Mulai dari Gerak Sholawat hingga Pura-pura Minggat

by - April 06, 2017

Kembalikan masa kanak-kanak kami wahai semesta.
Kami jengah menjadi dewasa sebab terlalu banyak hiperrealita yang diproduksi disana.

Segala yang besar dimulai dari hal-hal kecil. Begitu pula manusia. Tak ada manusia yang tiba-tiba menjadi dewasa tanpa pernah menjadi anak-anak. Kebiasaan-kebiasaan manusia mulai dikonstruksi pada masa ini. Watak dan kepribadian juga mulai dipupuk dan dibentuk. Pada tingkatan tertentu, anak adalah produk dari orang tua. Jika orang tua punya metode yang apik, maka produknya akan unggul. Namun jika orang tua tidak mampu merumuskan cara yang tepat, maka produknya akan cenderung gagal.
Orang tua yang berhasil membentuk kenangan indah pada sang anak adalah orang tua-orang tua yang hebat, setidaknya itulah yang aku rasakan. Tidak hanya orang tua saja yang berperan, tapi juga keluarga dan sahabat. Tanpa peran mereka semua “aku” tak akan pernah menjadi “aku”.
Ketika aku merindukan masa kecilku, aku mencari cara untuk membawaku kembali pada kenangan-kenangan beberapa tahun silam. Setidak-tidaknya ada beberapa peristiwa yang berhasil membawaku kembali pada ingatan tersebut, yaitu:

1.  Rumah kontrakan dan cerita tentang Mbak Saroh
Rumahku ada dua lantai, lantai pertama sengaja dikontrakkan untuk menambah penghasilan orang tua. Salah satu yang sempat menyewa disana adalah keluarga penjual sate dari Madura. Salah satu nama dari anak penjual sate tersebut adalah Mbak Saroh. Karena ibuku setiap hari harus membantu ayah di kantin (dari pagi hingga sore) maka aku sering sekali dititipkan ke Mbak Saroh. Ia adalah wanita yang sudah setengah baya tapi belum menikah saat itu.
Aku yang saat itu masih bersekolah TK sering menangis dan kesal karena merasa tidak diperlakukan dengan baik oleh Mbak Saroh. Ia tidak melakukan KDRT, tentu tidak. Yang membuatku kesal adalah ketika buang air besar, aku dicebokin pakai kaki, dan ugh kaki Mbak Saroh kasar sehingga kadang aku sedih dan meratap “kemana ibuku?”. Tapi selain kejadian itu sungguh Mbak Saroh orang yang sabar dan top markotop sebagai babysitter yang notabene gratisan.


Gambar 1. Aku dalam gendongan Ibu dan penampakan lantai satu tempat kontrakan Mbak Saroh dan keluarganya

2.  Tiap hari jajan bakso
Aku tidak dibesarkan dalam lingkungan yang berlimpah materi, tapi aku mendapatkan banyak kasih sayang orang tua, baik ayah atau pun ibu. Ayahku adalah wirausahawan. Beliau berjualan makanan dan minuman, mulai dari bakso, mie pangsit hingga es doger; mulai dari berjualan di kantin hingga keliling. Tapi bagiku yang paling favorit dari sekian dagangannya adalah bakso. Rasa baksonya sangat khas, dagingnya padat dan kenyal karena tidak banyak campuran ayamnya (tidak seperti bakso jaman sekarang). Selain itu kuahnya juga segar. Banyak sekali pelanggan ayah yang bahkan sampai membeli ke rumah, tidak cukup hanya membeli di kantin dan jualan keliling.
Aku masih ingat kenakalanku ketika mencuri pentol dagangan ayah, lalu ibu menyergapku dan memukul lenganku pelan. “Jangan dimakan terus, nanti ayah jualan apa?”. Aku hanya nyengir dan membawa lari hasil curian itu. Masih terbayang ingatan tersebut, meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Namun semenjak ayah meninggal, aku tidak pernah menemukan rasa bakso yang otentik seperti masakan beliau. Ayahku sungguh koki yang handal!

3.  Barbie dan kecantikan plastik
Aku dan kakakku gemar bermain barbie. Ibu membelikan kami Barbie agar kami tak ketinggalan jaman. Tapi jangan bayangkan Barbie tersebut adalah Barbie mahal dengan kualitas wahid. Tidak. Barbie yang diberikan pada kami adalah Barbie yang bahkan tangannya tidak bisa ditekuk (alias tidak punya persendian). Alhasil, Barbie itu hanya bisa berdiri saja, tegak seperti tentara. Tapi kami sangat senang, apalagi ketika mencium bau plastiknya. Seolah ada sensasi tersendiri yang membuat kami bangga. “Hmmm, akhirnya kami punya mainan baru seperti teman-teman”.
Selisih aku dan kakakku (namanya Ari) lumayan jauh, sekitar 6 tahun. Tapi karena Barbie, kami bisa begitu dekat satu sama lain. Dulu kami sampai membuatkan baju sendiri karena kami tidak sanggup membeli baju Barbie yang mahal. Untunglah kakakku sangat kreatif. Diambilnya kain perca tetangga (yang memang seorang penjahit), lalu dibuatnya sepasang baju; kadang kaos, kadang jaket, kadang rok dan bahkan gaun.
Saat itu rasanya aku ingin menjadi seperti Barbie, yang cantik dan anggun, yang punya banyak koleksi baju (meski hanya dari kain perca). Kecantikan plastik dari Barbie seolah membiusku untuk menjadi boneka. Ah, andai saja aku tahu bahwa aku dihegemoni, bahwa itu semua hadir akibat tuntutan kapitalis, maka sudah tentu aku akan mencari mainan lain; mungkin bekel maupun gundu. Tapi sayangnya hatiku tertambat pada Barbie. Sial.


