Surabaya
tak pernah mati. Ia hanya berpindah dari subuh ke subuh yang lain. Masih sama
seperti hari sebelumnya, aku terperanjat melihat high-heelsku. Ia
tergeletak di pojok pintu, kukira tikus. Aku fobia tikus, terutama tikus
negara. Seseorang menggedor kamarku pelan, ternyata bukan siapa-siapa. Sudah
sepagi ini tapi mabukku tak kunjung hilang. Sial.
Sebuah
notifikasi muncul di layar hp mulusku, iPhone baru.
“Gimana
hari ini? Dapet banyak?” Ah, taik! Kenapa wanita tua
ini selalu menggodaku pagi-pagi dengan pertanyaan yang sama?
Kau
diam saja, bego! Aku sedang mencarikanmu uang supaya namaku tak lagi sederet
denganmu di Kartu Keluarga”, balasku, setiap hari seperti
itu. Rasanya ingin kujadikan template saja supaya tak perlu mengetik panjang.
Kuhapus
sisa makeup semalam dengan tangan lemas. Aku mengecek dompet.
Makin tipis. Aku ragu memutuskan untuk membeli lingerie edisi
terbaru di salah satu toko kesukaanku. “Pokoknya aku harus merogoh banyak tip,
sayang sekali kalau pejabat seperti itu tidak dimanfaatkan.”
Hari
ini kuputuskan untuk ke wisma agak pagi. Aku ingin mengobrol dengan Mbak Indri
tentang lelaki yang mencariku kapan hari. Bukan, bukan tua bangka yang ingin
kuporoti, ini lain lagi. Kata Mbak Indri perawakannya gagah, rambutnya cepak,
hidungnya mancung dan kumis tipisnya kelihatan menggoda. Aku masih tak
menemukan jawabannya meski sudah berpikir dari pagi hingga pagi lagi.
“Waduuuhh,
itu belahan dada kamu apa-apaan, Sila? Makin berani aja”, sapa Mbak Indri
sejenak setelah aku masuk ke ruangannya. “Gimana, Mbak? Udah tau belum siapa
yang nyari aku kemarin?”, tanyaku.
“Tahu,
kok. Dia kerja di bank depan ternyata, cuman emang nggak pernah liat, mungkin
pegawai baru kali, ya? Tunggu aja, dia katanya mau ngobrol sama kamu ntar
malem”.
Alis
mataku sejenak berkerut. Memangnya ada yang berminat pada gadis sepertiku, yang
tidak jago-jago amat di ranjang.
“Sil,
jangan lupa jenguk ibumu. Sebelum lebih parah keada...”, ucap Mbak Indri, pelan.
“Bedebah!
Awak tak peduli mbak”, aku memotong perkataannya.
“Sila...
Jangan begitu, ndhuk. Beliau memohon, katanya kangen sekali sama
kamu”.
Aku
melenggang keluar, telingaku panas sekali.
Beberapa
batang rokok habis sebelum akhirnya laki-laki yang mencariku datang. Benar kata
Mbak Indri, perawakannya gagah dan mempesona, namun tak membuatku lebih
tertarik dibanding uang. “Salman”, ucapnya sambil menjabat tanganku tegas.
Tiba-tiba aku teringat momen beberapa tahun yang lalu ketika Pak Rektor secara
simbolis menjabat tanganku di atas panggung Kompetisi Mawapres (mahasiswa
berprestasi). Ah, mawapres. Tiba-tiba kepalaku dirundung ngilu. Suara-suara
aneh mulai berkecamuk. Jutaan orang berteriak di telingaku tanpa ampun.
Suaranya timbul-tenggelam, membuatku agak sempoyongan.
Kamu dulu pinter, kok sekarang melacur?
Kamu dulu alim, kok sekarang dzolim?
Kamu dulu...., kok sekarang......
“Susilawati. Sila.”, jawabku agak berteriak, mengalahkan ketakutanku pada suara-suara yang mengerumuni alam bawah sadarku. “Oh, langsung saja ke kamar”, ucapnya singkat dan dingin. Ia sudah tahu namaku. Bah!
