuat manusia secara sadar merasa bahwa ia mempunyai kebutuhan dan berusaha keras untuk mengejar keinginan tersebut. Inilah yang sebenarnya dilakukan oleh Daendels, ia ingin mencapai tujuannya dalam membangun jalan sepanjang 1000 km mulai Anyer-Panarukan. Untuk dapat mencapai hal tersebut tentu saja Daendels tak bisa sendirian, ia butuh bantuan dari orang lain untuk melancarkan misinya. Lalu Daendels menggunakan pribumi sebagai pembantunya. Ia menjadikan pribumi sebagai budak yang dibayar murah namun diperas tenaganya hingga mati. Hingga benar-benar mati.

“Wahai rakyat, kalian sesungguhnya hanyalah objek, sementara aku adalah subjeknya. Dan sejarah adalah milik penguasa”, mungkin itulah yang ingin dikatakan Daendels. Apabila Daendels meminta dikirimkan 1.000 pekerja setiap harinya sementara hanya sedikit dari mereka yang selamat, maka berapa jumlah pekerja yang dibutuhkan selama setahun? Orang yang berkuasa memang nyaris gila, ia tidak peduli berapa orang yang dikorbankan asal tujuannya tercapai. Semua pribumi lalu marah dan berontak, namun Daendels seolah mengatakan bahwa kematian rakyat kecil itu tak ada artinya karena masih banyak yang bisa menggantikan. Kematian mereka tak akan dipahami sebagai pengorbanan. Nama mereka juga tak akan masuk dalam buku sejarah, paling-paling hanya tubuhnya yang bergelantung di atas dahan rapuh sepanjang trotoar Anyer-Panarukan. Toh salah satu anugerah bumi nusantara ini, selain tanahnya yang subur, rakyatnya juga melimpah ruah. Tentu berbeda apabila yang tewas adalah penguasa, maka namanya akan tercatat dalam sejarah.

Marx menjelaskan panjang lebar sambil mengelus jenggot panjangnya. Aku mengangguk mendengarkan ceramahnya dengan hikmat. Tiba-tiba ada pertanyaan yang terlintas. Langsung saja kutanyakan padanya, “apakah mungkin masyarakat mampu melawan orang yang mempunyai kekuasaan, lalu menjadikan kedudukannya setara dengan mereka?”. Mark mulai memaparkan ramalannya. Mereka bisa melakukan revolusi dengan cara mengambil alih kuasa dari pemilik kuasa. Namun itu butuh waktu dan kesiapan, karena konsekuensinya adalah akan terjadi kekacauan yang luar biasa. Nanti kau akan lihat apakah penguasa akan terus menjadi penguasa, dan apakah budak akan terus menjadi budak. Mungkin suatu saat akan ada saat di mana budak dan penguasa setara, namun karena dunia bersifat dialektis-historis, maka penguasaan atas rakyat akan mungkin terulang kembali. Yang bisa kau lakukan saat ini adalah terus mengikuti arah perkembangan sejarah bangsamu. Dengan begitu kau akan dapat melihat mana kah dari ramalanku yang benar-benar terjadi.

You May Also Like

0 komentar