Gambar 2. Aku (kiri) dan kakakku (kanan), kami dekat karena Barbie.

4.  Minggat dari rumah
Satu yang selalu ingin aku tertawai dari masa kecilku adalah sifat temperamenku. Ketika marah aku akan melakukan hal yang menakutkan, mulai dari membanting piring, manjatuhkan kursi plastik dari tangga, hingga “minggat” dari rumah. Sepertinya aku benar-benar mengilhami adegan minggat yang ada di sinetron. Ketika marah aku akan mengambil jarik (selendang) lalu memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya. Aku semakin mendramatisirnya dengan berteriak “aku minggat, aku nggak akan kembali”, tapi ujung-ujungnya setelah melewati beberapa rumah tetangga, aku kembali ke rumah dan mendapati ibuku tertawa terbahak-bahak. “Kate minggat nandi nduk?”, tanya ibu sambil mulai merapikan baju dan selendangku. Dari kenangan itu aku mulai belajar bahwa aku orang yang cukup agresif tetapi juga ekspresif dan punya kepercayaan diri yang tinggi. Foto di bawah ini menjadi bukti bahwa aku adalah seorang anak yang “endel” dan pede.


Gambar 3. Digna kecil dan rasa percaya dirinya yang tinggi

5.  Lomba gerak dan sholawat
Aku patut berterima kasih kepada ibu karena atas beliaulah aku mengenal seni, mulai dari menyanyi, menari, hingga bersholawat. Tanpa ibu aku tak akan mampu menemukan bakatku. Ibu juga lah orang yang mengatakan bahwa “kamu bisa nak”, sehingga aku mampu berdiri dengan kepercayaan diri yang penuh di hadapan juri dan penonton mewakili TPQ Darunnajah (tempatku mengaji dulu). Aku lupa apakah aku dan teman-teman berhasil memenangkan perlombaan itu atau tidak, tapi satu yang aku kenang dari perlombaan itu adalah bahwa aku telah berani menunjukkan bahwa aku eksis. Terima kasih kuhaturkan kepada ibu, yang telah membuat anak gadisnya eksis sejak umur 6 tahun. Ya, saat itu umurku 6 tahun tapi aku berada di garda depan (alias jadi penyanyi) di antara teman-temanku yang umurnya jauh lebih tua (yang hanya jadi penari latar).


Gambar 4. Gerak dan sholawat: aku (tengah) dan teman-teman dalam busana muslim.

     6.  Lomba puisi
Aku mulai merasa agak dewasa ketika berumur 12 tahun. Jika dulu aku selalu “dipaksa” ibu untuk mengikuti banyak perlombaan (mulai dari menyanyi, menari, membaca puisi, gerak sholawat, baca Al-Qur’an hingga olimpiade), maka ketika menjelang tahun-tahun terakhir Sekolah Dasar aku perlahan menyadari bahwa sebenarnya aku punya banyak bakat, hanya saja aku tidak mampu mengeksplorasi bakat tersebut. Bakat yang tidak dipupuk akan selamanya hanya menjadi potensi. Tapi jika bakat itu dilatih terus menerus, maka bukan tidak mungkin potensi itu akan berkembang menjadi prestasi.
Tak hanya orang tua yang turut mendukung, tetapi juga kakak dan guru-guru. Aku ingat ketika guru-guruku berebut mengantarkan aku lomba (saat itu lomba puisi, aku mendapat juara 1 tingkat Kabupaten Sidoarjo). Aku merasa menjadi primadona kala itu karena menjadi rebutan banyak guru. Tapi pada akhirnya aku menyadari kalau motif guru-guru itu semata demi meraih sertifikasi (semoga ini hanya prasangkaku saja). Sempat kesal, sangat kesal. Tapi buat apa juga bermuram durja, toh semua mendapat untung. Ketika aku mendapat juara maka aku mendapat sertifikat, demikian juga guru yang melatih dan menemani selama kegiatan berlangsung. Tapi tolong pak, bu, mbok ya jangan semata karena sertifikasi saja.


 Gambar 5. Aku (tengah), kakakku (baju putih) dan ketiga guru yang mengantarku

You May Also Like

0 komentar