Aku
sempat tersandung beberapa kali sebelum bisa menyamai langkahnya. Dia berjalan
begitu cepat. Sejurus kemudian dia sampai ke kamar. Ia tak memintaku membuka
pintu, justru ialah yang membukakanku. Kutaksir, dia tak menyukaiku. Persetan
dengan sikapnya, aku hanya butuh duitnya. Kalau dia tak kaya, mungkin aku akan
pergi.
Ia
duduk di pinggiran kasur, mukanya masih dingin. Aku mulai meraba pundaknya, ia
diam. Kudekatkan kepalaku pada telinganya, ia mendesah kecil. Kulonggarkan
dasinya, ia menanti.
Mulut
kami hampir menempel sebelum ia akhirnya mengeluarkan kata, “Hei..” Aku
berhenti sejenak. “Kau, suka politik?”, tanyanya. “Aku bosan bercinta, sudah
sering”, lanjutnya.
“Kalau
kau tidak ingin bersetubuh, kenapa kau kemari, bangsat?”, tanyaku sambil
menekan jakunnya. Dia tertawa, manis sekali. “Hahaha.. Aku cuma memastikan apa
masih ada pelacur yang punya otak. Tahu politik tidak kau, wanita jalang? Kalau
tidak, lupakan saja. Batangku tak akan muat juga di lubangmu. Aku cuma butuh
teman ngobrol saja, yang pandai”, tambahnya.
Aku
bersumpah ia lelaki pertama yang menanyaiku demikian.
Aku
bersumpah ia lelaki pertama yang menarik perhatianku.
Sejak
saat itu, kami menghabiskan banyak malam di kamar wisma. Jadwal kami tak
berubah, selalu setelah subuh, dan berakhir sebelum ia berangkat kerja. Kami
tidak bercinta, hanya berdebat dan adu argumen. Kadang semi-curhat tentang
kehidupan masing-masing. Aku mulai menceritakan kisah kelamku padanya, mulai
pertengkaran orang tua yang membuat aku dan ibuku terpaksa merantau dari
Palembang ke Surabaya, kemudian cerita tentang aku yang "dijual"
secara paksa oleh ibu karena terlilit hutang, hingga aku terdampar sendirian di
pinggir jalan tanpa busana. Dari situlah aku bertemu Mbak Indri, yang tanpa
ragu mau merawatku. Salman sendiri ternyata juga bukan asli Surabaya, tapi
campuran Jakarta-Medan. Ia tak lama di Surabaya, hanya beberapa bulan saja,
katanya. Itu sebabnya ia ingin memuaskan diri dengan jalan-jalan dan bermalam
denganku (dan mungkin wanita lainnya).
“Siapa
yang menghabisi keperawananmu?”, ia bertanya sambil membelai kemaluannya
sendiri.
“Tak
ada, aku memang dilahirkan sudah tanpa selaput dara. Bolong. Hahaha”
“Kutanya
lagi, siapa? Aku akan menghajarnya”.
“Pejabat.
Pejabat sinting yang katanya mau melunasi hutang ibu ketika selesai
menggagahiku. Tapi nihil. Hutang keluargaku tak kunjung dibayarnya, hingga
ibuku mau mati sekarang. Kanker payudara...”, mataku mulai panas.
“Apa
yang kau ingat dari pejabat itu?”, ia mulai serius.
“Aku
ingat matanya. Matanya ibarat alat penyaring mana pihak yang menguntungkan dan
mana pihak yang lebih menguntungkan. Cuma ada dua golongan mata, kalo nggak
mata-mata ya mata duitan. Apa bedanya? Gak ada, semua sama-sama suka
goda-lirik-rebut yang masih disegel.”
Ia
terbahak. “Lanjutkan”.
