Bagi sebagian besar orang, malam tahun baru
adalah sesuatu yang harus dirayakan. Biasanya perayaan tersebut identik dengan
petasan dan terompet yang bunyinya memekakkan telinga. Ugh! Inilah yang saya
rasakan tadi malam (re: 31 Desember 2016), telinga saya pekak dengan
bunyi-bunyian terompet yang suaranya menyerupai klakson truk gandeng. Semalam
jantung saya juga beberapa kali mau copot mendengar bunyi petasan yang suaranya
lebih mirip seperti seperti bom. And i’m
just like...ini lama-lama kayak di Suriah,ya? Orang-orang menyambut tahun
baru dengan bangga dan suka cita, sementara saya hanya berdiam di rumah. Apa karena
jomblo tidak ada yang mengajak saya untuk pergi merayakannya? Sebenarnya
banyak tawaran tahun baruan di luar rumah, tapi saya sengaja memilih untuk stay at home menemani ibu terkasih.
#surgaditelapakkakiibu #yeah.
Entah kenapa antusias saya begitu rendah
untuk turut serta melakukan selebrasi macam demikian. For me myself, i don’t like to stay in the crowd, like what people do. Saya
tidak suka berada lama-lama dalam keramaian hanya untuk berkumpul menantikan
detik-detik menuju 00:00. Kemudian membunyikan terompet sekeras-kerasnya,
menyalakan petasan sebanyak-banyaknya. Kalau sudah demikian, what’s next? Apa itu lantas membuat 2017
kita akan lebih baik? Nggak mesti,
kan? Yang pasti adalah buang-buang uang dan.... it such a wasting time, isn’t it?
Mungkin banyak yang tidak setuju dan tetap
bersikukuh bahwa perayaan tahun baru adalah annual ritus yang sayang sekali
jika ditinggalkan. Tentu saja saya setuju jika ngana sekalian bisa memberi
minimal 3 saja manfaat positif dari ritual tersebut. I try a lot to find what’s the matter of that celebration but i got
nothing but the trait of being hedon a.k.a bermegah-megahan. Tentu saja
saya sebelumnya mengikuti tradisi hingga suatu waktu saya dipertemukan dengan
Q.S At-Takasur, surat ke 102 dalam Al-Qur’an. Salah satu ayat favorit saya
adalah ayat 8 yang intinya adalah: setiap orang yang bermegah-megahan di dunia
wajib untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka nanti. Bagi yang masa
bodo dengan kitab yang satu ini, saya tidak memaksa Anda untuk tiba-tiba jadi
relijius. Saya ndak maksa loh ya, saya cuma mau sharing ayat
favorit saya. Ngehehe.
Pun, yang menjadi salah satu alasan mengapa
saya tidak sebegitu antusias dengan perayaan demikian adalah karena keluarga
saya hampir-hampir tidak punya kebiasaan untuk melakukan hal demikian. Percayalah
bahwa keluarga saya lebih senang untuk berbincang santai di rumah daripada
menghambakan diri pada kemacetan jalan saat malam tahun baru. Dan menurut saya
itu adalah kultur yang luar biasa. Di saat anak-anak lain dibesarkan dengan
kultur merajuk-rajuk ke ayah dan ibu mereka untuk liburan tahun baru, saya justru
dibesarkan dalam keluarga yang anti tesis terhadap kultur tersebut. Satu-satunya
ritual tahun baru yang selalu kami lakukan adalah naik ke lantai dua (balkon)
dan melihat mercon-mercon berkeliaran di langit sambil berseloroh, “bakar aja terus uangmu, haha”. (Sarkas amat
dah). Selepas kebisingan itu berakhir, kami kembali turun dan melanjutkan
perbincangan, atau kalau tidak kami langsung menuju kamar masing-masing untuk
tidur. Begitu, ya memang begitu. Pokoknya, hampir tidak ada pesta-pesta di
rumah saya.