“Aku
juga ingat telinganya. Telinganya adalah piranti uhuy yang ketika rapat
mendadak budeg, tapi langsung tune-in seribu persen kalau ada
isu-isu mengenai kasus korupsi yang inisialnya mirip sama nama dirinya sendiri;
sebagian besar lebih mudah terdistorsi oleh suara desahan kucing yang lagi
ber-haha-hihi, daripada diskusi mengenai hal yang intelek dan berbobot tinggi.”,
aku mendesah sejenak.
“Bangsat
kau, cerdas!”
“Aku
juga ingat mulutnya yang biasa digunakan sebagai modal utama kampanye, yang
produksi janji-janjinya terlalu naik-naik-ke-puncak-gunung sampai nabrak
pesawat. Hahaha. Aku juga ingat tangannya. Tangan pejabat seperti dia biasanya
cuman dipakai buat corat-coret dan suka bubuh-bubuh tanda (tangan) seenaknya.
Kadang juga digunakan sebagai alat buat nampar oposisi-oposisi yang
bacot dan kelakuannya keterlaluan; seringkali fungsi keempat jarinya ditekuk
dan disederhanakan, jelas jari yang ukurannya paling panjang ditunjukkan kepada
orang-orang yang merasa mengusik otoritasnya.”
Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. “Gila. Pernah sekolah kah kau dulu?”
“Sebentar,
aku belum selesai. Aku juga ingat kakinya. Kaki pejabat tua itu selalu
dilindungi sepatu mahal, yang bahkan debu pun tidak berani menempel. Kakinya
adalah satu anggota tubuh yang paling giat kalau disuruh berangkat ambil gaji,
tapi paling malas menemui rakyat yang sekarat mau mati. Pada pagi hari
digunakan untuk berjalan ke gedung tempat kerja, pada malam hari digunakan
untuk mengunjungi beberapa wisma.”
Ia
mengelus dadaku. “Ada lagi? Aku masih mendengarkan.”
“Kau
tau tidak, aku bisa menerawang otaknya juga. Otaknya, salah satu anggota tubuh
yang paling encer di awal kampanye, tapi bisa berbalik 180 derajat
menjadi bebal ketika sudah resmi menjabat. Butuh sedikit pencerahan untuk dapat
kembali normal, misal dengan menaikkan upah gaji, atau berilah sebuah
Lamborghini warna merah hati.”
“Kau
bukan wanita murah, aku tau sejak awal. Kau bagai mutiara yang terdampar di
kubangan Pulau Karang.”, ia mendekat, hampir memelukku.
“Eh,
stop. Sejak kapan kau jadi begini hahaha. Mau coba kau merayuku? Paling kau
sama saja seperti para koruptor itu. Mereka itu golongan orang-orang yang
tak punya hati. Sekalinya disuruh hati-hati malah main hati.”
“Kutanya
lagi, apa kau dulu pernah bersekolah?”
“Jangan
tanya, aku dulu mawapres. Tapi ternyata semua tak berguna. Aku menyesal pernah
sekolah”.
“Kalau
kau tak sekolah kau tak akan bertemu denganku. Aku bosan dengan wanita bayaran
di luar sana, yang cuma bisa desah tapi otaknya nol. Kau cerdas, aku gembira
melihatnya.”
Aku
hanya tersenyum.
“Tambahi
aku tip saja, aku mau makan enak besok. Bisa?”
“Dengan
senang hati.”, ucapnya sambil mengecup manis bibirku. Kepala bajing! Kenapa aku
menikmatinya? Apakah ini yang namanya jatuh hati?
Aku
yang duduk di pangkuannya hanya diam, kikuk.
“Omong-omong,
kapan kau terakhir kali bercinta?”, ia melihat mataku dalam-dalam. Suasana
tiba-tiba menjadi hangat dan menggairahkan.
Akhirnya,
–kami melakukannya– setelah subuh yang kesekian.
---------------------------------
“Oh
iya pekerjaanmu apa?”, tanyaku sebelum menindih tubuhnya.
“Pejabat”.
-----------------------------------
Fri,
14th Jul 2017:14.30 WIB