Ulang tahun pun juga demikian. Tidak ada kue
ulang tahun, lilin, dan balon-balon gemuk yang ditempelkan di dinding. Tidak seperti
keluarga lain yang kalau nggak ada pesta
berarti mama nggak sayang sama aku wkwkwk, di keluarga saya ketika
ada yang berulang tahun cukup saling mendoakan saja satu sama lain. Ulang tahun
tidak dimaknai sebagai perayaan megah dan wajib, itu semua tak lebih dari
sekedar mengingat bahwa pada hari ini saya dilahirkan dan diberkahi, lalu
seiring dengan bertambahnya usia, saya harus tumbuh menjadi orang yang
bermanfaat untuk orang lain. Udah, beres. Tidak ada kue-kue mahal dan lilin
sebagai simbolisasinya. Alasannya sederhana, sebab itu semua cuma buang-buang
duit, mending ditabung uangnya nak, bulan
ini sudah servis motor belum?. Selalu dan selalu, ibu saya mengarahkan
kepada hal-hal yang lebih prioritas.
Sementara saya sendiri mengetahui bahwa
perayaan tiup lilin adalah ritual orang-orang Pagan yang jahil, dimana mereka
meniup lilin sebagai wujud rasa terima kasih atas musim dingin yang masih
membiarkan mereka untuk hidup di saat teman-teman lainnya mati karena
kedinginan. Saya hanya tidak ingin menyerupai mereka, itu saja. Kalau ada yang
masih keukeuh mau tiup lilin ya ngga
apa-apa, asal lilinnya dipake tahun depannya lagi biar nggak numpuk jadi
sampah, ya?
Mari move on dari ritual-ritual tersebut dan membahas mengenai rencana 2017 yang baru saja kita injak garis start-nya hari ini. Membahas mengenai resolusi 2017, tentu ini sangat berhubungan dengan kebutuhan masing-masing orang. Ada yang ingin lebih gemuk, misalnya. Di sisi lain ada yang ingin berat badannya turun drastis. Nah, bagaimana dengan resolusi kalian? Apakah melanjutkan resolusi 2016, atau membuat terobosan baru? It’s all up to you. Kalau saya sih kombinasi, sebagian meneruskan resolusi yang belum terlaksana dan sebagian lagi membuat terobosan baru.
Tidak afdhol rasnya kalau membahasa resolusi
tanpa membahasa terlebih dahulu mengenai pencapaian di tahun 2016. Tidak banyak
pencapaian saya yang berarti di tahun 2016, tapi saya akan tetap saling berbagi.
Tahun 2016 adalah tahun teraktif bagi saya ikut di suatu organisasi, mulai dari
organisasi di dalam kampus, di luar kampus, sampai membuat organisasi sendiri. Selain
itu saya juga mulai rajin mengisi blog dengan berbagai macam konten, mulai dari
yang berfaedah sampai yang tidak layak baca. Selain menulis, di tahun 2016 saya
senang belajar bahasa, mulai dari bahasa Inggris, Deutsch, French, hingga
Hangul (Korea). Jangan berpikir bahwa saya menyewa guru dengan bayaran yang
mahal dari suatu institusi, saya cuma belajar lewat Youtube. Itu pun dengan
kuota 4G gratis. *nyengir*.
Satu lagi pencapaian saya di tahun ini yang
patut disyukuri adalah kuat dalam menjalani hubungan LDR, saya diberikan
hidayah untuk kembali belajar tentang agama, tentunya dengan pendasaran yang
logis. Subhanallah ya ukhti. #eakkk. Tidak mudah rek ternyata belajar agama di zaman akhir seperti ini, banyaaaak
banget godaannya mulai dari rasa malas dan tugas-tugas yang semua minta
diprioritaskan secara bebarengan. Tapi tetap harus belajar ngaji, agar
kehidupan spiritual dan kehidupan duniawi tidak bertepuk sebelah tangan kayak
cintaku ke Joongki oppa.
Sementara untuk tahun 2017 banyaaaak sekali
yang ingin saya lakukan. Di antaranya adalah ingin semakin rajin menulis dan
membaca, juga meningkatkan kemampuan speaking English dan MC-ing (banyak yang
bilang kalau saya punya bakat ngoceh di atas rata-rata), lebih banyak ikut
lomba untuk menambah pengalaman, ingin ke luar negeri juga dan masih banyaaaaak
lagi keinginan di tahun 2017 (yang sejauh ini masih rencana). Tapi sekali-kali
manusia berencana, tetaplah Dia yang menentukan, bukan? Akhir kata, semoga semua
keinginan bisa tercapai di tahun 2017 tanpa meninggalkan esensi dari prosesnya.
Itu resolusiku. Apa resolusimu?
Itu resolusiku. Apa resolusimu?